visitaaponce.com

Calon Dokter Diusulkan Dapat Pendidikan Soal Obat Herbal

Calon Dokter Diusulkan Dapat Pendidikan Soal Obat Herbal
Ilustrasi(Medcom/Dok UGM)

PENELITI sekaligus Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI)  Inggrid Tania mengusulkan para calon dokter mendapatkan pendidikan tentang obat herbal saat di bangku kuliah agar obat herbal hasil uji klinis bisa dipakai seluas-luasnya.

"Bagaimana agar obat herbal yang sudah diuji klinik bisa dipakai dokter secara seluas-luasnya misalnya dengan memberikan pendidikan yang sifatnya wajib kepada calon dokter maupun dokter tentang herbal," kata Inggrid yang sempat menyampaikan usulan itu dalam rapat percepatan fitofarmaka bersama Kementerian Kesehatan, beberapa waktu lalu, dikutip Sabtu (4/3).

Tania menyayangkan banyak dokter atau calon dokter di Indonesia tidak mendapatkan pendidikan yang cukup di bangku kuliah ataupun pendidikan setelah lulus mengenai obat herbal.

Baca juga: Ini Manfaat, Kandungan Gizi, dan Cara Membuat Minyak Cengkih

"Juga misalnya kami memberikan saran bagaimana panduan praktik klinis di fasilitas pelayanan kesehatan primer untuk lebih mengakomodasi pemakaian obat-obat herbal secara formal," kata dia.

Pembahasan mengenai herbal dan uji klinisnya di Indonesia, salah satunya mengemuka seiring pandemi covid-19 yang memunculkan harapan herbal dapat digunakan sebagai obat terapi komplementer atau melengkapi pengobatan standar untuk penyakit akibat infeksi SARS-CoV-2 itu.

Tania mengatakan, hasil uji klinis tahap pertama yang sudah dilakukan belum terlalu meyakinkan. Walau begitu, setidaknya keamanan sudah bisa dipastikan. 

Baca juga: Atasi Risiko Gaya Hidup tidak Sehat dengan Kulit Manggis

Menurut dia, herbal sangat aman dan minimal efek samping atau bahkan tidak ada efek sampingnya. Hanya saja, sambung dia, untuk efektivitasnya, masih memerlukan konfirmasi.

Pada uji klinis tahap awal, peneliti baru bisa memastikan herbal memiliki sifat sebagai antiperadangan karena hasil uji melibatkan puluhan pasien memperlihatkan penurunan inflamasi. Namun, ini masih memerlukan penelitian lanjutan dengan subjek pasien yang lebih banyak lagi. 

Khasiat obat betul-betul bisa dikonfirmasi apabila diujikan pada ratusan hingga ribuan pasien.

Baca juga: Orangtua Diingatkan Agar tidak Berikan Herbal kepada Bayi

Berbicara tahapan uji klinis herbal, sebenarnya ini jauh lebih rumit dan jauh lebih panjang daripada penelitian obat konvensional. 

Tania mengatakan, pada pengajuan obat konvensional atau kimia, hanya terdiri dari satu zat kimia aktif saja. Sedangkan pada herbal melibatkan sejumlah hal seperti metabolit primer misalnya karbohidrat, protein, dan lainnya, kemudian metabolit primer yang sifatnya mikro misalnya vitamin, mineral. Lalu, ada juga zat aktif yang bisa terdiri dari ratusan hingga ribuan jenis dan zat inaktif.

Oleh karena itu, upaya pembuktian terutama khasiat herbal relatif lama mengingat peneliti harus menapis-napis sekian banyak tahapan atau pertanyaan penelitian yang harus dijawab, sehingga akhirnya bisa mengonfirmasi khasiat tertentu dari suatu herbal.

Baca juga: Ingin Buat Ramuan Herbal, Masukkan Madu Saat Terakhir

Penelitian dimulai dari pendahuluan seperti penelitian fitokomia, in-vitro, praklinik pada hewan coba, penelitian klinis, hingga uji klinis yang metodenya paling tinggi bisa memakan waktu puluhan tahun hingga ratusan tahun. 

Sementara untuk uji klinis yang berada paling hilir dari suatu penelitian tidak cukup hanya satu kali dilakukan, sehingga dengan
beberapa kali uji klinis, itu bisa memakan waktu lima sampai 10 tahun.

Berbicara jumlah uji klinis di Indonesia, dia menyebut tergolong rendah dibanding negara lain di Asia Tenggara, yang akhirnya akan berdampak pada sedikitnya ditemukan obat di Indonesia. Ini salah satunya karena terhambat regulasi.

Baca juga: Senyawa Kentang dan Tomat Berpotensi Sebagai Obat Kanker Baru

"Karena kalau regulasi di luar negeri misalnya Thailand, Malaysia, itu lebih sederhana, jadi mungkin nanti Indonesia berproses ke arah sana, supaya bisa mengejar ketinggalannya," kata dia.

Tania mencatat banyak persyaratan yang disamakan antara herbal dengan obat konvensional. Padahal, menurut dia, karena karakteristik herbal berbeda dengan obat konvensional sehingga seharusnya regulasinya dibedakan.

Walau begitu, menurut dia, Badan POM sedang mengkaji regulasi yang tepat atau sesuai sehingga bisa lebih memudahkan pelaksanaan uji klinik obat herbal. (Ant/OL-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat