visitaaponce.com

Komnas Perempuan Beri Beberapa Catatan untuk Poin Aborsi dalam RUU Kesehatan

Komnas Perempuan Beri Beberapa Catatan untuk Poin Aborsi dalam RUU Kesehatan
Ilustrasi(MI/Seno )

KOMISIONER Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Maria Ulfah Anshor menyampaikan beberapa catatan terkait poin aborsi dalam perubahan RUU Kesehatan omnibus law.

Adanya perubahan terkait pengertian sumber daya manusia yang bisa melakukan aborsi terhadap korban kekerasan seksual, menurut Ulfah perlu dikritisi. Tenaga kesehatan yang semula boleh menangani aborsi sangat terbatas, atau hanya tenaga kesehatan yang memiliki sertifikat keterampilan yang ditetapkan oleh Menteri, kini definisinya diperluas meliputi dokter, bidan, paramedis, atau apoteker. Ulfah menilai poin tersebut sangat mengkhawatirkan dan berisiko mengancam nyawa korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan. 

“Saya secara pribadi, kalau betul tenaga kesehatan yang akan melakukan aborsi itu diperluas dengan bidan, paramedis, apoteker, saya kok rasanya terlalu riskan. Bahkan mungkin kalau boleh, saya rasanya lebih cenderung tidak setuju,” kata Ulfah kepada Media Indonesia, Rabu (24/5).

Baca juga: Polisi Bongkar Praktik Aborsi Ilegal, Lima Orang Ditangkap

“Yang boleh menangani aborsi harusnya dokter yang terlatih. Kalau dokter kan dari sisi keamanan, penanganannya, lebih yakin, lebih bisa dipastikan karena dia punya keahlian. Tetapi kalau bidan, paramedis, itu agak riskan. Apalagi apoteker, kok bisa melakukan mengaborsi? Saya kira itu yang perlu dikritisi. Meski ini adalah ruang untuk perlindungan dan pelayanan kepada korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan, tetapi harus ada batasan yang bisa memastikan dan menjamin korban tetap ada jaminan keselamatan, jaminan keamanan. Tidak kemudian diperluas, dipermudah tanpa pertimbangan seperti itu,” ujarnya.

Selain itu, poin yang diberi catatan oleh Ulfah berkaitan dengan poin aborsi dalam perubahan RUU Kesehatan ialah terkait batasan usia kehamilan yang semula enam minggu menjadi 14 minggu.

Baca juga: RUU Kesehatan, IDI: Adaptasi Dokter WNI Lulusan Luar Negeri Perlu Diatur

Ulfah menyebut Komnas Perempuan memang mendorong agar batas usia kandungan dapat dipertimbangkan ulang. Sebab, praktik di lapangan seringkali korban kekerasan seksual mengalami hambatan dan kendala untuk melakukan aborsi.

Meski di KUHP telah diusulkan batas usia kehamilan bagi korban kekerasan seksual untuk melakukan aborsi juga telah ditambah menjadi 14 minggu, dalam implementasinya, kata Ulfah, masih sangat sulit diakses untuk korban pemerkosaan. Selain tidak tersedia layanan yang boleh dan menyediakan aborsi untuk korban pemerkosaan, informasi terkait aborsi untuk korban juga sangat tertutup.

“Sama sekali tidak terinfo, tertutup, lembaga layanan juga dianggap sebagai praktik yang melanggar hukum. Dokter obgynnya dihukum karena memberikan layanan itu. Selain itu usia enam minggu bagi korban pemerkosaan itu di dalam praktiknya sangat sulit juga. Seringkali memproses itu sampai dengan mendapatkan surat keterangan dan lain-lain, usianya rata-rata sudah lewat enam minggu. Sehingga tidak memungkinkan lagi untuk dieksekusi,” jelasnya.

“Kalau dari sisi usia kandungan yang semula enam minggu lalu menjadi 14 minggu, lalu masuk dalam draft perubahan RUU kesehatan, saya kira ini menjadi upaya dari harmonisasi undang-undang. KUHP sudah menyatakan 14 minggu, di dalam UU kesehatan mau tidak mau menyesuaikan dengan yang sudah disahkan itu. Menurut saya itu kalau dari sisi legalnya ya,” pungkasnya. (Dis/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat