visitaaponce.com

Persoalan Anak Putus Sekolah Harus Diatasi Bersama

Persoalan Anak Putus Sekolah Harus Diatasi Bersama
Ilustrasi(Freepik)

BANYAKNYA anak yang putus sekolah masih menjadi persoalan yang mendasar bagi Indonesia. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022 terdapat 1 per 1.000 anak putus sekolah di tingkat SD, 10 per 1.000 anak putus sekolah tingkat SMP, dan 12 per 1.000 anak putus sekolah tingkat SMA.

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moedrijat mengatakan bahwa data di atas telah menjadi bukti bahwa persoalan anak putus sekolah harus mendapatkan perhatian dari seluruh pemangku kepentingan.

"Seluruh elemen baik itu pemerhati pendidikan mulai dari keluarga, komunitas, dan seluruh stakeholders harus punya perhatian pada urusan pendidikan nasional dan mengurangi angka putus sekolah harus mulai menjadi perhatian bersama," ungkapnya dalam Forum Diskusi Denpasar 12 dalam tajuk Mengurangi Angka Putus Sekolah Dalam Mempersiapkan Generasi Penerus Menuju Indonesia Emas 2045, Rabu (7/6).

Baca juga : Perkawinan Siri Anak di Bawah Umur Marak, Tersembunyi dan Tidak Terdata

Di tempat yang sama, Anggota Komisi X DPR RI Ratih Megasari Singkarru menambahkan bahwa penyebab anak putus sekolah dikarenakan berbagai faktor. Salah satunya adalah kondisi ekonomi yang menjadi faktor utama.

"Sekolah negeri saja yang gratis tapi masih banyak biaya yang dibutuhkan seperti seragam, iuran komite, ekskul, dan lainnya. Swasta juga beragam biayanya. Ini baru dari segi sekolah, belum lagi kondisi ekonomi keluarga yang punya kesulitan masing-masing yang memaksa anak untuk membantu mencari nafkah," kata Ratih.

Baca juga : UNICEF: Angka Anak Putus Sekolah Meningkat Sejak Pandemi

Faktor lainnya adalah daya tampung sekolah yang tidak memadai. Menurutnya, sekolah negeri hanya memiliki daya tampung 50% dari total angkatan siswa per tahunnya. Untuk itu sekolah swasta menjadi pilihan yang mau tidak mau harus ditempuh.

"Namun, sekolah swasta memberikan tantangan yaitu ekonomi. Biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke swasta cukup tinggi," ujarnya.

Selain itu, ada pula faktor geografis. Dalam hal ini banyak daerah yang tidak memiliki sekolah sampai tingkat lanjut. Hal ini membuat mereka terpaksa putus sekolah karena jika memaksakan, mereka harus mengelurkan ongkos untuk menuju sekolah mereka.

"Dampak dari mereka yang putus sekolah salah satunya mereka tidak akan punya ijazah, padahal ijazah ini menjadi standar untuk menjadi pegawai dengan upah layak," tegas Ratih.

Dia berharap, pemerintah saat ini dapat memiliki data terintegrasi yang dapat mengidentifikasi anak-anak rentan yang dapat diberikan bantuan untuk melanjutkan pendidikan.

"Perlu ada solidaritas antara pemerintah daerah dan pusat, misalnya dapat mengembangkan data angka putus sekolah. Identifikasi dan faktor dominannya apa dan lainnya. Semua harus serba data, karena akan sulit dipantau kalau tidak ada data," ujarnya.

Program Indonesia Pintar

Sementara itu, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemdikbud Ristek Anindito Aditomo menegaskan bahwa sebetulnya Indonesia telah berhasil menurunkan angka putus sekolah.

"Angka putus sekolah kita harus tempatkan dalam perspektif historis juga. Dua puluh tahun lalu kita sudah berhasil tingkatkan angka partisipasi sekolah secara signifikan. Untuk SD sederajat itu sudah sejak 20 tahun lalu sudah mendekati 100% apalagi sekarang di beberapa daerah sudah 100%," ucap Anindito.

"Untuk SMP sudah mendekati angka partisipasi SD atau 96%. Nah pekerjaan rumah kita masih di jenjang SMA sederajat yang masih 73,51%. Tapi dibandingkan 20 tahun lalu peningkatannya signifikan dari 50% menjasi 73%. Jadi beberapa dekade terakhir menunjukkan peningkatan serius dalam pendidikan kita," sambungnya.

Guna mengatasi permasalahan ini, pemerintah dikatakan memiliki Program Indonesia Pintar (PIP) yang merupakan program bantuan dari Kemdikbud Ristek berupa uang tunai, perluasan akses, dan kesempatan belajar dari pemerintah untuk peserta didik dan mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin atau rentan miskin.

"Tahun ini PIP diprioritaskan untuk pendidikan menengah atau SMA/SMK dibandingkan SD dan SMP. Hal ini dilakukan karena angka putus sekolah yang perlu ditingkatkan saat ini ada di jenjang SMA/SMK," tegas Anindito.

Dia menekankan bahwa pendidikan itu harus dibuat bermakna dan relefan sehingga peserta didik tidak hanya sekolah, tapi mereka juga mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna dan relefan bagi hidupnya.

Data dari nasional dan internasional menunjukan bahwa banyak anak Indonesia yang berada di sekolah tapi tidak belajar. Jika diukur literasi membaca atau menyerap makna dari apa yang mereka baca, hanya 50% siswa yang dapat melakukannya. Bahkan setelah mereka sekolah sampai kelas 11 SMA.

Lebih lanjut terkait numerasi, hanya 1/3 siswa Indonesia yang paham matematika dasar dan dapat menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Artinya kesempatan belajar di sekolah masih sangat rendah.

"Kalau kita bisa perbaiki kualitas kesempatan belajar di sekolah, anak-anak ketika lulus sekolah mereka akan miliki keterampilan, kecakapan dan karakter seperti gotong royong, daya nalar, kreatif, toleransi, bekerja dengan orang yang berbeda pandangan, dan semua kecakapan yang diperlukan dalam kehidupan termasuk untuk bekerja," kata dia.

"Dengan ini, tentu orangtua akan miliki pandangan berbeda. Kalau saya sekolahkan anak saya 3 tahun tapi setelahnya mereka punya kesempatan untuk dapat pekerjaan yang lebih baik karena kecakapan yang mereka peroleh dari sekolah bermakna dan diakui masyarakat, pilihan rasional orangtua termasuk keluarga miskin itu menyekolahkan anaknya," lanjutnya.

Anindito menegaskan bahwa Merdeka Belajar merupakan upaya pemerintah kami untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Pemerintah ingin semua anak di Indonesia ketika pergi ke sekolah mendaoat kesempatan belajar yang bermakna dan berkualitas.

Pernikahan anak

Di lain pihak, Wakil Sekjen PB PGRI Jejen Musfah merasa bahwa saat ini persoalan kemiskinan masih menjadi hal mendasar bagi permasalahan anak putus sekolah. Pasalnya, jika anak bersekolah di sekolah negeri saja buka berarti otomatis tidak mengeluarkan biaya karena variabel sekolah itu memiliki biaya transportasi, buku tulis, seragam, dan lainnya yang belum dicover program atau kebijakan pendidikan.

Maka dari itu, menurutnya pemerintah harus tegas bahwa sekolah gratis itu disasar kepada sekolah swasta juga, bukan hanya sekolah negeri saja.

"Karena faktanya jumlah sekolah negerinya tidak lebih besar dari swasta. Artinya ada jaminan dari pemerintah bahwa anak-anak dari keluarga miskin yang tidak sekolah di negeri ditanggung sekolahnya oleh negara," ucap Jejen.

Di sisi lain, dia juga melihat permasalahan pernikahan dini menjadi faktor anak putus sekolah khususnya di daerah dan pulau terpencil.

"Ini memutus sekolah mereka. Jadi ini harus juga menjadi perhatian bahwa ternyata putus sekolah ada kaitannya dengan kualitas masyarakat untuk mengontrol cara bergaul anak anak," tegasnya.

Jejen juga merasa bahwa sistem zonasi hanya menjawab isu pemerataan kapasitas intelektual siswa tapi tidak menjawab soal pemerataan sekolah gratis atau sekolah negeri.

Terakhir, dia meminta penyaluran Kartu Indonesia Pintar (KIP) tidak lagi diberikan langsung kepada orangtua, tapi kepada sekolah. Hal ini disebabkan uang yang diberikan hanya dibelanjakan untuk kebutuhan konsumtif saja.

"Jadi KIP itu bukan untuk beli buku, sepatu, seragam, dan tas, tapi untuk konsumtif. Saya usulkan KIP ditransfer ke sekolah bukan ke orangtua," tandas Jejen. (Z-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat