visitaaponce.com

Pemikiran Denny JA Soal Agama Mendorong Pencerahan

Pemikiran Denny JA Soal Agama Mendorong Pencerahan
Bedah buku “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google”.(HO)

SELAMA ini agama dilihat sebagai sesuatu yang multak, final, dan tidak dapat berubah. Maka, kehidupan beragama menjadi kaku, tidak rileks, bahkan agama mudah ditransformasikan menjadi kekuatan konfliktual. 

Gagasan Denny JA tentang agama sebagai warisan kultural milik bersama umat manusia menjungkirbalikkan paradigma tersebut. Denny JA membawa agama dari ruang tertutup ke ruang terbuka, dari pemilikan komunal menjadi warisan universal. Dengan demikian agama menjadi sarana untuk mendorong pencerahan.

Hal itu merupakan benang merah dalam diskusi dan bedah buku “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google” karya Ahmad Gaus di aula Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)/KAHMI, Cirebon, Senin (17/7). Diskusi dimoderatori Ryal Al-Ghifari dan dihadiri oleh para aktivis HMI dan mahasiswa beberapa perguruan tinggi di Cirebon.

Dalam acara tersebut, kolumnis dan intelektual muda, Afif Rivai, secara khusus menyorot aspek-aspek pemikiran Denny JA yang menurutnya dapat digunakan untuk mengubah pandangan orang yang terkungkung dalam ruang sempit teologi dan fikih. Menurutnya, teologi dan fikih perlu, namun bukan satu-satunya cara untuk melihat agama, apalagi cara untuk beragama.

Saat ini, kata Afif, toleransi dan Hak Asasi Manusia (HAM) harus menjadi cara hidup beragama. Sebab, peradaban manusia yang paling mutakhir saat ini ialah ditemukannya gagasan tentang HAM. "Gagasan Denny JA seperti yang ditulis oleh Gaus dalam buku ini sarat dengan ide-ide kebebasan dan hak asasi manusia. Itulah yang saya sebut pencerahan,” kata Afif.

Lebih jauh Afif mengatakan, perlu melihat agama sebagai penggerak perkembangan budaya dan peradaban manusia. Agama dan kebudayaan serta bentuknya yang tertinggi yakni peradaban senantiasa bersimbiosis mutualisme. 

"Alangkah ruginya kalau agama diperlakukan semata-mata sebagai dogma yang tertutup. Ia hanya melayani umatnya saja. Sedangkan, rahmat Tuhan seperti yang diajarkan oleh agama apapun adalah untuk semua. Melampaui batas," ujarnya.

Hal yang sama disoroti Ahmad Gaus selaku penulis buku. Baginya, ukuran sesuatu itu mencerahkan atau membutakan mudah saja. Jika sesuatu itu membawa ke tempat tertutup dan melahirkan fanatisme, maka ia membutakan. Sebaliknya, jika mendorong keterbukaan, maka ia mencerahkan.

"Gagasan Denny JA ini bisa dikatakan merebut monopoli tafsir agama dari kaum fanatik dan mengajak orang beragama untuk bersikap terbuka dan toleran. Itu yang dimaksud dengan pencerahan dalam beragama. Dan itulah ajaran Nabi," ujarnya.

Menurut Gaus, buku yang ditulisnya itu mengelaborasi pemikiran Denny JA bahwa agama merupakan warisan budaya yang mengandung harta karun kebaikan, moral, dan spiritualitas yang berlimpah, yang teramat sayang jika dikunci di dalam gudang masing-masing. "Sebagai kekayaan budaya, agama harus dapat dinikmati oleh semua orang tanpa menjadi fanatik, apalagi merugikan orang lain," jelasnya.

Menurut Gaus, di antara pemikiran Denny JA yang terpenting dan sangat dibutuhkan saat ini ialah pandangan bahwa agama perlu didekati sebagai kekayaan kultural milik bersama umat manusia. Pandangan semacam ini menjadi modal sosial dan modal kultural untuk membangun masyarakat yang damai dan toleran. (RO/R-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Widhoroso

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat