visitaaponce.com

Marak Pungli, Aktivis Pendidikan Desak Bubarkan Korlas dan Komite Sekolah Abal-Abal

Marak Pungli, Aktivis Pendidikan Desak Bubarkan Korlas dan Komite Sekolah Abal-Abal
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mendesak Korlas dan Komite Sekolah dibubarkan karena marak pungli.(Medcom)

KASUS pungutan liar (pungli) di sekolah kembali terjadi. Diduga pungli itu terjadi berulang kali di SMKN 1 Depok. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Martaji mengatakan pungli di sekolah tersebut jadi lagu lama yang terus diulang-ulang dan tak pernah ada efek jera.

Menurut dia, ada tiga pihak yang diduga selalu menjadi aktor pungli di sekolah. Mereka ialah oknum pihak sekolah, komite sekolah, dan koordinator kelas (korlas). Karena itu, dia menegaskan komite sekolah dan korlas yang dibentuk untuk mempersubur budaya pungli perlu dibubarkan.

Sebelum pemberitaan dugaan pungli di sekolah tersebut viral, Ubaid mengungkapkan kasus pungli juga terjadi di Jakarta, Bandung, Bogor, Solo, Tangerang Selatan, Bekasi, dan masih banyak daerah lainnya. “Bisa dikatakan, fenomena ini diduga merata terjadi di semua kabupaten/kota,” kata Ubaid, Rabu (13/9).

Baca juga: Bangun Budaya Anti Korupsi, Tim Saber Pungli Kota Denpasar Gelar Sosialisasi

“Biasanya, pungli terjadi karena didasarkan atas rekayasa kebutuhan pendanaan sekolah yang kurang. Yang sering terjadi antara lain pungli berkedok pungutan uang infak, uang seragam, uang gedung, uang study tour, uang ekstrakurikuler, uang buku ajar dan LKS, uang wisuda, dan masih banyak yang lainnya,” tambahnya.

Oknum pimpinan sekolah berperan dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Biasanya, RAPBS ini disusun secara sepihak, serta kurang partisipatif dan tidak transparan.

Baca juga: Ini Tips Mengajari Empati pada Anak

Dokumen RAPBS itulah yang akan dijadikan dasar legitimasi oleh komite sekolah untuk melakukan pungli. Ubaid menyebut komite sekolah beralasan pungutan itu untuk menunjang proses pembelajaran.

“Maka dibutuhkan ini dan itu (sebagaimana terlampir di RAPBS), tapi keuangan belum mencukupi. Lalu, Komite Sekolah menugaskan korlas untuk menyebarkan info pungutan dan menjadi kasir dan penagih pungli di tiap-tiap kelas,” ungkap dia.

Selama tiga pihak ini dapat bergerak bebas, Ubaid mengatakan pungli akan tetap lestari di sekolah. Karena itu, untuk menghentikan praktik pungli yang sangat meresahkan orangtua peserta didik di sekolah, JPPI menuntut agar komite sekolah dan korlas abal-abal segera dibubarkan.

Lembaga yang mestinya berperan sebagai controlling agency di sekolah, ternyata malah menjadi centeng sekolah untuk melakukan pungli. “Ini bisa begini karena banyak komite sekolah yang abal-abal, alias proses pembentukannya dan komposisinya tidak sesuai. Mestinya dibentuk secara partisipatif, ternyata banyak yang diangkat melalui mekanisme abal-abal berdasarkan petunjuk (ditunjuk) kepala sekolah,” kata Ubaid.

“Kami juga minta untuk bubarkan korlas. Ini dibentuk oleh komite sekolah sebagai kepanjangan tangan untuk memuluskan agenda pungli di kelas-kelas, dan berhadapan langsung dengan wali murid/orangtua. Bahkan, dia bisa berperan bak debt collector jika ada orangtua yang tidak bayar pungutan. Karena itu, bubarkan saja struktur korlas di kelas-kelas, karena selalu meneror orangtua murid,” tambahnya.

Dia juga mendesak agar segera cabut kewenangan komite sekolah untuk melakukan penggalangan dana. Kewenangan itu termaktub dalam Permendikbud 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah, tepatnya di pasal 10 ayat 1. Selama kewenangan ini masih ada, Ubaid menegaskan jangan berharap budaya pungli bisa hilang di sekolah.

“Lalu, bagaimana dengan pendanaan sekolah yang kurang, misalnya. ya jelas, ini kan di sekolah negeri, ya sudah barang tentu menjadi kewajiban pemerintah untuk menghitung kebutuhan dan membiayainya. Kami minta usut tuntas dan beri sanksi tegas kepada para pelaku yang terlibat. Biasaya, pelaku pungli sekolah hanya dijatuhkan sanksi berupa pencopotan jabatan dan pindah tugas. Mestinya, para pelaku ini dapat terkena pasal pemerasan dan terjerat undang-undang tindak pidana korupsi,” tegas dia.

“Jadi, oknum yang terlibat bisa dipenjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. (Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tipikor),” pungkasnya.

Diketahui sebelumnya ramai di media sosial terkait keluhan pungutan liar di beberapa sekolah di Depok, Jawa Barat. Pungutan itu diduga untuk sumbangan pendidikan demi memenuhi kekurangan dana BOS ini angkanya mencapai jutaan rupiah. (Z-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat