visitaaponce.com

Mengenal Imam Hanafi Pendiri Mazhab Fikih Pertama

Mengenal Imam Hanafi Pendiri Mazhab Fikih Pertama
Ilustrasi.(Dok Instagram MuslimQoutes411.)

IMAM Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fikih berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat, dan seterusnya. Langkahnya kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafii, Imam Abu Dawud, Imam Bukhari rahimahumullah.

Nama lengkap beliau ialah Abu Hanifah an-Nu'man bin Tsabit bin Zuta bin Marzuban. Ia lebih dikenal dengan nama Abu Hanifah. Imam Hanafi lahir di Kufah, Irak, pada 80 H atau 699 M dan meninggal di Baghdad, Irak, pada 150 H atau 767 M. Ia merupakan pendiri dari mazhab fikih Hanafi.

Abu Hanifah rahimahullah juga merupakan seorang tabiin alias generasi setelah sahabat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam (SAW). Ini karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah SAW bernama Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu dan beberapa peserta perang Badar yang dimuliakan Allah subhanahu wa ta'ala yang merupakan generasi terbaik Islam. Ia pun meriwayatkan sejumlah hadis darinya serta sahabat Rasulullah lainnya.

Baca juga: Siapakah Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani?

Namun, dalam riwayat lain yang disebutkan lebih kuat menyatakan bahwa imam pionir dari golongan rasionalis ini sebenarnya tergolong tabi'ut tabi'in atau pengikut para tabiin alias generasi ketiga setelah Nabi. Ini disampaikan Muhammad Ali as-Sayyis dalam Tarikh al-Fiqih al-Islami.

Kabarnya ia hanya sempat semasa--walaupun tak lama--dengan empat sahabat Nabi yaitu Anas bin Malik yang tinggal di Bashrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahl bin Sa'ad as-Sa'idi di Madinah, dan sahabat Abu Thufail Amir bin Watsilah di Makkah. Sayangnya, tak satu pun sahabat Nabi itu pernah ditemui Imam Hanafi.

Baca juga: Kisah Nabi Yusya, Hizqiyal, Asya'ya Mendidik Bani Israil

Dalam riwayat yang memasukkan Abu Hanifah masuk dalam daftar tabiin dikatakan bahwa ia pernah bertemu dengan sahabat Anas bin Malik dan meriwayatkan satu hadis tentang kewajiban menuntut ilmu darinya. Ditambah lagi, pada 96 H, Nu'man remaja pernah dibawa ayahnya menunaikan ibadah haji. Saat di Masjidilharam, ia sempat bertemu dengan seorang sahabat bernama Abdullah bin al-Harst bin Juzu' az-Zabidi dan berhasil meriwayatkan satu hadis lagi.   

Belajar Al-Qur'an dan hadis

Abu Hanifah kecil sering mendampingi ayahnya berdagang sutra. Namun, Imam Hanafi bocah memiliki kebiasaan pergi ke Masjid Kufah. Karena kecerdasannya yang gemilang, ia mampu menghafal Al-Qur'an serta ribuan hadis.

Baca juga: Liku-Liku Perjalanan Imam Syafii Menuntut Ilmu

Sebagaimana putra seorang pedagang, Abu Hanifah kemudian berprofesi seperti bapaknya. Ia mendapat banyak keuntungan dari profesi ini. Di sisi lain ia memiliki wawasan yang sangat luas, kecerdasan yang luar biasa, serta hafalan yang sangat kuat. Beberapa ulama, seperti Asy-Sya'bi, menangkap fenomena ini, sehingga mereka menganjurkannya untuk pergi berguru kepada ulama seperti ia pergi ke pasar setiap hari.

Pada masa Abu Hanifah menuntut ilmu, Irak termasuk Kufah disibukkan dengan tiga halakah keilmuan. Pertama, halakah yang membahas pokok-pokok akidah. Kedua, halakah yang membahas tentang hadis Rasulullah metode dan proses pengumpulannya dari berbagai negara serta pembahasan dari perawi dan kemungkinan diterima atau tidaknya pribadi dan riwayat mereka. Ketiga, halakah yang membahas masalah fikih dari Al-Qur'an dan hadis, termasuk membahas fatwa untuk menjawab masalah-masalah baru yang muncul saat itu, yang belum pernah muncul.

Baca juga: Dua Ulama Khatamkan Al-Qur'an Ribuan Kali dalam Hidup

Abu Hanifah melibatkan diri dalam dialog tentang ilmu kalam, tauhid, dan metafisika. Menghadiri kajian hadis dan periwayatannya membuat dia punya andil besar dalam bidang ini. Di antara para ulama, tempat simpuh Abu Hanifah mengambil hadis ialah Imam Atha' bin Abi Rabah, Imam Nafi' (mantan budaknya Ibnu Umar), Imam Qatadah, dan Syekh Hammad bin Abi Sulaiman (tempat mulazamah terlama, selama 18 tahun). Dari Syekh Hammad ini pula, ia belajar fikih secara mendalam dengan transmisi keilmuan yang sampai pada Rasulullah.

Gurunya itu merupakan murid dari Ibrahim An-Nakha'i dan Asy-Sya'bi. Dua nama terakhir ialah santri tiga ulama besar yaitu Imam Al-Qhadli, Alqamah bin Qais, dan Masruq bin Ajda'. Mereka semua belajar fikih kepada Abdullah bin Mas'ud dan Imam Ali bin Abi Thalib, gerbang keilmuan Nabi. Keterangan ini ditulis oleh Muhammad Ali as-Sayyis dalam Tarikh al-Fiqih al-Islami.

Setelah Abu Hanifah menjelajahi bidang-bidang keilmuan secara mendalam, ia memilih bidang fikih sebagai konsentrasi kajian. Ia mulai mempelajari berbagai permasalahan fikih dengan cara berguru kepada Syekh Hammad yang ternama di Kufah saat itu. Ia terus menimba ilmu darinya hingga selesai. Sementara Kufah saat itu menjadi tempat domisili bagi ulama fikih Irak.

Abu Hanifah sangat antusias dalam menghadiri dan menyertai gurunya. Hanya, ia terkenal sebagai murid yang banyak bertanya dan berdebat serta berkeras mempertahankan pendapatnya. Ini terkadang menjadikan syaikh kesal kepadanya. Namun, karena kecintaannya kepada sang murid, ia selalu mencari tahu tentang kondisi perkembangannya. Dari informasi yang ia peroleh, akhirnya sang syaikh tahu bahwa ia selalu bangun malam, menghidupkannya dengan salat dan tilawah Al-Qur'an. Karena banyaknya informasi yang ia dengar, sang guru menamakannya Al-Watad.

Selama 18 tahun, Abu Hanifah berguru kepada Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman. Saat itu ia masih 22 tahun. Karena dianggap telah cukup, ia mencari waktu yang tepat untuk bisa mandiri. Namun setiap kali mencoba lepas dari gurunya, ia merasakan bahwa ia masih membutuhkannya.

Menjadi pemberi fatwa

Syaikh Hammad lantas menerima seorang keluarga dekatnya telah wafat di Basrah. Ia memutuskan untuk pergi ke Basrah dan meminta Abu Hanifah untuk menggantikan posisinya sebagai pengajar, pemberi fatwa, dan pengarah dialog.

Saat Abu Hanifah menggantikan posisi Syaikh Hammad, ia dihujani oleh pertanyaan yang sangat banyak. Sebagian belum pernah ia dengar sebelumnya. Sebagian ia jawab dan sebagian yang lain ia tangguhkan. Ketika Syaikh Hammad kembali dari Basrah ia segera mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang tidak kurang dari 60 pertanyaan. Hasilnya, 40 jawaban sang guru sama dengan Abu Hanifah, tetapi berbeda pendapat dalam 20 jawaban.

Dari peristiwa ini ia merasa bahwa masih banyak kekurangan yang ia rasakan. Ia memutuskan untuk menunggu sang guru di halakah ilmu, sehingga ia dapat mengoreksikan kepadanya ilmu yang telah ia dapatkan, serta mempelajari yang belum ia ketahui. Ketika umurnya menginjak usia 40 tahun, gurunya Syaikh Hammad wafat, ia pun menggantikan gurunya.

Imam Abu Hanifah diketahui menyelesaikan 600.000 perkara dalam bidang ilmu fikih dan dijuluki Imam Al-A'zham oleh masyarakat karena keluasan ilmunya. Beliau juga menjadi rujukan para ulama pada masa itu dan merupakan guru dari para ulama besar pada masa itu dan masa selanjutnya.

Pujian untuk Abu Hanifah

Imam Muhammad bin Idris as-Syafii termasuk orang pertama yang mengakui keilmuan Imam Hanafi. Syekh Muhammad Abu Zahrah (1898-1974 M) mengabadikan pengakuan Imam Syafii tersebut. Dalam karyanya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, ia menulis, "Suatu ketika, As-Syafii pernah memuji Abu Hanifah. Ia berkata, 'Transmisi keilmuan umat Islam dalam bidang fikih berinduk kepada Abu Hanifah.'"   

Dalam riwayat lain, Imam Syafii berkata, "Tidak seorang pun yang mencari ilmu fikih, kecuali dari Abu Hanifah. Ucapannya itu sesuai dengan yang datang dari Rasulullah SAW dan yang datang dari para sahabat." Yazid bin Harun juga mengatakan, "Saya tidak melihat seorang pun yang lebih cerdas dari Imam Abu Hanifah."

Guru, murid, dan karya

Imam Hanafi yang dikenal sebagai orang yang haus ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu agama. Ia menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu fikih dan menguasai berbagai bidang ilmu agama lain, seperti ilmu tauhid, ilmu kalam, ilmu hadis, serta ilmu kesusasteraan dan hikmah. Tak sebatas menguasai banyak ilmu, ia juga dikenal dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial keagamaan yang rumit.

Guru-guru beliau banyak. Berikut daftarnya.

1. Atha' bin Abi Rabbah.
2. Asy-Sya'bi.
3. Adi bin Tsabit.
4. Abdurrahman bin Hurmuj al-A'raj.
5. Amru bin Dinar.
6. Thalhah bin Nafi'.
7. Nafi' Maula Ibnu Umar.
8. Qatadah bin Di'amah.
9. Qais bin Muslim.
10. Abdullah bin Dinar.
11. Hammad bin Abi Sulaiman (guru fikihnya).
12. Abu Ja'far Al-Baqir.
13. Ibnu Syihab Az-Zuhri.
14. Muhammad bin Munkandar.

Sepanjang 70 tahun masa hidupnya, Imam Hanafi tidak melahirkan secara langsung karya dalam bentuk kitab. Ide, pandangan, dan fatwa-fatwanya seputar kehidupan keagamaan ditulis dan disebarluaskan oleh murid-muridnya. Karya-karya fikih yang dinisbatkan kepadanya ialah Al-Musnad dan Al-Kharaj.

Berikut daftar murid-muridnya.

1. Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani yang juga menjadi guru Imam Syafii dan penyebar mazhab Hanafi.
2. Ibrahim bin Thahman, seorang alim dari Khurasan.
3. Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah Ishaq al-Azroq.
4. Asar bin Amru Al-Bajali.
5. Ismail bin Yahya Al-Sirafi.
6. Al-Harits bin Nahban.
7. Al-Hasan bin Ziyad.
8. Hafsh bin Abdurrahman al-Qadhi.
9. Hamzah--teman penjual minyak wangi--juga pernah berguru kepadanya.
10. Dawud Ath-Thai.
11. Sulaiman bin Amr An-Nakhai.
12. Su'aib bin Ishaq.
13. Abdullah ibnu Mubarok.
14. Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi.
15. Abdul Karim bin Muhammad al-Jurjani.
16. Abdullah bin Zubair al-Qurasy. (Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat