visitaaponce.com

Natoni dan Bonet, Tradisi Lisan asal Timor Tengah Selatan NTT yang Hampir Punah

Natoni dan Bonet, Tradisi Lisan asal Timor Tengah Selatan NTT yang Hampir Punah
Tradisi lisan Bonet asal Timor Tengah Selatan, NTT.(MI)

RATUSAN pelajar SD dan SMP terlihat mengenakan pakaian adat khas Nusa Tenggara Timur (NTT), tepatnya di Timor Tengah Selatan, menunggu untuk dipanggil ke hadapan juri atau maestro untuk mengikuti Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI). Mereka akan membawakan pertunjukan tradisi lisan yaitu Natoni dan Bonet.

Ketika membawakan Natoni, para pelajar ini terlihat membentuk barisan dan menghadap kepada para juri serta melantunkan bahasa dawan layaknya puisi atau pantun. Sementara ketika membawakan Bonet, para pelajar membentuk lingkaran dan menghentakkan kaki sembari membawakan tuturan berirama.

Marten L. Tlonaen, selaku salah satu maestro yang berprofesi sebagai Pembina Sanggar dan Penulis Buku Jenis-Jenis Natoni dan Bonet menjelaskan, Natoni sebenarnya merupakan ungkapan sanjungan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.

Baca juga: Ritual Menyambut Tamu Masyarakat Tengger

“Jadi ada satu orang yang menjadi jubir dan ada sekelompok orang sebagai penyambung serta ada satu kata yang diikuti sebagai penekanan. Intinya Natoni adalah bahasa sanjungan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok terhadap tamu yang dalam hal ini biasanya raja atau pemberi pesan untuk memberikan arahan tentang bagaimana strategi yang akan digunakan,” kata pria berusia 56 tahun tersebut kepada Media Indonesia, Sabtu (11/11).

Marten menambahkan, berbeda dengan Natoni, Bonet merupakan sebuah tradisi lisan yang menggabungkan antara pantun berirama dengan tarian. Dalam setiap gerakan ketika membawakn Bonet memiliki arti yang berbeda-beda.

“Ada arti di setiap gerakan. Awal dari kaki kiri di depan dan kanan di belakang. Di Timor ini biasanya perempuan jalan di depan, laki-laki di belakang. Kedua di Timor sini kita harus saling mendukung. Maka pasang kaki kiri dan kanan di belakang laki-laki menunjang perempuan dalam rumah tangga,” kata Marten.

Baca juga: Tradisi Lisan Butuh Perhatian Pemerintah

“Lalu bergeser ke kanan kita harus terus maju dan jalan. Harus berubah dari hari ini ke depan. Kemudian merunduk, setiap yang disampaikan orang lain kita harus siap dan menerima. Bergandengan tangan itu kita harus saling membantu dalam suka maupun duka. Kemudian ada hentakan kaki yang melambangkan kesetiaan,” sambungnya.

Dalam membawakan Bonet, ada satu orang yang akan menuturkan pantun yang menggambarkan penguasa atau ketua suku. Ketika orang tersebut mengatakan sesuatu, orang lain harus mengikuti apa yang dia katakan.

Pantun yang dibawakan sendiri dikatakan berisikan pesan mengenai berbagai hal. Dalam kaitannya dengan FTBI, pesan yang dibawakan ialah mengenai pelestarian budaya dan kemerdekaan.

“Pantun ini berisikan apa yang harus dilakukan. Misalnya budaya harus lestari atau kemerdekaan yang dimenangkan leluhur. Dengan kita merdeka, bahasa ibu harus kita pertahankan,” ujar Marten.

Faktor Pemicu Kepunahan

Di tempat yang sama, Margarita Ottu yang juga merupakan maestro dan berprofesi sebagai Dosen STAK Arastamar Soe menambahkan, tradisi lisan Bonet dan Natoni sebetulnya sudah hampir punah.

“Dalam konteks yang sering melafalkan ini hanya orang tua. Apalagi kalau Natoni itu bahasa sastra atau tuturan lisan itu biasanya hanya orang tua yang mampu dan bisa dihitung oleh jari karena tidak semua orang bisa. Tapi lewat FTBI ini kita bisa melihat anak-anak dilatih dan luar biasa sekali penampilan mereka,” ucap perempuan berusia 39 tahun tersebut.

Margarita menilai bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan hampir punahnya Natoni dan Bonet. Misalnya karena perpindahan penduduk, kawin campur, serta tidak adanya pembelajaran bahasa daerah di sekolah.

Hal ini dikatakan telah menjadi kendala utama sehingga ketika ingin menggelar Natoni dan Bonet, pasti akan kesulitan untuk mencari orang yang betul-betul memahaminya.

“Jadi saya rasa anak-anak kita harus diberikan pemahaman agar itu bisa dikondisikan. Ini akan menjadi tradisi dan budaya mereka. Makanya pelestarian akan menjadi sangat penting karena kalau tidak, tradisi lisan seperti ini akan punah. Bahasa dawan juga sudah masuk dalam kategori hampir punah dan kegiatan seperti ini menjadi salah satu cara untuk tetap melestarikan bahasa dan tradisi kita,” tandas Margarita.

(Z-9)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat