visitaaponce.com

Rakornas dan Ekspos Hasil Pengawasan Perlindungan Khusus Anak Tahun 2023

Rakornas dan Ekspos Hasil Pengawasan Perlindungan Khusus Anak Tahun 2023
( IST)

BERDASARKAN Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa Negara menjamin perlindungan terhadap hak anak yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Indonesia memiliki visi Indonesia Emas menyongsong tahun 2045. 

Pemenuhan hak dan perlindungan anak sebagai perwujudan kesejahteraan anak merupakan indikator penting negara yang maju, menghasilkan bonus demografi yang berkualitas serta SDM yang unggul. Pemerintah dan Pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak dari kekerasan dan diskriminasi, meski demikian masih banyak ditemukan kasus-kasus pelanggaran terhadap hak anak. 

Dalam data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), permasalahan anak dalam pengaduan tahun 2023 sebanyak 1.833 kasus tersebar dalam kasus-kasus pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak. Jumlah pengaduan tertinggi adalah anak dalam lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif yakni 1.113 kasus serta anak korban kekerasan seksual sebanyak 272 kasus, diantara angka pelanggaran hak anak lainnya. 

Melalui Rapat Koordinasi Nasional KPAI menyampaikan ekspos hasil pengawasan selama tahun 2023 kluster Perlindungan Khusus Anak serta rekomendasi, sebagai berikut:

I. Pengawasan KPAI untuk Kluster ABH dan Anak Korban Kekerasaan Seksual

a. Pengawasan KPAI untuk Kluster ABH

Menghindarkan anak dari dampak negatif sistem peradilan pidana adalah tujuan utama dari Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Anak mendapatkan stigma sebagai pelaku kriminal sepanjang hidup; anak putus sekolah; anak terpapar prisonisasi (budaya khusus yang berkembang di penjara) karena berada dalam tahanan orang dewasa; adalah sebagian dari dampak yang dicegah melalui SPPA. 

Anak yang melakukan pelanggaran hukum berangkat dari situasi pengasuhan atau lingkungan sosial yang tidak mendukung optimalisasi proses tumbuh kembang anak. Sehingga berpengaruh terhadap mental, emosional, karakter, dan perilaku anak. KPAI memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk peningkatan pelaksanaan SPPA sebagai berikut:

1. Memastikan setiap regulasi/aturan pelaksanaan undang-undang tidak mengurangi hak anak. Perda/Perbup tentang layanan anak masih membatasi layanan hanya kepada anak korban. Anak saksi dan anak berkonflik hukum/AKH belum mendapatkan layanan. Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, serta K/L terkait perlu melakukan pengawasan produk hukum terkait anak.
2. Optimalisasi pendirian sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan UU SPPA dan UU TPKS dengan mempertimbangkan geografis negara kepulauan seperti LPKS, Bapas, LPKA, termasuk UPTD PPA, dan program rehabilitasi serta reintegrasi bagi ABH oleh Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak. 
3. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dan tenaga kemasyarakatan tentang SPPA serta tindak pidana kekerasaan seksual pada anak sangat penting oleh Kepolisian RI, Kejaksaan, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Sosial. Serta memastikan persebaran petugas terlatih tersebut secara merata di kab/kota luar Pulau Jawa agar tidak ada lagi anak tercabut hak-haknya sebagai ABH. Termasuk peningkatan penerapan alternatif pembatasan kemerdekaan dan pemidanaan pada AKH.
4. Peningkatan anggaran perlindungan anak di kabupaten/kota melalui sumber pembiayaan lokal/desa melalui kerjasama K/L dan pemerintah daerah di bawah koordinasi Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri.
5. Setiap K/L urusan perlindungan anak dan pemerintah daerah wajib meningkatkan upaya edukasi tentang pengasuhan dan pencegahan kekerasaan anak, termasuk meningkatkan informasi tentang layanan-layanan yang dapat diakses ABH. Optimalisasi lembaga penguatan pengasuhan di kabupaten/kota yang menyasar keluarga rentan.

II. Pengawasan Penanggulangan Anak Korban Jaringan Terorisme

Penanggulangan ekstrimisme di Indonesia melibatkan upaya khusus dalam melindungi anak-anak sebagai bagian integral dari strategi nasional. Berbagai upaya dan strategi dilakukan dengan melibatkan stakeholder terkait, diantaranya adalah penguatan pendidikan dan literasi anak, penguatan keterlibatan orang tua, keluarga serta orang-orang di lingkungan terdekat anak melalui pola pengasuhan, sosialisasi pencegahan untuk anak-anak yang mungkin terkena dampak jaringan terorisme, reintegrasi sosial dan deradikalisasi bagi anak-anak yang terpengaruh. 

Salah satu fokus terkait dengan hal ini lainnya adalah upaya penguatan implementasi RAN PE dan Program Sinergitas baik antar K/L maupun antar OPD di daerah. Dalam memastikan perlindungan anak-anak yang menjadi korban jaringan terorisme KPAI menemukan berbagai situasi dan kondisi yang perlu perhatian secara komprehenshif, sebagai berikut.

1. Pencegahan
a. Kementerian Agama RI dan Kemendikbudristek RI perlu merumuskan kebijakan dan strategi program pengawasan termasuk memberikan sanksi dalam upaya pencegahan radikalisme dan terorisme kepada anak di lingkungan satuan pendidikan, termasuk lembaga pendidikan informal lainnya.
b. Pemerintah Pusat dan Daerah perlu melakukan penguatan pola pengasuhan anak berperspektif nasionalisme, moderasi beragama, dan literasi digital kepada para orang tua, keluarga, dan orang-orang di lingkungan terdekat anak.
c. Pemerintah Daerah perlu menguatkan keterlibatan perangkat daerah mulai dari RT, RW, Babinsa, Babinkamtibmas, lurah, camat, koramil, kapolsek, tokoh agama, tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat dalam rangka pengawasan, deteksi dini bibit/calon radikalisme dan terorisme, sehingga dapat menciptakan daerah atau kawasan tempat tinggal yang aman, terbebas dari radikalisme dan terorisme, berbasis kearifan lokal. 
d. Kemkominfo RI dan BNPT RI hendaknya meningkatkan produksi konten kontra radikalisme dan terorisme sesuai dengan segmentasi usia.

2.Penanganan
a. Kemkominfo RI perlu melakukan pengawasan terhadap konten-konten yang bermuatan radikalisme dan terorisme.
b. Kemensos dan BNPT RI perlu menguatkan keterlibatan stakeholder terkait dalam proses deradikalisasi dan reintegrasi sosial ke masyarakat.

3. Implementasi Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2021 tentang Rancangan Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme 2020-2024:
a. BNPT RI dan Pemerintah Daerah perlu meningkatkan sosialisasi yang masif tentang RAN PE dan program sinergitas kepada stakeholder terkait.
b. BNPT RI mendorong peningkatan peran dan partisipasi stakeholder dalam upaya pencegahan dan penanganan anak korban jaringan terorisme seperti peningkatan peran BAZNAS dalam penyelesaian permasalahan keluarga ex-Napiter.
c. BNPT RI perlu melakukan pendampingan kepada Pemerintah Daerah dan stakeholder terkait implementasi RAN PE dan program sinergitas di daerah, meliputi:
i. Mendorong terbitnya Perda terkait dengan Pencegahan dan Penanganan Anak Korban Jaringan Terorisme;
ii. Menyusun mekanisme atau panduan implementasi RAN PE dan program sinergitas bagi Stakeholder di daerah;
iii. Mendorong peningkatan alokasi anggaran dalam rangka pencegahan dan penanganan anak korban jaringan terorisme, berbasis pada hasil kajian terhadap situasi dan kondisi serta permasalahan-permasalahan keluarga ex-Napiter.
iv. Mendorong penguatan program pencegahan dan penanganan anak korban jaringan terorisme dari stakeholder di daerah, berbasis pada hasil kajian terhadap situasi dan kondisi serta permasalahan-permasalahan keluarga ex-Napiter;
d. BNPT RI perlu menguatkan keberadaan Fasilitator Daerah baik dari sisi kuantitas maupun kualitas, termasuk mendorong dukungan fasilitas berdasarkan hasil kajian terhadap kondisi, situasi, dan kebutuhan masing-masing daerah.

III. Anak Korban pornografi dan Cyber Crime 

Perlindungan anak dari kejahatan cyber dan pornografi di Indonesia melibatkan kerjasama antara pemerintah, keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Upaya dimulai dengan pendidikan literasi digital bagi anak-anak dan peran aktif keluarga dalam mengawasi aktivitas online. 

Penggunaan filter dan kontrol parental, kerjasama dengan platform online, penegakan hukum, dan sanksi yang tegas merupakan langkah-langkah penting. Sosialisasi dan kampanye meningkatkan kesadaran masyarakat, sementara dukungan psikologis dan konseling diperlukan untuk korban kejahatan tersebut. Tantangan penggunaan gadget dan literasi digital untuk anak menjadi perhatian serius dalam 5 tahun terakhir, sehingga hasil-hasil pengawasan di tahun 2023 menitik beratkan anak-anak yang terpapar pornografi dan cyber crime sebagai berikut :

1. Peraturan Kebijakan
a. Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu melakukan filtering secara cepat akurat dan berdaya konten-konten bermuatan pornografi sesuai dengan undang-undang ITE. 
b. Mendorong implementasi dari Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik khususnya ketentuan terkait pemutusan akses dan denda administratif sesuai Pasal 90c, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 98, Pasal 100 ayat (2) b.
c. Mendorong Kemenko PMK segera mengaktivasi Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2012 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi serta penyusunan draft Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Pornografi.
d. Perlunya koordinasi lintas instansi (Kepolisian, Pemerintah Daerah, dan Pusat Layanan) dalam penanganan kasus pornografi.

2. Program
a. Penguatan edukasi literasi digital oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Agama di satuan pendidikan, masyarakat, dan komunitas.

3. Layanan Kasus
a. Memberikan perlindungan dan pendampingan pada korban dan keluarga terkait pornografi
b. Penguatan layanan UPTD PPA/P2TP2A agar dapat memberikan layanan kepada anak dan keluarga korban pornografi.
c. Mendorong Kemenkes untuk menyediakan layanan rehabilitasi anak yang terpapar pornografi di setiap RSUD atau RSJ.

4. Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Fisik Psikis Anak 
Kekerasan anak secara fisik adalah kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak seperti penyiksaan dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. 

Berikutnya kekerasan psikis adalah situasi perasaan tidak aman dan nyaman yang dialami anak. Kekerasan psikis dapat berupa menurunkan harga diri serta martabat korban; kekerasan psikis meliputi penghardikan, penganiayaan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, perundungan (bully). KPAI melakukan pengawasan dan pencegahan agar anak-anak terhindar dari kekerasan atau jika sudah terjadi mendapatkan penanganan yang cepat, tepat dan jelas. Rekomendasi KPAI  dari hasil pengawasan, sebagai berikut :

a. KPAI mendorong Presiden Republik Indonesia agar melakukan pengawasan dan meminta laporan secara berkala terhadap implementasi Peraturan Presiden No 10 tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak.
b. KPAI mendorong Presiden Republik Indonesia mencanangkan Gerakan Zero Kekerasan pada Anak, agar di tahun 2045 Indonesia menjadi negara dengan 0 kasus kekerasan pada anak. 
c. Kementrian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan agar melakukan pemantauan secara komprehensif dari Kementrian/Lembaga terkait implementasi Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak. 
d. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak agar melakukan penangan kekerasan terhadap anak secara integratif dan komprehensif melibatkan multi stakeholder.
e. Kementrian Sosial agar membuat regulasi pelaksaan pekerja sosial untuk mendampingi kasus kekerasan kepada anak korban secara terstandar dan struktur. Serta dengan respon cepat memberikan bantuan sosial kepada anak korban kekerasan sesuai dengan mandate Undang-undang Perlindungan Anak. 
f. Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi agar melakukan pengawasan dan memberikan respon yang cepat terhadap kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Begitu juga dengan pengawasan terhadap implementasi Permendikbud No 46 tahun 2023 tentang Pencegahan Kekerasan di Satuan Pendidikan, harapannya tidak hanya sekedar aturan saja, namun implementasinya harus diawasi secara berkala dan terukur, tidak hanya sekedar kuantitatif namun juga kualitatif. Kemendikbud perlu melakukan pengawasan peran Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) pada berbagai level dan meningkatkan peran TPPK tidak hanya sebatas kuantitas, namun juga kualitas tim TPPK.
g. Kemendikbud Ristek perlu melakukan capacity building kepada guru-guru Bimbingan Konseling (BK), serta perlu adanya perubahan perspektif terkait guru BK (perlu adanya redefinisi terkait pemahaman tugas dan fungsi guru BK), terutama untuk efektifitas pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. 
h. Kemendikbud Ristek melalui Sekolah perlu memberlakukan kembali jam pelajaran untuk guru BK di kelas yang berisi penyampaian materi-materi anti bullying, reproduksi sehat, tugas-tugas perkembangan anak, fenomena sosial dari guru BK.
i. Kementrian Agama agar membuat regulasi khusus untuk pencegahan dan penanganan kekerasan di Madrasah secara komprehensif dan mudah dipahami serta dilaksanakan di satuan pendidikan dan pesantren. 
j. Kementerian Kesehatan perlu menetapkan kebijakan agar pemerintah daerah dapat menyediakan Psikolog Klinis minimal di seluruh RSUD di setiap Kab/Kota atau bahkan di level Puskesmas, dan dalam pelaksanaannya masyarakat dapat menggunakan BPJS sehingga layanan terkait pemulihan "sakit" mental menjadi sehat mental dapat diakses oleh seluruh masyarakat khususnya anak dan pemuda serta mendesak agar UU terkait Kesehatan mampu menjawab fenomena ketersediaan, pemerataan, dan pembangunan kapasistas psikolog. 
k. Kementrian Pemuda dan Olahraga agar melakukan upaya preventif dan solutif terkait dengan pencegahan kekerasan terjadi pada anak dengan kegiatan yang bersifat suportif dan suistanability demi terciptanya pemuda harapan bangsa.
l. Kementrian Komunikasi dan Informasi agar melakukan filtering situs yang berafiliasi sebagai salah satu penyebab anak terinspirasi melakukan kekerasan, seperti situs jual beli organ manusia, game berbau kekerasan, suicide, dll. 
m. Badan Riset Inovasi Nasional perlu melakukan survey kepada seluruh anak Indonesia baik yang bersekolah formal dan non formal, yang pernah mengalami kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis dan kekerasan seksual. Data ini dipakai sebagai acuan membuat Pemerintah dan seluruh stakeholder untuk melakukan pencegahan dan penanganan yang terintegrasi, komprehensif dan massif. 
n. Kepala Daerah agar membuat regulasi peraturan daerah dalam pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak, serta melakukan tindak lanjut dari Strategi Nasional PKTA yang sudah menjadi peraturan Presiden. 
o. Pemerintah Daerah melaksanakan Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (PKTA) dengan mengidentifikasi aspek sosial budaya di masing-masing wilayah.
p. Dinas Provinsi, Kabupaten Kota perlu melakukan penyuluhan rutin bagi anak dan pemuda dengan memasukkan materi pencegahan dalam kurikulum belajar, membuat komunitas anak bebas bullying, membuat konten-konten medsos baik melalui video, poster, iklan TV, dll tentang pencegahan kekerasan anak, kemudian merangsang anak2 membuat kegiatan produktif seperti lomba pembuatan video anti bullying, dll. 
q. Dinas Pendidikan dan Satuan Pendidikan melakukan penyuluhan kepada orang tua murid atas peran pengasuhan dari orang tua kepada pembatasan penggunaan gadget/smartphone (untuk tugas sekolah, game online, komunikasi dan media sosial), sebagai deteksi awal pencegahan kekerasan pada anak;
r. Aparat Penegak Hukum, Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim Pengadilan perlu meningkatkan kualitas hukum yang berperspektif perlindungan anak, baik dalam proses hukum maupun pemenuhan hak restitusi anak korban pidana dan tetap bersinergi dengan OPD terkait.
s. Kepada Persatuan Wartawan Indonesia, agar setiap kasus kekerasan pada anak terutama korban, saksi dan pelaku tidak terekspose latar belakang dan terkait dengan data pribadi karena sesuai dengan UU Perlindungan Anak. 
t. Kepada Organisasi Masyarakat lintas agama agar melakukan edukasi dan pencegahan kekerasan pada anak serta membangun system regulative yang terkoordinasi dengan baik dengan organisasi yang lain.  

5. Indonesia Bebas Pekerja Anak Perlindungan Anak Korban Eksploitasi

Pekerja anak merupakan isu global yang diagendakan untuk ditanggulangi secara menyeluruh dan berkesinambungan. Komitmen ini dinyatakan dalam bentuk cita-cita bersama dengan moto “Masa Depan Tanpa Pekerja Anak” (Future without Child Labour) sebagai upaya global (global efforts) mengakhiri pekerja anak. Dalam melakukan pengawasan pekerja anak tahun 2023, KPAI telah lakukan pengawasan di 10 titik se-Indonesia memetakan kerentanan yang dihadapi pekerja anak dan juga peran-peran pentahelix dalam menanggulangi pekerja anak, termasuk layanan yang tersedia bagi pekerja anak. Rekomendasi KPAI mendorong upaya penyempurnaan peta jalan Indonesia Bebas Pekerja Anak dan perbaikan kebijakan serta program pembangunan dalam perlindungan anak, sebagai berikut:

a. Kepada pemerintah Pusat : 
1. Kepada Presiden RI bahwa upaya menghapus situasi anak dalam katagori pekerja anak, anak bekerja, maupun anak dalam bentuk pekerjaan terburuk perlu dilanjutkan dalam RPJMN 2024-2029 untuk memastikan upaya pencapaian SDGs, menurunkan kemiskinan ekstrim dan meningkatkan Human Development Indeks dan capaian kesejahteraan anak.
2. Menteri Dalam Negeri RI perlu mendorong dukungan pada pemerintah daerah untuk memperkuat kelembagaan dan dukungan RAD meliputi program, penganggaran dan SDM sebagai upaya menghapus pekerja anak. Sekaligus mendorong untuk memasukan nomenklatur khusus terkait Penghapusan Pekerja Anak dalam rancangan APBD.
3. Mendorong Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi untuk melakukan pengawasan penggunaan Dana Desa, khususnya terkait kegiatan pencegahan maupun penanganan pekerja anak di level desa.
4. Mendorong Menteri Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia untuk melakukan pemutakhiran data pekerja anak, pengawasan yang terstruktur dan berkelanjutan, serta adanya penegakkan regulasi bagi dunia usaha yang belum melakukan pelarangan pekerja anak. Serta perlunya kanal pengaduan pekerja anak yang terintegrasi pada mekanisme penyelesaian persoalan ketenagakerjaan, sehingga memiliki skema remediasi yang memberi dukungan optimal pada anak.
5. Mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI untuk menjadi kementerian yang mengkoordinasikan kebijakan dan melakukan perlindungan pada pekerja anak dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan khusus, serta mendorong penguatan indikator pekerja anak menjadi capaian PKA menuju Indonesia layak anak.
6. Kementerian Sosial RI perlu membentuk nomenklatur baru yaitu Pekerja Anak, sebagai salah satu jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial.
7. Mendesak Kemendikbudristek RI dan Kemenag RI melakukan review dan optimalisasi kebijakan dalam upaya perlindungan anak dari situasi pekerja anak dalam katagori Magang dan PKL dan penerimaan hak pendidikan pekerja anak.

b. Kepada pemerintah daerah : 
1. Mendorong pemerintah daerah melakukan perencanaan dan pengalokasian khusus mengenai upaya menghapus pekerja anak disertai peningkatan SDM untuk menjamin kompetensi pelaksanaan di lapangan;
2. Disnaker Provinsi perlu melakukan pemutakhiran data, pengawasan yang terstruktur dan berkelanjutan, serta adanya penegakkan regulasi bagi dunia usaha yang belum melakukan pelarangan pekerja anak, serta memastikan pengawasan pekerja anak di dunia usaha dan penegakkan pelarangan pekerja anak pada dunia usaha termasuk anak-anak yang terlibat dalam suplly chain (rantai pasok).
3. Disdik Provinsi perlu memastikan dunia pendidikan (SMK) melakukan pencegahan dan penanggulangan pekerja anak melalui penguatan regulasi PKL dan Magang (Note: terkait regulasi PKL (Praktik Kerja Lapangan) diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Praktik Kerja Lapangan Bagi Peserta Didik sedangkan kebijakan terkait magang diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri (syarat magang pasal 9); serta memastikan pemenuhan pendidikan tingkat menengah (SMA)/MA anak-anak yang terindikasi menjadi pekerja anak.
4. Mendorong DP3AKB provinsi melakukan fungsi monitoring dan memastikan lembaga layanan serta SDM perlindungan anak memfasilitasi pekerja anak untuk kembali terpenuhi hak-haknya; serta mendorong fungsi koordinasi dan implementasi kota/kabupaten dalam capaian KLA dalam kluster 5 tentang menghapus pekerja anak.
5. Disnaker kota/kab meningkatkan program dan pembinaan SDM tentang larangan pekerja anak.
6. DP3AKB kota /Kabupaten perlu meningkatkan program dan alokasi anggaran khusus mengenai upaya menghapus pekerja anak; meningkatkan fungsi koordinasi dan layanan upaya pencegahan dan penanggulangan pekerja anak; dan memperkuat upaya perlindungan PKA dan optimalisasi indikator KLA mengenai pekerja anak.
7. Dinsos kota/kabupaten perlu memastikan akurasi data penerima manfaat jaring pengaman nasional, terutama bagi keluarga yang memiliki pekerja anak.

c. Kepada lembaga masyarakat dan pegiat perlindungan anak:
Mendorong lembaga masyarakat, pengawas, dan lembaga layanan terlibat dalam pendampingan, pelaporan, penyediaan layanan dan pengawasan pekerja anak; serta Mendorong lembaga pendamping di masyarakat menjadi bagian masyarakat sipil yang terlibat dalam memberikan masukkan kebijakan dan program pemda untuk bekerjasama dalam upaya - upaya penanggulangan pekerja anak kerja sama dalam menghapus pekerja anak; Memastikan lembaga pendamping menjadi aktor IBPA dan memiliki standar kelembagaan yang dikuatkan oleh pemda; dan Lembaga pendamping menjadi pioneer atas pencegahan dan penanggulangan pekerja anak sekaligus menjadi katalisator peran-peran pemerintah daerah dalam penanggulangan pekerja anak.

d. Kepada media
Mendorong media menjalankan tugas dan fungsinya dalam perlindungan anak yakni melaksanakan penyebarluasan informasi dan materi edukasi yang bermanfaat dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama, dan kesehatan Anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak; memastikan media menjadi bagian penting pengawasan tentang upaya menghapus pekerja anak; dan mendorong kerja sama strategis antara media dengan pemda untuk peningkatan SDM dan profesionalitas media dalam upaya menghapus PA dan perlindungan anak secara umum.

e. Kepada dunia usaha
Perusahaan perlu melakukan sosialisasi kepada jajaran staf maupun pihak-pihak lainnya terkait adanya kebijakan/peraturan larangan mempekerjakan anak termasuk menginformasikan tentang PA, BPTA dll; mendorong perusahaan membangun sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja untuk menjamin kesehatan dan keselamatan pekerja; mendorong perusahaan untuk memastikan pencegahan pekerja anak di sepanjang jalur rantai pasok Perusahaan; mendorong perusahaan untuk membangun standar prosedur operasional mengenai penghapusan pekerja anak di lingkungan Perusahaan; dan mendorong perusahaan untuk merumuskan program Tanggung Jawab Sosial (CSR) yang berfokus pada pemenuhan hak-hak anak.

f. Kepada dunia Pendidikan dan Perguruan Tinggi
Mendorong Perguruan Tinggi untuk memasukkan materi tentang perlindungan anak (PA,BPTA dll) dalam kurikulum perkuliahan ataupun kegiatan-kegiatan yang melibatkan mahasiswa di kampus (pembekalan KKN, Pengabdian, dll) ataupun pihak-pihak lainnya; Perguruan Tinggi (PT) penting untuk terlibat aktif dalam mengembangkan model-model kegiatan yang mendukung pencegahan dan penanggulangan PA, BPTA. (S-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Chadie

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat