visitaaponce.com

Revisi UU Penyiaran Dinilai Mengancam Jurnalisme dan Kebebasan di Ruang Digital

Revisi UU Penyiaran Dinilai Mengancam Jurnalisme dan Kebebasan di Ruang Digital
Ilustrasi kebebasan jurnalistik(Freepik)

REVISI Undang-Undang Penyiaran dinilai mengancam jurnalisme dan kebebasan ruang digital. Seperti diketahi, saat ini, DPR RI sedang merancang revisi UU Penyiaran yang diusulkan pada 2 Oktober 2023. Berdasarkan draft tersebut, perluasan definisi penyiaran yang semula hanya pada media konvesnional, dialkukan dengan merambah ke digital.

Menurut Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra Arief, ada beberapa hal yang mengkhawatirkan, salah satunya diaplikasikannya panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran dalam definisi penyiaran konvesnional di ranah digital. Artinya, akan ada pembatasan atau pelarangan terhadap isi dari konten platform digital. Aturan itu juga menyatakan bahwa paltform digital akan mendapatkan sanksi layaknya TV.

“Ada tiga konsekuensi. Karena masuk ke ranah digital, KPI akan ke ranah digital, dan ada beberapa larangan berlebihan atas konten digital. Dan ini akan mengancam kebebasan pers,” katanya dalam media briefing di Jakarta, Rabu (24/4).

Baca juga : AMSI: Perpres Publisher Rights Bersihkan Ruang Digital Dari Sampah

Namun, menurut dia, dalam pasal tersebut, definisi konten di ranah digital serta platform penyelenggara konten di ranah digital sangatlah luas. Ia pun mempertanyakan, apakah konten yang ada dalam TikTok, YouTube ataupun media sosial lainnya masuk juga dalam ranah pengawasan KPI di ranah digital.

Di samping itu, menurut dia, ada beberapa larangan berlebihan atas konten digital. Misalnya saja, dalam draft revisi UU tersebut, dikatakan bahwa TV digital tidak boleh menayangkan berbagai hal, di antaranya konten kekerasan maupun narkotika. Di samping itu, pasal tersebut juga menyebutkan adalnya larangan penayangan ekslusif jurnalisme investigasi.

“Banyak platform yang gak bisa menayangkan apa-apa kalau aturan ini benar terjadi. Di digital kan sangat banyak konten yang menguak aksi kekerasan dan korban. Lalu karena kodenya memuat larangan, hal-hal ini gak boleh ada,” ucap dia.

Baca juga : Ketua Komisi I DPR Ingin Perpres Publisher Rights Jadi UU

Untuk itu, ia menilai, banyak hal membingungkan yang perlu dijabarkan oleh pemerintah terkait dengan revisi UU tersebut. Beberapa hal yang menurut dia penting untuk dijawab di antaranya, apa saja subjek pengaturan dan pengawasan KPI, dan apa yang dimaksud dengan larangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

“Lalu, apa saja yang dimaksud larangan penayangan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif yang berpotensi ditiru masyarakat? Dan bagaimana mengatasi masalah tumpang tindih kewenangan antara KPI dan Dewan Pers?” Tandas dia.

Pada kesempatan itu, Ketua Bidang Data dan Informasi Aliansi Jurnalis Indepenen Bayu Wardhana menilai, pembahasan mengenai revisi UU tersebut sangat tertutup dan tidak dipublikasikan secara transparan.

Baca juga : Enesis Manfaatkan Kekuatan Konten Digital dalam Komunikasi 

Dalam bidang jurnalistik, ada beberapa hal yang menurut Bayu mengancam kebebasan pers di antaranya ialah pasal 25 ayat 1q, yang mengatakan bahwa KPI berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.

“Selama ini, UU yang berjalan, KPI berkoordinasi dengan Dewan Pers. Ada pelanggaran bukan jurnalistik, seperti di biang hiburan dan sebagainya, itu memang ranah KPI. Tapi untuk saluran berita, KPI melimpahkan ke Dewan Pers. Dan UU ini akan memotong itu semua. Dewan Pers tidak dilibatkan,” beber Bayu.

Selain itu, pasal 56 ayat 2 memuat aturan mengenai larangan mengenai penayangan eksklusif jurnalis investigasi. “Ini sangat berbahaya kalau diloloskan. Dan apa yang dimaksud dengan pasal ini? Kalau diloloskan, berita-berita hanya sebatas berita seremonial dan sebagainya, tidak ada kritisi,” tegasnya. (Z-10)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Gana Buana

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat