visitaaponce.com

Konstruksi Perang yang Maskulin Buat Perempuan dan Anak Jadi Korban

Konstruksi Perang yang Maskulin Buat Perempuan dan Anak Jadi Korban
Massa dari berbagai elemen yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda(MI/Usman Iskandar)

STAF Khusus Wakil Ketua MPR RI, Arimbi Heroepoetri mengatakan bahwa konflik Palestina dan Israel sudah sejak lama berlangsung, namun belakangan ini konflik itu kembali mencuat. Hal yang menjadi pembicaraan baik di ranah nasional dan internasional adalah masalah kemanusiaan di dalamnya di mana itu melibatkan masyarakat sipil dengan banyak korban baik laki-laki, perempuan, anak anak dan lansia.

“Untuk itu, kami ingin membuka dialog dan masukan yang positif untuk bersama sama kita melihat bagaimana posisi perempuan dan anak dalam konflik tersebut yang dapat kita formulasikan untuk menyumbang perbaikan kondisi di sana,” ungkapnya dalam Forum Diskusi Denpasar (FDD) 12 bertajuk Keberpihakan Perempuan Pancasila: Bentuk Solidaritas untuk Perempuan dan Anak-anak di Konflik Palestina-Israel, Rabu (12/6).

"Solidaritas pada yang tertindas, menderita, termarjinalkan dan mengalami subordinasi, merupakan panggilan kemanusiaan yang menembus semua sekat perbedaan dan setiap struktur kuasa," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam sambutannya.

Baca juga : 6.000 Bom Israel di Palestina 6 Hari, Setara dengan Setahun Bom AS di Afghanistan

Lebih lanjut, Anggota DPR RI, Willy Aditya menambahkan bahwa jika dibandingkan bom yang meletus di perang dunia kedua itu kalah banyak dengan yang dilakukan oleh Israel.

“Kalau kita merujuk pada sejarah, bukan bangsa Palestina yang harus bertanggung jawab atas penderitaan bangsa Yahudi, tapi bangsa Eropa yang harus bertanggung jawab atas penderitaan mereka itu atas diskriminasi yang mereka alami,” kata Willy.

Menurutnya, satu kenyataan yang getir bahwa pada kenyataannya dunia internasional tidak bisa berbuat banyak atas kejadian ini. Mereka hanya bisa saling berdebat dan saling berselisih atas apa yang terjadi. Bahkan pengadilan internasional hanya mampu menjatuhkan sanksi tanpa bisa mengeksekusi.

Baca juga : Dukungan Kemerdekaan Palestina bagian Komitmen Menjalankan Amanah Konstitusi

Partai NasDem sendiri dikatakan sedang merencanakan untuk menggelar aksi solidaritas internasional untuk Palestina, di mana pihaknya ingin memulai gerakan lima dolar untuk Palestina dan itu menjadi bentuk konkret untuk menggalang solidaritas terhadap Palestina.

“Kita tahu Bung Karno pada 1960-an pernah berpidato di PBB yang mengguncang dunia. Beliau memberikan sebuah perspektif bagaimana organisasi seperti PBB terjebak pada dua poros besar yang tidak bisa menjadi alternatif,” tuturnya.

“Bung Karno memberikan pandangan bahwa kami bangsa Indonesia tidak bersedia bertopang dagu sedangkan dunia menuju ke jurang keruntuhan. Kami tidak bersedia bahwa fajar cerah dari kemerdekaan kami diliputi oleh awan radioaktif. Tidak satupun bangsa Asia akan bersedia menerima hal ini dan ini menjadi landasan penting secara politik dan ideologis bagi bangsa Indonesia bahwa kita tetap memperjuangkan kemerdekaan Palestina,” lanjut Willy.

Baca juga : 104 Hari Genosida Israel, 10.800 Anak Gaza Terbunuh

Di tempat yang sama, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Andy Yentriyani menegaskan bawa perang itu bukan hal yang baru dan secara umum merupakan sebuah konstruksi yang sangat maskulin, karena terjadi perebutan kuasa yang menempatkan satu orang harus menaklukan satu orang lainnya dibandingkan power sharing atau berbagi kekuasaan untuk mencapai tujuan bersama.

Karena konstruksinya sangat maskulin, maka kelompok di dalam masyarakat yang dianggap lebih lemah dari simbol maskulinitas itu atau dalam hal ini laki-laki akan menjadi pihak yang paling banyak menjadi korban.

“Kalau lihat dalam pengalaman perang dan konflik itu perempuan menjadi korban terbanyak selain anak-anak dan memiliki kerentanan yang sangat khas seperti kekerasan seksual utamanya pemerkosaan. Karena hal itu dianggap menjadi simbol penaklukan dari kelompok yang tidak mampu melindungi perempuan. Jadi konstruksinya balik lagi pada konstruksi maskulinitas,” ucap Andy.

Baca juga : Dokter Gaza Ungkap Bom Israel Sebabkan Luka Bakar Derajat IV, Rusak hingga ke Tulang

Bentuk lain yang sangat khas dalam perang dikatakan adalah perdagangan orang. Perempuan biasanya diperjualbelikan seperti budak, belum lagi di dalam pengungsian yang jumlahnya banyak sekali dan tidak ada kendali sehingga rentan terhadap eksploitasi seksual, di mana orang memanfaatkan ketidakmampuan orang lain untuk mendapatkan keuntungan tertentu.

“Sebagai pengungsi, mereka tidak bisa bekerja dan berharap pada bantuan yang masuk dan untuk dapatkan bantuan seringkali perlu bernegosiasi dan kadang-kadang negosiasi itu tidak menempatkan diri mereka menjadi satu orang yang berdaya namun menjual dirinya bahkan,” imbuhnya.

Hal itu diamini oleh Kepala Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Athiqah Nur Alami. Dari data yang ada, korban meninggal dan luka-luka di Palestina semakin bertambah sampai hari ini sudah sekitar 37 ribu orang meninggal, di mana di antaranya ada 9 ribu perempuan dan 13 ribu anak-anak yang meninggal.

Perang di Gaza ini telah menjadi isu feminisme dan isu gender yaitu perempuan dan anak di mana dalam konflik mereka selalu menjadi pihak yang terdampak. Kasus ini juga dikatakan sudah menyentuh femicide atau genosida terhadap perempuan.

“Kebijakan Israel juga telah menyentuh ranah privat dengan keterbatasan mobilitas bagi warga Palestina, lalu perempuan Palestina akan menikah sulit mendapatkan akta pernikahan serta banyak perempuan Palestina yang ditahan di penjara Israel dan mendapat treatment yang buruk. Jadi kita lihat ada dimensi gender di sana sehingga justifikasi self defense dari Israel tidak lagi valid,” tegas Athiqah.

Posisi Indonesia menurutnya sangat penting di sini karena narasi atau argumen anti kolonialisme terus disuarakan oleh Indonesia, termasuk juga solidaritas dan nilai-nilai atau prinsip kemerdekaan terus didorong oleh Indonesia.

“Kita tau bahwa kepemimpinan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sangat aktif dalam forum internasional. Beliau menggunakan perannya sebagai perempuan untuk mendorong pentingnya isu terkait dengan gender yang terjadi sebagai akibat dari perang,” urainya.

Perempuan dan Anak-Anak di Palestina Berada di Bawah Penjajahan

Sementara itu, Pakar Geopolitik Timur Tengah sekaligus Dosen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Dina Y. Sulaeman menekankan bahwa posisi perempuan dan anak-anak di Palestina adalah manusia yang berada di bawah penjajahan.

“Indonesia selalu menyatakan bahwa Palestina itu belum merdeka baik dari kepemimpinan zaman dulu sampai dengan saat ini. Bu Retno menyatakan bahwa OKI masih punya utang untuk memerdekakan bangsa Palestina dan perdamaian dengan Israel hanya dapat dilakukan jika Israel menghentikan pendudukannya terhadap Palestina. Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa posisi perempuan dan anak-anak di Palestina adalah posisi manusia yang belum merdeka dan manusia yang sedang terjajah yang wilayahnya sedang diduduki,” kata Dina.

Menurutnya, Indonesia dapat mengadvokasi persoalan ini berdasarkan sila kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena dari awal kasus ini adalah penjajahan.

“Untuk itu, pemerintah tidak boleh mengambil sikap yang ambigu. Contohnya Pak Prabowo memberikan pernyataan Pemerintah Indonesia menegaskan dukungan bagi kemerdekaan dan kedaulatan Palestina. Ini tepat karena kita menganggap bahwa Palestina adalah bangsa yang terjajah. Israel itu pelanggar hukum internasional baik itu konvensi jenewa, konvensi genosida dan hukum perang itu sudah dilanggar Israel. Tapi pemerintah kita juga bicara bahwa kita menyerukan kedua belah pihak menghormati hukum perang. Padahal Palestina terjajah dan mereka berhak untuk melawan sesuai resolusi PBB,” pungkasnya. (Des/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat