visitaaponce.com

Pengamat Nilai Perlu Ada Reformulasi Kebijakan Pendidikan

Pengamat Nilai Perlu Ada Reformulasi Kebijakan Pendidikan
Ilustrasi pendidikan tinggi.(MI/AMIRUDDIN ABDULLAH REUBEE)

PAKAR pendidikan sekaligus Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini mendorong adanya reformulasi kebijakan pendidikan dan pendidikan tinggi. Hal tersebut penting untuk memastikan penggunaan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

Menurutnya, alokasi dana pendidikan yang tidak relevan harus direalokasi. Didik mencontohkan, Kementerian Keuangan memiliki sekolah kedinasan PKN STAN untuk mencetak para akuntan. Padahal, saat ini banyak univeritas atau perguruan tinggi yang dapat menghasilkan akuntan yang sama.

“Akuntan dulu memang susah, karena itu disebut binatang langka. Dan waktu itu akuntan India sama Filipina menyerbu sini, sekarang sudah banyak. Jadi tidak perlu lagi dia menyerap anggaran banyak yang rasionya Rp30-Rp40 juta (per mahasiswa per tahun), mengalahkan yang lain, menghasilkan yang sama,” papar Didik dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja (Panja) Pembiayaan Pendidikan Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/6).

Baca juga : Komisi 3 DPR RI Apresiasi Capaian BNPT dan Dukung Penuh Penambahan Aggaran Tahun 2025

Menurutnya, dana alokasi pendidikan 20% itu terlalu tercerai-berai di mana-mana. Sebagai informasi, alokasi anggaran pendidikan diamatkan sebesar 20% dari APBN maupun APBD sesuai pasal 31 ayat 4 UUD 1945. Dengan APBN 2024 sebesar Rp3.325 triliun, anggaran pendidikan pada 2024 mencapai Rp665 triliun.

Pada kesempatan yang sama, Rektor Universitas Yarsi Fasli Jalal menyebut anggaran pendidikan di Indonesia memang cukup rumit. Ia mempertanyakan alokasi anggaran pendidikan yang kurang relevan. Misalnya, ada bantuan dana pendidikan dari Kementerian Sosial untuk anak-anak dari keluarga miskin. Padahal sudah ada bantuan serupa seperti Program Indonesia Pintar dari Kemendikbud-Ristek.

“Nanti saya takut lama-lama banyak definisi 20% itu dipakai. Apa aja, masukkin, kaitkan dengan pendidikan. Kemiskinan, orang miskin yang bersekolah anaknya, kasih. Jadi nanti 20% ini bisa ke mana-mana,” ujar Fasli.

Baca juga : Polri Minta Tambahan Anggaran untuk 2025 Hingga Rp60 Triliun

Menurutnya, hal-hal demikian harus segera dibenahi, termasuk tidak memasukkan sekolah kedinasan dalam alokasi 20% anggaran pendidikan. “Pendidikan kedinasan sudah dari awal tidak dimasukkan,” jelasnya.

Fasli juga menyoroti anggaran pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Data 2020 menyebut total yang dibutuhkan untuk pendidikan tinggi per mahasiswa di Indonesia yakni US$2.000 per mahasiswa per tahun, di bawah India US$3.000, Malaysia US$7.000.

“Padahal kita mau mengejar world class (university), R&D yang kuat, hilirisasi dari kekayaan alam, dan segala macam, itu menjadi nonsense kalau pendidikan tingginya gak kuat. Kalau benchmark di internasional, pendidikan tinggi itu 1% dari PDB. Kita membutuhkan minimal lebih dari Rp110 triliun,” pungkasnya. (Ifa)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Budi Ernanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat