visitaaponce.com

Gawat Jepang Cuma Tinggal Nama Tanpa Peningkatan Angka Kelahiran

Gawat! Jepang Cuma Tinggal Nama Tanpa Peningkatan Angka Kelahiran
Ilustrasi(AFP/PHILIP FONG)

PENASIHAT Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, Masako Mori menyatakan sejarah negaranya akan punah bersama dengan penurunan angka kelahiran. Generasi penerus Negeri Matahari Terbit di ujung tanduk tanpa terobosan yang efektif.

"Jika kita terus seperti ini, negara ini akan hilang. Perlambatan angka kelahiran mengancam untuk menghancurkan jaring pengaman sosial dan ekonomi," kata Mori.

Pernyataan itu diungkapkannya setelah Jepang mengumumkan pada 28 Februari bahwa jumlah bayi yang lahir pada 2022 merosot ke rekor terendah. “Orang-orang yang harus menjalani proses penghilangan inilah yang akan menghadapi kerugian besar. Itu penyakit mengerikan yang akan menimpa generasi muda saat ini,” tambahnya.

Tahun lalu, sekitar dua kali lebih banyak orang meninggal daripada yang lahir di Jepang. Dengan kurang dari 800ribu kelahiran dan sekitar 1,58 juta kematian. Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida telah berjanji untuk menggandakan pengeluaran untuk mendukung kenaikan angka kelahiran.

Populasi Jepang telah turun menjadi 124,6 juta dari 128 juta yang pada 2008, dan laju penurunan semakin meningkat. Sementara itu, proporsi orang berusia 65 tahun atau lebih meningkat menjadi lebih dari 29% pada 2022.

“Itu tidak jatuh secara bertahap, itu langsung turun,” kata Mori.

Dia menilai lesbian, gay, biseksual, transgender dan queer (LGBTQ) menjadi salah satu faktor penyebab penurunan angka kelahiran di Jepang. Jika tidak ada yang dilakukan, sistem jaminan sosial akan runtuh, kekuatan industri dan ekonomi akan menurun dan mengancam jumlah Pasukan Bela Diri.

"Sementara membalikkan penurunan sekarang akan sangat sulit karena penurunan jumlah perempuan usia subur. Jepang harus membuat program untuk memperlambat penurunan dan membantu mengurangi kerusakan," kata Mori.

Kishida belum mengumumkan isi dari paket pengeluaran barunya, tetapi mengatakan itu akan berada dari kebijakan sebelumnya. Sejauh ini dia telah menyebutkan peningkatan tunjangan anak, peningkatan penyediaan pengasuhan anak dan perubahan gaya kerja.

Namun para kritikus berpendapat membuang uang pada keluarga yang memiliki anak tidak cukup untuk mengatasi masalah tersebut. Sebuah makalah dari panel pemerintah tentang kesetaraan gender mengatakan bahwa diperlukan perubahan menyeluruh yang mencakup pengurangan beban perempuan dalam membesarkan anak dan mempermudah untuk berpartisipasi dalam angkatan kerja setelah melahirkan.

Tetapi dia mengkritik pemisahan kedua masalah ini. “Kebijakan pemberdayaan perempuan dan angka kelahiran sama saja. Jika Anda menangani hal-hal ini secara terpisah, itu tidak akan efektif,” pungkasnya. (Straits Times/Z-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat