visitaaponce.com

Eropa dan AS Bingung dengan Kenaikan Kasus Batuk Rejan

Eropa dan AS Bingung dengan Kenaikan Kasus Batuk Rejan
Ilustrasi -batuk(Freepik)

PADA musim dingin tahun 2023, pakar kesehatan di seluruh benua Eropa mulai memperhatikan anomali infeksi saluran pernapasan. Kasus batuk rejan, yang juga dikenal sebagai pertusis, semakin meningkat.

Tidak hanya Eropa, pejabat kesehatan di Amerika Serikat (AS) juga mulai melaporkan lonjakan kasus batuk rejan. Di Inggris, jumlah kasus meningkat ke titik tertinggi dalam dua dekade.

Pada Maret 2024, kasus batuk rejan di Eropa melonjak lebih tinggi dibandingkan dekade terakhir. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) hanya merilis angka setelah 2011.

Baca juga : Program Vaksinasi Covid-19 akan Diluncurkan di 100 Negara

Sekitar 32 ribu kasus dilaporkan di seluruh Eropa antara bulan Januari dan Maret 2024. Menurut ECDC, rata-rata kasus pertusis tahunan di Eropa adalah sekitar 38 ribu.

Jika tren ini terus berlanjut, kasus batuk rejan dikhawatirkan meningkat 10 kali lipat pada 2024 dibandingkan tahun-tahun biasanya. Menurut angka statistik dalam laporan terbaru ECDC mengenai situasi ini, sebagian besar kasus di Eropa terjadi pada bayi, populasi yang batuk rejannya bisa berakibat fatal.

Kelompok kasus tertinggi kedua yang dilaporkan terjadi pada kelompok usia 10-14 tahun. Dalam laporan terbaru ECDC itu juga dirinci, sebagian besar kasus batuk rejan di Eropa terjadi pada bayi dan bisa berakibat fatal. Kelompok kasus tertinggi kedua yang dilaporkan terjadi pada kelompok usia 10-14 tahun.

Baca juga : AS dan Eropa Matangkan Rencana Vaksinasi Covid-19

"Angka-angka ini perlu ditafsirkan dengan hati-hati. Sebab kasusnya bisa lebih tinggi dari yang dilaporkan," kata Paul Hunter, profesor kedokteran di Universitas East Anglia di Inggris, dilansir dari DW, Rabu (29/5).

Karena bayi mempunyai risiko yang sangat tinggi terhadap batuk rejan, mereka jauh lebih mungkin untuk menerima diagnosis dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Begitu banyak orang lanjut usia yang mungkin juga terjangkit batuk rejan yang tidak terdiagnosis.

Vaksinasi batuk rejan

Pada tahap awal, batuk rejan muncul seperti pilek. Pasien mungkin mengalami gejala pilek, demam ringan, bersin, dan batuk sesekali.

Baca juga : AS Dorong Korea Utara untuk Membuka Perbatasan Bagi Pekerja Kemanusiaan

Tetapi penyakit ini memasuki fase paling parah setelah beberapa minggu. Pada anak-anak dan bayi batuk kering biasanya terdengar mendengking dengan nada tinggi. Tahap ini bisa berlangsung hingga 10 minggu.

Para ahli mengatakan mereka tidak tahu mengapa kasusnya meningkat. Seperti kebanyakan wabah penyakit menular, penyebabnya bisa jadi disebabkan oleh berbagai faktor yang terjadi secara bersamaan.

Sebagian ahli mengatakan hal ini mungkin disebabkan menurunnya vaksinasi pertusis selama kehamilan di seluruh Eropa. Ketika bayi lahir, mereka tidak memiliki perlindungan terhadap batuk rejan jika ibunya tidak menerima vaksinasi selama kehamilan.

Baca juga : Kecerdasan Buatan Dongkrak Keuntungan Google Hingga Lampaui Ekspektasi

"Kita baru mulai memvaksinasi anak-anak untuk melawan batuk rejan pada usia sekitar delapan minggu. Padahal sebagian besar penyakit yang paling parah sebenarnya sering terjadi sebelum itu," kata Hunter.

Tingkat vaksinasi pertusis pada kehamilan sangat bervariasi di seluruh benua Eropa, menurut laporan ECDC bulan Mei. Di Spanyol, sekitar 88% ibu hamil telah menerima vaksinasi pertusis pada 2023.

Di Republik Ceko, yang populasinya mengalami lonjakan tajam kasus pertusis, hanya 1,6% yang menerima vaksinasi pada tahun yang sama. Sementara di Inggris, penyerapan obat di kalangan ibu hamil telah menurun selama satu dekade terakhir, dari sekitar 70% pada 2016 menjadi sekitar 60% pada 2023.

Peran covid-19

Selain itu, lonjakan kasus ini mungkin sebagian disebabkan yang disebut para pejabat kesehatan sebagai penurunan kekebalan masyarakat sejak pandemi covid-19.

Dengan diterapkannya protokol ketat selama pandemi untuk menangkal SARS-CoV-2, seperti penggunaan masker, mencuci tangan, dan mengurangi kontakl di tempat umum, kasus flu dan radang mencapai titik terendah dalam sejarah.

Sejak pandemi berakhir, kasus kembali meningkat. Tapi Hunter mengatakan hal itu tidak bisa sepenuhnya menjelaskan lonjakan dramatis batuk rejan. Hal ini karena batuk rejan tidak terjadi pada populasi dalam jumlah besar sebelum pandemi. Ada, tapi jarang, tidak seperti flu.

Faktor ketiga yang mungkin menjadi komplikasi adalah vaksin batuk rejan itu sendiri, kata para ahli. Vaksin pertusis pertama kali diperkenalkan pada pertengahan abad ke-20 di negara-negara maju seperti AS, Kanada, dan sebagian Eropa.

Meskipun sangat efektif, hal ini dikaitkan dengan efek samping negatif. Penurunan tajam penyerapan vaksin ini kemudian menyebabkan wabah pada 1970-an dan 80-an. Di akhir 1990-an dan awal 2000-an, banyak negara mulai memperkenalkan vaksin pertusis generasi kedua.

Meskipun tidak menimbulkan efek samping seperti vaksin generasi pertama, vaksin ini kurang efektif dan hanya memberikan kekebalan dalam jangka waktu yang lebih singkat.

"Meningkatnya kasus batuk rejan menimbulkan pertanyaan sulit bagi para dokter yang menangani masalah ini," kata Andrew Preston, profesor dan pakar batuk rejan di Universitas Bath di Inggris.

"Booster mungkin merupakan pilihan untuk menurunkan penyebaran," katanya menambahkan, namun tidak sepenuhnya jelas juga seberapa sering dapat disuntik booster sebelum kehilangan efektivitasnya.

Ada vaksin pertusis baru di luar sana, kata Preston, beberapa di antaranya dapat memberikan kekebalan yang jauh lebih unggul dibandingkan dengan dua vaksin yang tersedia saat ini.

Namun dia mengatakan program imunisasi ini akan sulit untuk dimasukkan ke dalam jadwal vaksinasi saat ini. Di Inggris dan sebagian besar negara Eropa, vaksin pertusis digabungkan dengan lima vaksin lainnya dalam satu suntikan.

Dengan demikian, untuk bisa memperkenalkan vaksin baru perlu merestrukturisasi vaksin kombinasi tersebut. "Anda harus memformulasi ulang semua vaksin lainnya, dan itu adalah tugas yang sangat besar,” kata Preston. (Z-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat