visitaaponce.com

Menakar Strategi RI dalam Menangkal Ancaman Konflik Laut China Selatan

Menakar Strategi RI dalam Menangkal Ancaman Konflik Laut China Selatan
KRI Diponegoro-365 berlayar untuk melakukan patroli serta latihan bersama di Perairan Natuna Utara, Kepulauan Riau, Jumat (1/10/2021).(Antara FOTO/Muhammad Adimaja)

KETEGANGAN di Laut China Selatan semakin mengkhawatirkan menyusul kebijakan Tiongkok yang berencana memberlakukan undang-undang penjaga pantai tahun 2021. Aturan itu mengizinkan Tiongkok menahan orang asing yang dicurigai melanggar.

Filipina menjadi negara yang paling keras bereaksi. Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr khawatir aturan yang akan berlaku efektif mulai 15 Juni 2024 menjadi pintu bagi penjaga pantai Tiongkok menangkapi nelayan Filipina yang mencari ikan di Laut China Selatan.

Baca juga: Ubah Wajah Laut China Selatan Jadi Sea of Peace

Baca juga : Ubah Wajah Laut China Selatan Jadi Sea of Peace

"(Kebijakan) itu justru memperburuk situasi," ujar Marcos dalam kunjungan kenegaraan di Brunei Darussalam, baru-baru ini, dilansir dari thejapantimes.

Tiongkok memiliki sengketa kedaulatan maritim di perairan tersebut dengan sejumlah negara ASEAN seperti Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam. 'Negeri Tirai Bambu' mengeklaim hampir seluruh Laut China Selatan melalui peta nine dash line (sembilan garis putus-putus).

Nine dash line itu memiliki luas 2 juta km persegi dan membentang sejauh 2.000 km dari daratan Tiongkok hingga beberapa ratus kilometer dari Filipina, Malaysia, dan Vietnam. Jalur itu diklaim Tiongkok sebagai wilayah maritim historis mereka.

Baca juga : Ubah Wajah Laut China Selatan Jadi Sea of Peace

Kekhawatiran Marcos atau yang karib disapa Bongbong cukup beralasan. Kedua negara memang kerap bersitegang dalam beberapa bulan terakhir termasuk ketika kapal penjaga pantai Tiongkok menggunakan meriam air hingga mengakibatkan kapal Filipina rusak termasuk melukai tiga tentara Filipina.

Dosen hubungan internasional dari Universitas Indonesia Broto Wardoyo menegaskan ketegangan antara Manila dan Beijing harus menjadi alarm buat Indonesia. Militer dan pertahanan mesti diperkuat sehingga konflik perairan itu tidak mengganggu kedaulatan RI.

"Kekuatannya Tiongkok di laut jauh lebih kuat. Tapi setidaknya Filipina melakukan upaya untuk melindungi dirinya untuk mengatakan 'wilayah itu punya kami dan kami menjaganya'," ujar Broto saat dihubungi Media Indonesia, Kamis (30/5/2024).

Baca juga : Marcos Jr Janji  Hadapi Tiongkok

Baca juga: Indonesia Dorong Negara Lain Ikut Akui Palestina 

Meski Indonesia tidak mengakui klaim nine dash line, agresivitas Tiongkok sangat mengusik kedaulatan Indonesia. Pasalnya, Laut Natuna Utara yang terletak di utara Kepulauan Natuna merupakan pintu gerbang utama menuju Laut China Selatan. 

"Yang paling penting dalam menjaga kedaulatan sebetulnya effective occupation. Effective occupation itu akan terkait dengan kemampuan kita dalam melindungi wilayah Natuna," ucap pakar international security tersebut. 

Baca juga : Bantu Hadapi Tiongkok, AS Hadiahi Jepang Tiket ke Bulan

Ito, demikian sapaannya, memuji Indonesia karena mengambil langkah maju dengan membangun pangkalan militer di Natuna. Yang harus dilakukan selanjutnya ialah rutin menggelar operasi perairan guna memastikan tidak ada kapal lain yang melanggar laut teritorial.

"Nah itu betul-betul akan tergantung pada kemampuan kita untuk melakukan perlindungan. Kalau kita enggak bisa memberikan perlindungan ke wilayah itu, ya negara-negara lain masuk ke dalam. Itu kuncinya," tegas dia. 

Tingkatkan MEF
Ia juga mendorong pemerintah semakin meningkatkan minimum essential force (MEF) atau kekuatan pokok minimum yang harus dimiliki TNI dalam mempertahankan kedaulatan RI. Pada 2020, capaiannya turun 62,31%, atau makin jauh dari targetnya yang ditingkatkan ke level 72%.

"Kementerian Pertahanan itu sudah punya titik-titik mana yang krusial. Kalaupun kita belum bisa full menyediakan segala sesuatunya untuk pertahanan, paling tidak kita beri prioritas pada titik-titik tersebut," imbuhnya.

Menko Polhukam Hadi Tjahjanto saat menghadiri upacara serah terima jabatan KSAU di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, 5 April lalu sepakat agar pengamanan di Laut Natuna Utara ditingkatkan. Ia melihat urusan itu juga menjadi domain militer Indonesia termasuk TNI-AU.

Pengetatan penjagaan Laut Natuna harus dibarengi dengan peningkatan alat utama sistem persenjataan (alutsista) milik TNI-AU seperti pesawat, radar, dan deteksi. "Peran AU sangat penting di situ baik pesawat tempur maupun pesawat angkut. Pesawat intai khususnya," ucapnya.

Finalisasi CoC
Sambil Indonesia memperkuat militer dan pertahanan, Ito yang juga pakar Studi Asia-Pasific meminta agar penyiapan kode etik atau code of conduct (CoC) ASEAN-RRT di Laut China Selatan dapat dilanjutkan oleh pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto.

"Kita butuh mekanisme ketika ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, kita harus bertindak seperti apa? Harusnya Tiongkok pun memahami itu. Karena tidak tertutup kemungkinan konflik di Laut China Selatan bisa berdampak ke Tiongkok," tegasnya.

Senada dengan Ito, Menko Polhukam Hadi mengatakan finalisasi CoC penting untuk mengatasi persoalan sengketa di Laut China Selatan. Diharapkan CoC yang lahir dari Declaration of Conduct itu rampung pada 2025 mendatang.

Juru Bicara II Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Rolliansyah Soemirat menuturkan, proses negosiasi CoC Laut China Selatan sudah berusia 20 tahun. Namun, aktual negosiasi baru berlangsung sejak 2019. Itu pun sempat terpotong lantaran merebaknya pandemi covid-19.

"Indonesia sudah melakukan banyak kegiatan, aktivitas, untuk mendukung proses ini. Antara lain, yang paling akhir, kita menjadi tuan rumah dari putaran lanjutan negosiasi code of conduct ini," ucap Rolliansyah dalam press brefing Kemlu, Rabu (29/5/2024).

Pertemuan terakhir itu terjadi pada Maret lalu. Indonesia menjadi host bacaan ketiga (third reading). "Sudah ada dua putaran yang selesai sebelumnya. Sekarang masuk ke putaran baru (third reading). Diharapkan putaran baru ini bisa menuju finalisasi dari negosiasi draf CoC," tuturnya.

Baca juga: Donald Trump Janji Tindak Tegas Aksi Pro-Palestina Jika Menang di Pilpres AS 2024

Negosiasi CoC Laut China Selatan berkali-kali ditekankan oleh Indonesia dalam berbagai kesempatan di berbagai level. Sekalipun tidak termasuk pihak bertikai (claimant state), Indonesia amat berkepentingan bagi terealisasinya CoC di Laut China Selatan.

"Agar Laut China Selatan menjadi kawasan atau laut yang damai dan stabil bagi seluruh negara yang ada di kawasan," pungkas Rolliansyah. (P-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irvan Sihombing

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat