visitaaponce.com

Belajar Mendengar Suara yang Berbeda

Belajar Mendengar Suara yang Berbeda
Ilustrasi MI(MI/Seno)

PADA 1967 berbicara di hadapan insan akademik Universitas Stanford Amerika Serikat, pendeta progresif dan pemimpin perjuangan hak-hak sipil Martin Luther King Jr dalam orasi berjudul The Other America menegaskan, ”Bahwa setiap peristiwa kerusuhan secara sosial merusak dan merugikan, tetapi dalam analisis pamungkas kerusuhan kerap kali muncul sebagai bahasa dari kalangan yang selama ini tidak pernah didengarkan.”

Apabila kita parafrasa pernyataan Pendeta Martin Luther King Jr di atas, dapat dikatakan bahwa mendung gelap antagonisme politik identitas yang selama ini seakan tak hendak menjauh dalam jagat politik Indonesia cepat atau lambat akan merusak untaian kebangsaan. Namun, pada analisis final, benturan itu manifestasi dari bahasa mereka yang tak pernah didengarkan, atau bentuk pertikaian di antara kelompok-kelompok masyarakat yang tidak pernah mau saling mendengar.

Republik Indonesia dibangun pendirinya dengan perpaduan akal budi. Negeri ini dibangun dengan akal karena kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan yang meskipun ibarat kacang yang tidak lupa dengan kulitnya, yaitu sejarah dan tradisi, juga diikhtiarkan sebagai perjuangan untuk melampaui feodalisme dan warisan kolonialisme menuju alam modernitas yang dibimbing karakter keindonesiaan.

Akal tersebut bersanding dengan budi karena kehendak untuk maju diterangi hikmah kebijaksanaan sehingga pendiri Republik menghendaki dalam kancah kebangsaan, keluhuran budi pekerti menjadi karakter utama yang mengiringi perjalanan bangsa. Demikianlah, ketika Bung Karno dalam pidato bersejarah Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 menyatakan bangsa adalah totalitas dari manusia yang disatukan dalam ikatan persamaan riwayat menuju kesatuan karakter.

 

Politik menyatukan

Dalam guratan tinta emas prasasti kebangsaan yang ditorehkan para pendiri Republik ini, gesekan yang pelan-pelan mengarah ke antagonisme politik identitas harus segera dilampaui untuk merawat keindonesiaan kita. Segenap warga negara yang berpegang pada leitstar (bintang penuntun) kebangsaan kita, yang berpijak pada akal budi, tentu sepakat untuk menyudahi polarisasi dan antagonisme politik identitas, yang selama ini menjadi awan hitam politik Indonesia.

Dalam taman sari keindonesiaan, berbagai macam pusparagam kembang identitas bukanlah sesuatu yang terlarang, selama satu sama lain saling berbela rasa, maupun satu sama lain memegang etika politik, bahwa meskipun tiap pihak berbeda pilihan politik, tetap selalu ada ruang untuk berjumpa, berbagi, dan saling membantu sebagai sesama warga Indonesia.

Dalam realitas politiknya sesuatu yang ditegakkan sebagai nilai-nilai ideal harus diterjemahkan dalam inisiatif dan strategi riil untuk dapat diwujudkan dalam realitas konkret sebab politik, selain sebagai sains, adalah seni, seni untuk mewujudkan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang memungkinkan (realistis). Di sini kita dapat membaca apa yang ada dalam intuisi politik, kemudian diterjemahkan sebagai pilihan dan keputusan politik Partai NasDem di bawah pimpinan Surya Paloh dengan mengusung Anies Baswedan sebagai calon kandidat Pilpres pada 2024.

Langkah tersebut sepertinya merupakan inisiatif yang dilandasi pertimbangan politik konkret, bahwa untuk menyudahi polarisasi yang mengarah ke antagonisme politik identitas di masyarakat, salah satu kubu harus mengambil langkah maju, dengan merangkul elite yang selama ini dibingkai menjadi ikon bagi salah satu kutub dari kelompok sosial. Figur-figur yang selama ini menjadi pilihan dari berbagai macam identitas yang terlibat dalam arus pusaran antagonisme politik.

Selama ini, pengerasan dalam pusaran antagonisme politik bekerja pada dua arah. Berbagai pihak yang bertikai sama-sama berpegang pada langgam politik formal, baik formalisasi berbasis agama maupun formalisasi berbasis kebangsaan. Ketika peneguhan dan formalisasi identitas itu semakin mengeras, harus dicairkan dengan menampilkan ruang bersama. Dalam satu koalisi politik, penting untuk bertemu dan saling berjumpa sehingga pencairan politik identitas akan bertransformasi menuju sesuatu yang lebih mulia, yakni politik ideologi programatik untuk menenun kembali harapan bangsa, harapan bersama lintas golongan dan lintas identitas.

 

Melampaui ekstremitas

Professor studi sejarah perbandingan agama beridentitas Iran-Amerika Serikat Reza Aslan (2010) dalam karyanya, Beyond Fundamentalism: Confronting Religious Extremism in the Age of Globalization, jauh-jauh hari mengingatkan, jangan melawan ekstremisme dalam bentuk apa pun dengan ekstremisme yang setara. Jalan politik yang dituntun akal budi untuk menyudahi ekstremisme ialah dengan melampauinya.

Pelampauan antagonisme identitas ialah dengan jalan membangun ruang-ruang perjumpaan yang tak kenal lelah untuk saling mendengar, berbagi, dan berdialog, untuk menemukan titik temu yang berkeadilan. Ruang-ruang perjumpaan tersebut tentunya dinavigasi meja statis dan bintang penuntun yang telah disepakati bersama, yakni nilai-nilai yang tertera dalam Pancasila.

Inisiatif politik dari Surya Paloh seperti ditegaskan dalam pidato deklarasi kandidasi Anies Baswedan, bahwa untuk melampaui ekspresi politik ekstrem bercorak antagonisme politik identitas dengan mempertemukan ekspresi kutub-kutub polar dalam satu koalisi politik melalui langkah konkret mengusung Anies Baswedan adalah artikulasi konkret apa yang pernah diserukan inisiator generasi ketiga Mazhab Frankfurt, yakni Juergen Habermas, sebagai bentuk rasionalitas komunikatif.

Suatu upaya rasional politik, dengan tujuan untuk membuka ruang-ruang dialog yang selama ini dibekukan pengerasan politik berbasis identitas dengan bendera atau ekspresi identitas apa pun. Sebuah upaya untuk membangun ruang bersama untuk berbagi, tetapi tetap disandarkan pada prinsip-prinsip kebangsaan yang kukuh, bahwa toleransi hanya pantas untuk mereka yang tidak berperilaku intoleran, sikap penghormatan bagi mereka yang bisa menerima kebinekaan.

Prinsip-prinsip tersebut tentunya dalam aksi praksis juga harus diterjemahkan dalam horizon yang terbuka dan fleksibel. Horizon yang lapang, seperti halnya lautan yang luas, tetapi mampu menetralkan berbagai macam toxic dari seluruh aliran sungai yang sampai kepadanya. Ruang yang mampu mengingatkan bahwa pada akhirnya berbagai macam bentuk loyalitas dan artikulasi identitas hanya dapat bermakna apabila hal tersebut diarahkan bagi tujuan kebaikan bersama, untuk merawat keragaman, kesetaraan, dan keadilan sosial.

Apabila kita memperluas horizon sosial kita melampaui politik Indonesia dan melihat perkembangan politik dunia, kita menyaksikan bahwa antagonisme politik identitas yang kita rasakan saat ini ialah fenomena dunia. Bahkan, negara-negara dengan demokrasi maju sekalipun seperti Amerika Serikat, Inggris, dan pelopor demokrasi modern seperti Prancis tidak luput dari hantu polarisasi sosial.

Benturan berlangsung dalam panggung politik antara warga kelas terdidik, yang mengusung nilai-nilai kosmopolitanisme seperti kesetaraan, demokrasi, individualisme, dan kesadaran sebagai warga dunia, dan kalangan konstituen populis kanan, yang melihat pusaran globalisasi kapitalisme sebagai ancaman. Ancaman yang dimaknai secara antagonisme budaya seperti ancaman kaum imigran, keyakinan yang berbeda dan tumbuhnya kelas menengah baru.

Professor ilmu politik asal Oxford University bernama Yael Tamir (2019) dalam karyanya, Why Nationalism?, menegaskan bahwa segenap bentrokan berbasis antagonisme identitas itu salah satunya bisa dilampaui dengan menawarkan nasionalisme inklusif, paham kebangsaan yang lapang. Kebangsaan sebagai spirit solidaritas dengan kekuatan yang besar untuk mendengarkan yang mereka yang berbeda.

Kesadaran, bahwa berbagai macam artikulasi kegaduhan dan populisme kanan tersebut banyak di antaranya menjadi bagian dari ekspresi, dari ketidakberdayaan di tengah situasi tak menentu. Kondisi yang, dengan lemahnya kanal mesin politik yang mampu berperan menjadi penyambung lidah rakyat, pada akhirnya termanifes secara destruktif di tengah ketimpangan sosial yang marak dan pelemahan demokrasi.

Pertanyaannya adalah baik narasi maupun gagasan apa yang perlu dimajukan setelah membangun inisiatif untuk membuka ruang bersama dan berbagi? Setelah jalan untuk membuka ruang dialog, kita dapat lebih fokus untuk membincang, merumuskan, dan mengikhtiarkan agenda-agenda besar Republik seperti menyelesaikan persoalan ketimpangan sosial, menegaskan agenda supremasi hukum dan antikorupsi, merumuskan langkah-langkah konkret untuk mencari jalan memulai kebijakan energi terbarukan (renewable energy), merehabilitasi kembali jalan demokrasi yang saat ini dipandang tengah mengalami penurunan.

Hendaknya, jalan baru dalam fragmen politik Indonesia menuju 2024 ini direspons tidak dengan mengeraskan kembali politik identitas, tetapi disambut partai-partai politik lain dengan menampilkan figur dan kader terbaik mereka agar pemilih Indonesia pada Pilpres 2024 memilih best of the best, terbaik dari yang terbaik!

Dengan demikian, pada akhirnya alangkah baik ketika kita kembali pada seruan Sukarno muda, ketika perjuangan mencapai kemerdekaan kita berada pada fase penentuan sekitar dua dasawarsa sebelum Indonesia mencapai kemerdekaannya, bahwa dalam memajukan persatuan nasional, hendaknya kita semua tidak berkehendak hanya untuk meminta, tetapi tinggikan niat kita untuk saling memberi dan mengabdi. Apabila ini terwujud, kita akan menyaksikan bahwa sinar itu sudah dekat!

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat