KLHK Tegaskan Kendaraan Bermotor Penyebab Polusi Udara di Jakarta
KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa kondisi kualitas udara yang buruk di Jakarta disebabkan oleh permasalahan transportasi. Hal ini sesuai dengan teori street canyon atau urban canyon, di mana peredaran udara di perkotaan tidak bergerak dan berputar di tempat bercampur asap kendaraan bermotor yang semakin memperburuk kualitas udara di perkotaan.
“Jadi udara di perkotaan itu diapit oleh gedung menyebabkan angin tidak bergerak ke mana-mana, berputar saja dan menjadi pencemaran yang meningkat dari base nya. Ditambah dengan efek kendaraan bermotor yg menyebabkan polusi tidak bergerak ke mana-mana menyebabkan konsentrasi pencemarannya meningkat bahkan bisa 10 kali dari kondisi yang ada. Inilah menyebabkan di Jakarta terjadi fenomena polusi yg begitu tinggi atau disebut fenomena street canyon. Ini hanya dapat hilang jika terjadi hujan,” ungkap Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro dalam Media Briefing Kualitas Udara di Jabodetabek, Minggu (13/8).
Lebih lanjut, menurutnya fenomena buruknya kualitas udara di kota besar itu komponen yang harus diatasi adalah komponen transportasi. Maka dari itu, transportasi berkelanjutan atau mengubah gaya hidup menjadi penting dilakukan untuk di daerah perkotaan.
Baca juga : Polusi Udara Jakarta, WargaMulai Khawatirkan Kondisi Kesehatan
Secara spesifik, kondisi udara terjadi di Jakarta jika asumsinya dari pembakaran energi yang digunakan, kontribusi batu bara terhadap kualitas udara hanya mencapai 0,42% sebagian besar dipengaruhi oleh gas sebanyak 51% dan minyak 49%.
Baca juga : Petugas Lapangan Perlu Dapat Insentif Karena Terpapar Polusi Udara
Sementara itu, 44% sumber emisi di Jakarta dihasilkan dari transportasi, industri energi 31%, manufaktur 10%, perumahan 14%, dan kegiatan komersial 1% atau dari gedung.
“Dari sini terlihat transportasi menjadi unsur penting dan ini mengkonfirmasi teori bahwa street canyon disebabkan oleh transportasi,” tegas Sigit.
Dia juga menjelaskan bahwa pada 2022 terdapat 24,5 juta kendaraan bermotor yang teregistrasi di DKI Jakarta. Dari jumlah tersebut, 78% diantaranya merupakan sepeda motor. Sementara itu, pertumbuhan kendaraan bermotor per tahun mencapai 5,7% dan sepeda motor 6,38% atau setiap tahun bertambah 1,2 juta kendaraan bermotor dan di dalamnya ada 1,06 juta sepeda motor.
Menurutnya, konsep transportasi itu seharusnya memperbanyak perpindahan orang bukan memperbanyak perpindahan kendaraan. Dari perhitungan KLHK, jika satu sepeda motor dikendarai oleh 2 orang, akan berkontribusi pada 7 CO2 gram per km, mobil penumpang bensin mencapai 5,7 CO2 gram per km, penumpang solar 0,4 CO2 gram per km, dan bus 2,3 CO2 gram per km.
“Artinya kalau kita naik bus kontribusinya terhadap CO2 jauh lebih kecil dibandingkan kalau kita naik sepeda motor dan mobil pribadi,” tuturnya.
Dalam kesempatan ini, Sigit juga mengonfirmasi bahwa kondisi kualitas udara di Jakarta tidak dipengaruhi oleh PLTU di kawasan Banten. Hal ini dilihat melalui pemantauan dengan satelit.
“Jadi sebetulnya sumber emisi ini sifatnya lokal tidak ada dari Suralaya masuk ke Jakarta. Ini juga dikonfirmasi oleh arah angin ke arah Selat Sunda bukan ke arah daratannya. Kita juga lakukan kajian apakah PLTU itu masuk ke Jakarta atau tidak dan terkonfirmasi sebagian besar masuk ke Selat Sunda bukan ke Jakarta. Jadi sumber emisi di Jakarta itu dipengaruhi oleh Jakarta sendiri dan di daerah Jabodetabek,” tegas Sigit.
Untuk mengatasi hal ini, terdapat 8 rekomendasi yang dikaji dan kemudian disimulasikan yakni pengadaan kendaraan operasional listrik, pengetatan standar emisi transportasi umum menjadi EURO4, pengadaan bus listrik untuk Transjakarta non-mikro, uji emisi berkala, peralihan dari angkutan pribadi ke angkutan umum, konversi ke kompor listrik, pengendalian debu dari konstruksi, dan pelarangan pembakaran sampah terbuka.
“Karena permasalahan utamanya di transportasi, kita mendorong untuk segera dilakukan uji emisi berkala. Kita lihat ketaatannya kan masih rendah. Jadi potensi untuk mengurangi emisi dari kendaraan yang ada untuk memenuhi baku mutu itu sangat besar,” pungkasnya.
Perlu diketahui, saat ini tingkat kepatuhan uji emisi di Jakarta Pusat baru mencapai 3,8%, Jakarta Timur 4,7%, Jakarta Selatan 4,5%, Jakarta Barat 7,4%, dan Jakarta Utara 10,6%. (Z-8)
Terkini Lainnya
Paparan Polusi Jangka Panjang Tingkatkan Risiko Penyakit Jantung
Jumat Pagi, Kualitas Udara Jakarta Terburuk Keempat di Dunia
Atasi Pencemaran Udara, DLH DKI Lakukan Pemeriksaan 68 Cerobong Asap Pabrik
Berulang Tahun ke-497, DKI Dibayangi Buruknya Kualitas Udara, Ini Pendapat Ahli
Perbaikan Emisi Truk Lebih Hemat Biaya untuk Kurangi Polusi Udara DKI Jakarta
Senin Pagi, Kualitas Udara Jakarta Terburuk di Dunia
IWAPI dan KLHK Menyerahkan Bantuan Motor Sampah untuk Pengelolaan Sampah dan Penghijauan
KLHK Tetapkan Bos Tambang Pasir Ilegal di TN Halimun Salak sebagai Tersangka
Indonesia Diapresiasi karena Gunakan Teknologi untuk Pantau Hutan Dan Karhutla
KLHK dan Norwegia Perkuat Kerja Sama Pengelolaan Hutan Lestari
2 Ton Alat Kesehatan Bermerkuri Ditarik dari Faskes di Bali
KLHK Tingkatkan Kapasitas Manggala Agni untuk Tangani Karhutla
Umur di Tangan Tuhan, Bantuan Hidup Dasar Mesti Dilakukan
Sengkarut-marut Tata Kelola Pertanahan di IKN
Panggung Belakang Kebijakan Tapera
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap