visitaaponce.com

Sekolah Sukma Bangsa Lhok Seumawe Gelar Studium Generale Perubahan Iklim

Sekolah Sukma Bangsa Lhok Seumawe Gelar Studium Generale Perubahan Iklim
Studium generale terkait Climate Change Curriculum and Indigenous Knowledge pada Rabu (26/1).(DOK Pribadi.)

SEKOLAH Sukma Bangsa Lhok Seumawe mengadakan studium generale terkait Climate Change Curriculum and Indigenous Knowledge pada Rabu (26/1). Hal ini merupakan bentuk kerja sama Yayasan Sukma dengan Tampere University.

Studium Generale itu bertaraf internasional karena turut menghadirkan pemateri dari Tampere University, Finlandia, yaitu Prof. Eero Ropo, Golaleh Makrooni, serta Alfi Rahman dari Universitas Syiah Kuala, Aceh. Para tamu yang hadir disambut langsung dengan tarian Ranup Lam Puan oleh siswi SD Sukma Bangsa Lhok Seumawe. Selanjutnya para hadirin berkeliling ke expo science dan chemistry yang memamerkan hasil karya siswa Sukma Bangsa terkait Green School Project yang sudah lama dijalankan sekolah. Ada juga expo buku yang memamerkan tulisan karya guru dan siswa Sekolah Sukma Bangsa. 

Studium Generale dibuka oleh Syamsir Alam, perwakilan Yayasan Sukma. Ia mengatakan bahwa kegiatan ini didanai oleh The Finland Knowledge (TFK). Kegiatan ini merupakan kegiatan balasan dari Universitas Tampere karena sebelumnya Sekolah Sukma Bangsa sudah mengirimkan Syamsir Alam dan Sarlivanti untuk mengisi kegiatan di sana.

Pj Wali Kota Lhok Seumawe, Imran, dalam sambutannya mengungkapkan bahwa ia ingin mewujudkan kota Lhok Seumawe bersih dan bebas sampah. Ia juga mengimbau hadirin untuk mengurangi penggunaan sampah sekali pakai. Hal ini sudah digalakkan ke lini satuan pendidikan. Selanjutnya ini akan dilanjutkan ke instansi pemerintahan, BUMN, BUMD, dan yang terakhir ialah pasar.

"Target pertama ialah sekolah karena di sana ialah pusat membentuk, mengubah, dan merekayasa perilaku masyarakat. Tidak perlu waktu lama untuk berubah jika ada niat dan energi yang kuat," jelas Imran.

Studium Generale dipandu oleh Siti Hajar dan diterjemahkan oleh Martunis. Pemateri pertama ialah Prof. Eero Ropo. Ia menjelaskan bahwa dalam climate change curriculum bisa diterapkan dua model pembelajaran, transmisi, dan transformasi. Transmisi adalah men-transfer ilmu pada siswa. Sedangkan transformasi ialah mengubah paradigma dan perilaku siswa secara langsung. "Saya pikir model transformasi ini paling cocok untuk kurikulum perubahan iklim," tutur Eero.

Selain itu, Golaleh, pemateri kedua, mengungkapkan bahwa perempuan lebih sering merasakan dampak bencana. Hal ini diakibatkan karena norma agama dan tradisi kultural yang mengekang kehidupan perempuan. Contohnya, bencana banjir di Bangladesh pada 1991. Menurut data, dari semua korban, korban perempuan sebanyak 75%. "Ada tiga langkah untuk mengatasi hal ini, yaitu harus ada kesetaraan gender, aksi positif, dan pengembangan untuk perempuan, serta komitmen untuk menghindari bias gender," ungkap Golaleh.

Alfi Rahman juga menjelaskan perubahan iklim dan pengetahuan lokal masyarakat Aceh khususnya. Masyarakat Aceh sebenarnya banyak yang mengetahui kearifan lokal terkait bencana, hanya perlu validasi ilmiah yang telah diteliti. Misalnya, jika ada gempa kuat dan air laut mulai surut, berarti tsunami akan melanda. Masyarakat Simeleue, Aceh, sudah memiliki pengetahuan lokal yang dikenal dengan smong. Dampaknya, hanya hitungan jari korban tsunami yang terdampak di Simeleue. (RO/OL-14)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat