visitaaponce.com

Berkah Jamu Kian Mendunia

Berkah Jamu Kian Mendunia
Seminar Jamu Nasional di Universitas Brawijaya:(MI/Bagus Suryo)

PANDEMI covid-19 menyadarkan masyarakat dunia bahwa jamu berperan penting untuk kesehatan. Kala pandemi melanda, jamu paling diburu. Bahkan, jamu gendong pun menemukan pasarnya.

Para bakul menerima berkah dari ramuan tradisional warisan leluhur bangsa tersebut. Kini, jamu hanya tinggal penetapan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di UNESCO pada November nanti.

"Saya memulai usaha jamu sejak 2019. Awalnya mencoba, tapi kok laku. Paling laris saat korona (pandemi covid-19)," tegas Ida Huroti, pelaku UMKM dari Wajak, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Rabu (13/9).

Baca juga : Semarang Harus Jadi Kota Kebudayaan dan Pintu Masuk Wisata

Pagi itu, Ida mengikuti pameran produk jamu di Universitas Brawijaya. Ida mengatakan semula menjual bahan baku jamu hasil panen di kebun miliknya seluas 2.500 meter persegi. Sistem jualnya secara tebasan. Lalu, ia memulai usaha seusai mendapatkan pelatihan dari Pemkab Malang.

"Saya memproduksi jamu instan Dawama, mengonsumsinya diseduh. Harga per kemasan Rp15 ribu-Rp25 ribu," katanya.

Baca juga : PAN Sosialisasikan Jamu Tradisional untuk Menunjang Kesehatan

Akhir-akhir ini, produk paling laris ialah jamu untuk meredakan flu dan batuk. Maklum, kini sedang musim pancaroba ketika hawa panas dan dingin menyergap sehingga rentan membuat orang terserang pilek. Produk jamu buatannya sudah merambah sejumlah daerah, di antaranya Surabaya, Jakarta sampai Kalimantan.

"Jamu instan jadi pilihan karena berkhasiat obat. Produk yang laris, yaitu instan serai, jahe, secang, kapulaga, cengkih, kayu manis dan merica," tuturnya.

Demikian juga dengan Ai Rose, warga Bakalan Krajan, Kecamatan Sukun, Kota Malang. Pemilk produk jamu Sahabat Rimpang, itu, menggeluti usaha jamu kala pandemi. Nyatanya, jamu jadi penarik cuan karena peminatnya sangat banyak.

"Saat Korona banyak yang cari, lalu saya melihat usaha ini sebuah potensi. Awalnya kirim ke Bogor, ternyata konsumen merasa cocok," ujarnya.

Usaha skala UMKM miliknya berkembang sampai sekarang. Berkah jamu pun bisa untuk menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan keluarga.

"Omzet Rp3 juta-Rp5 juta per bulan. Kapasitas produksi 50 pak dengan harga Rp10 ribu-Rp25 ribu per bungkus," imbuhnya.

Prospek jamu yang moncer mendorong mahasiswa turut ambil bagian. Fatikha Rahma Ramadina, mahasiswa Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang, menjual minuman Treefused dan Zica berbahan herbal, yakni jeruk, kayu manis dan jahe. Dagangannya laris sesuai pesanan.

Wakil Rektor IV Universitas Brawijaya Andi Kurniawan mengatakan sejarah jamu nusantara itu lintas masa. Keberadaan jamu sudah ada sejak zaman prasejarah. 

Bahkan, bahan jamu dan rempah-rempah menjadi faktor penggerak perekonomian ketika kemajuan Kerajaan Majapahit mengglobal. Serat primbon jampi jawi ditulis di lingkungan keraton, dan jamu juga menjadi tradisi di luar istana.

"Jamu gendong yang membawa 8 botol itu erat dengan tradisi Majapahit. Kearifan lokal ini membangun peradaban masa depan," ujarnya.

Menurut Ketua Dewan Jamu Indonesia Mayor Jenderal TNI (Purn.), dr. Daniel Tjen, Sp.N, eksistensi jamu telah mendunia. Bahkan, organisasi kesehatan dunia (WHO) menaruh perhatian besar karena pandemi telah menyadarkan betapa pentingnya peran jamu untuk kesehatan. 

Jamu yang menjadi bagian integral budaya bangsa memiliki potensi sangat besar dari sisi ekonomi.

"Kita harus bergerak cepat merebut peluang ini, harus melibatkan multihelix agar bisa mandiri bidang kesehatan dan ekonomi, terpenting membangun ketangguhan negara," ucapnya. (Z-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat