visitaaponce.com

Masyarakat Antikorupsi Soroti Proyek Rempang Eco-City

Masyarakat Antikorupsi Soroti Proyek Rempang Eco-City
National Corruption Watch (NCW) menggelar konferensi pers tentang Pulau Rempang di Jakarta, Senin (2/10).(Ist)

NASIONAL Corruption Watch (NCW) mengungkapkan sejumlah temuan dari hasil penyelidikan dan pengumpulan data informasi terkait kekisruhan relokasi lahan masyarakat Pulau Rempang.

NCW menyatakan ada dugaan indikasi korupsi dan pengaturan nilai investasi guna menguntungkan beberapa pihak pada Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut.

Ketua DPP NCW Hanifa Sutrisna, Senin (2/10), mengungkapkan investor Rempang Eco-City, Xinyi Glass Holding Limited, tidak pernah serius menjalankan kerja sama yang sudah ditandatangani. Rekam jejak kegagalan Xinyi yang gagal melanjutkan komitmen investasi di Gresik dan Bangka Selatan menjadi bukti yang nyata.

Baca juga: Total Investasi Xinyi Group di Pulau Rempang Capai Rp 174 Triliun

“Data yang kita temukan menunjukkan sebelum Pulau Rempang, Xinyi Glass pernah membuat MoU yang sama dengan Kawasan Industri Sadai di Bangka dengan janji akan menyiapkan US$6 miliar-US$7 miliar investasi untuk menggarap pengolahan mineral tambang pasir kuarsa Bangka Belitung. Namun begitu akan dilanjutkan ke proses MoA, mereka raib dan hilang tanpa kabar berita," ujar Hanif dalam konferensi pers di Kantor DPP NCW, Jakarta.

Selanjutnya, Hanifa menyinggung komitmen investasi Xinyi Glass senilai US$700 juta di Gresik, Jawa Timur, pada 2022.

Ketika itu Xinyi masuk dengan menggaet mitra lokal, PT Berkah Kawasan Manyar Sejahtera (BKMS), untuk membeli lahan yang digunakan untuk pembangunan pabrik kaca. Progres investasi di Gresik juga tidak jelas ujungnya, diduga karena kemampuan keuangan Xinyi yang rendah.

Baca juga: DPR Dukung Bahlil Pastikan Investasi Rempang Sejahterakan Rakyat

Rekam jejak negatif tersebut dikhawatirkan NCW, mengingat ketidakjelasan mereka dalam berinvestasi dan dugaan agenda terselubung lainnya.  Temuan itu juga sekaligus membantah bahwa Xinyi Group perusahaan berkelas dunia dengan jangkauan pasar global yang dominan. 

“Faktanya, 68% penjualan Xinyi Glass di pasar lokal Tiongkok, bukan dunia,” tegas Hanifa.

Kemudian, NCW juga menyoroti studi Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) proyek Rempang Eco-City yang belum dituntaskan.

Hal tersebut terindikasi dari undangan Kepala Pusat Perencanaan Program Strategis BP Batam, Nomor B-4392/A2.1/PT.02/09/2023 tentang Konsultasi Publik Penyusunan Dokumen Amdal Kawasan Rempang Eco-City. 

“Ini menjadi pertanyaan publik selanjutnya, apakah sebuah mega proyek bisa dilaksanakan dan dianggap sudah melewati proses kajian yang komprehensif sehingga layak untuk diteruskan?” ucap Hanifa.

Baca juga: Natalius Pigai Pertanyakan Daya Gedor UU Omnibus Law di Kasus Rempang

NCW juga menyoroti pernyataan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang mengklaim hanya 20% masyarakat Pulau Rempang yang tidak setuju untuk direlokasi dan sebagian besar menolak karena tidak memiliki alas hak atas tanahnya. 

“Namun rakyat di lapangan, menurut hasil penyelidikan dan pengumpulan data informasi dari sumber terpercaya dan pengaduan masyarakat ke DPP NCW, 80% masyarakat Pulau Rempang yang memiliki alas hak SHM, menolak untuk dipindahkan atau direlokasi ke lokasi baru,” ungkapnya.

Temuan lainnya, jelas Hanifa, pembiayaan relokasi dan penggusuran tanah masyarakat Pulau Rempang belum dialokasikan oleh pemerintah pusat maupun BP Batam.  

“Kondisi ketidaksiapan anggaran ini menimbulkan tanda tanya besar kepada publik, kenapa masyarakat dipaksa segera pindah jika anggaran relokasi belum tersedia?” ujar Hanifa.

Baca juga: Komnas HAM Sebut Ada 6 Pelanggaran Hak pada Kasus Rempang-Galang

Menurutnya, awal mula konflik lahan di Pulau Rempang terjadi pada 2001, berawal dari diterbitkannya HPL (Hak Pengelolaan Lahan) oleh pemerintah pusat dan BP Batam.  HPL tersebut diterbitkan untuk perusahaan swasta, yang kemudian berpindah tangan ke PT Makmur Elok Graha (PT MEG). 

Hanifa menegaskan bahwa hak guna usaha yang telah diterbitkan tersebut tidak digunakan atau lahan yang telah ditetapkan itu tidak dikelola oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. 

“Apakah setelah sekian lama tidak dikelola oleh PT MEG, lahan yang jadi sengketa saat ini masih punya alas hukum yang kuat untuk diteruskan?” ujarnya.

Baca juga: Komnas HAM Sebut Ada 6 Pelanggaran Hak pada Kasus Rempang-Galang

DPP NCW juga menemukan masih terjadinya intimidasi oleh oknum dan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang meminta masyarakat di Pulau Rempang untuk segera menyetujui rencana relokasi ke lokasi baru yang belum tersedia hingga saat ini. 

Terakhir, temuan ketujuh, NCW mempertanyakan pernyataan Kepala BP Batam terkait  setoran uang wajib tahunan (UWT) yang meminta dana APBN, padahal konsesi sudah diserahkan kepada pihak swasta PT MEG.

“Hitungan UWT dimaksud apakah Rp 7.000 dikalikan 17.600 hektare baru menjadi Rp1,2 triliun atau 7.000-an hektare dikalikan tarif UWT Rp21.428/m2 menjadi Rp1,5 triliun. Namun jika MEG dapat pengalokasian awal sejak 2001 seluas 16.583 hektare, maka UWT yang harus dibayar adalah Rp3,6 triliun (tarif Rp 21.750/m2), jadi sisa kewajiban UWT bagaimana ceritanya?” pungkas Hanifa. (RO/S-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat