visitaaponce.com

Natalius Pigai Pertanyakan Daya Gedor UU Omnibus Law di Kasus Rempang

Natalius Pigai Pertanyakan Daya Gedor UU Omnibus Law di Kasus Rempang
Aktivis HAM Natalius Pigai.(MI/Rommy)

AKTIVIS hak asasi manusia (HAM) Natalius Pigai urun rembuk terkait konflik di Rempang, Batam, Kepulauan Riau, yang menyedot perhatian nasional belakangan ini. 

Menurut dia, konflik Rempang terjadi karena adanya tumpang tindih kebijakan antara pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat yang dengan kewenangannya masing-masing berdasarkan UU memberikan izin, bahkan diduga terjadi jual-beli lahan oleh Pemda hingga Pemerintah Pusat. Pada yang saat yang sama, kata dia, Badan Pengusahaan (BP) Batam berjalan dengan kewenangannya sendiri.

"Dalam kondisi seperti ini justru kita pertanyakan seberapa punya pengaruh UU Omnibus Law yang sudah disahkan itu? Kalau konsisten Omnibus Law diterapkan dan punya daya gedor tinggi mungkin bisa jadi solusi," ungkap Natalius kepada wartawan, di Jakarta, Sabtu (30/9).

Dalam pengamatan Natalius, patut diduga pada kasus Rempang ini sudah terjadi jual beli izin oleh pemda hingga Pemerintah Pusat berdasarkan kewenangan yang dimiliki.

"Katakan izin hotel atau bangunan atau apa pun itu berdasarkan UU Pemda, demikian juga yang dapat konsesi lahan dari KLHK, itu karena UU Lingkungan Hidup. Jadi terjadi tumpang tindih di situ yang berjalan sendiri-sendiri, padahal dari dulu Batam itu berdasarkan UU Investasi di bawah BP Batam. Jadi Omnibus Law yang katanya menggabungkan semua regulasi itu di mana?" sambung Pigai.


Baca juga: MA Kabulkan Gugatan Pasal Kontroversial Eks Koruptor Nyaleg, KPK: Bagus untuk Efek Jera


Bagi dia dalam kasus Rempang, urusan dengan masyarakat yang berpenghuni sebenarnya bukan masalah yang sulit karena masyarakat bisa diajak bicara. Hal yang sulit adalah adanya izin-izin oleh pemda dan Pemerintah Pusat yang sudah diberikan.

"Jadinya kan investor dirugikan oleh pemkot, pemerintah provinsi, BP Batam sendiri dan Pemerintah Pusat yang berjalan sendiri-sendiri. Investornya diperas dalam ketidakpastian dan orang-orang liar masuk karena bertahun-tahun tanah terlantar. Saya menduga ada praktik jual beli izin oleh pemkot, pemprov, dan pusat," pungkas Pigai.

Diberitakan sebelumnya, bentrokan pecah antara warga Rempang, Batam, dan aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Ditpam BP Batam pada Kamis (7/9). Peristiwa itu terjadi akibat konflik lahan atas rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City.

Rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City mencuat sejak 2004. Kala itu, PT Makmur Elok Graha menjadi pihak swasta yang digandeng pemerintah melalui BP Batam dan Pemkot Batam bekerja sama.

Kini, pembangunan Rempang Eco City masuk dalam Program Strategis Nasional tahun ini sesuai Peraturan Menko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 dan ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp381 triliun pada 2080. (RO/I-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat