visitaaponce.com

Tendangan Sufi

Tendangan Sufi
(Dok Pribadi)

SYAHDAN saya bertemu seorang kawan lama. Sebenarnya bukan teman, melainkan lebih tepat kalau dibilang beliau itu senior saya atau mentor saya. Ia seorang lulusan dari salah satu universitas ternama.

Yang saya tahu sejak dulu, ia seorang yang religius, jadi tidak mengherankan jika sekarang beliau dikenal ahli agama. Bahkan, belakangan saya dengar dia semakin intens menggeluti dunia tasawuf. Itu sebabnya ketika kami janji mau bertemu, saya tidak mau memilihkan tempat, tapi menyerahkannya pada beliau.

Akhirnya kami pun sepakat bertemu di sebuah warung dekat sebuah kampus di selatan Jakarta. Percakapan kami pun dimulai dengan bercerita pengalaman masing-masing dalam beberapa tahun terakhir. Sambil minum kopi dan ditimpali makanan ringan, sesekali dia bertanya soal ini-itu. Tanpa bermaksud menggurui, kadang dia juga memberikan saran atau nasihat. Saya juga tidak malu-malu untuk bertanya soal agama.

Cukup lama kami berbincang-bincang, sampai akhirnya dia memperhatikan kondisi saya yang seperti kekurangan oksigen. "Antum (kamu) ngantuk, ya? Dari tadi ane lihat ente nguap melulu?" Tanyanya sambil menyeruput kopi.
"Iya, abis begadang nonton bola kemarin."
"Nah, ini lagi. Masih aja ditonton yang begituan."
"Hobi," jawab saya.'

Sejurus saya terdiam sambil menunggu kata-kata dia selanjutnya.
"Ente tahu, hampir semua perbuatan jelek itu ada di sepak bola. Lihat saja, hampir semua pemain bola itu tukang tipu. Mereka sering pura-pura jatuh alias diving biar lawan dikasih kartu dan dapat tendangan bebas. Bukan cuma itu, mereka juga tukang jagal lawan, bergaya hidup hedon. Para pelatih bola juga kadang suka subjektif ketika memilih pemain. Wasit bola ente tahu banyak yang enggak adil, para suporter bola juga suka berantem, rasialis, dan bikin rusuh. Para pengurusnya kadang suka mengatur pertandingan, orang-orang di sekelilingnya para mafia yang suka judi dan suap. Singkatnya, hampir semua yang batil ada di sepak bola."

"Ane bahkan pernah bermimpi dibawa ke neraka. Masya Allah, isinya tahu enggak, lebih banyak pemain bola ketimbang koruptor atau penjahat."
"Ente pasti bingung, kok bisa? Ya, iya lah. Bayangin, satu tim sepak bola biasanya 24 orang, ditambah lagi ofisial tim, pelatih. Paling enggak 30. Belum lagi suporternya, pengurusnya. Nah, kalau mereka bareng-bareng berbuat dosa, apa enggak penuh tuh neraka? Sementara pelaku koruptor atau pembunuh paling bertiga atau berempat."

"Jadi, kita haram dong nonton sepak bola?"
"Ya enggak juga. Kita kan enggak terlibat. Ane juga suka nonton bola," katanya ringan sambil sekali lagi menyeruput kopinya yang nyaris tinggal ampasnya.
"Nah, kok bisa? Itu tadi di neraka?"

"Ah, tadi ane cuma bercanda, enggak usah dimasukkin ke hati. Lagi pula tadi kan ane bilang itu cuma mimpi. Bisa bener, bisa enggak. Ente janganlah kayak yang lain, sebentar-sebentar semuanya dikaitin dengan agama."
"Janganlah agama dibawa-bawa ke ranah yang enggak perlu. Sekarang ini kan, banyak orang sebentar-sebentar bilang bidah, sebentar-sebentar nuduh orang kafir, sebentar-sebentar bilang haram. Padahal yang namanya haram enggak ada yang sebentar. Haram ya haram sampai kapan juga."

"Prinsipnya, janganlah agama dibuat jadi sulit sehingga orang jadi takut atau alergi sama agama. Agama harus bisa merangkul umat, jangan nakut-nakutin, apalagi di zaman now kayak gini. Ngomong-ngomong, ane masih ada urusan nih, jadi harus pergi sekarang. Kapan-kapan deh kita ngobrol lagi. Asalamualaikum," ujarnya sambil berdiri dan menjabat tangan saya.

"Jadi boleh dong kita nobar sekali-sekali," tantang saya saat dia akan beranjak pergi.
"Boleh, di mana?
"Bagaimana kalau di kafe itu aja?"
"Boleh, tapi ada syaratnya, no drugs and no alcohol."
"Siap ustazku. Waalaikumsalam."

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat