visitaaponce.com

Transformasi Badan Peradilan Khusus Pemilu

Transformasi Badan Peradilan Khusus Pemilu
Fortunatus Hamsah Manah,(Dok pribadi)

BADAN peradilan khusus pemilihan umum yang tugasnya menyelesaikan sengketa hasil pemilu diamanatkan terbentuk sebelum pemilu serentak 2024. Hal itu termuat dalam Pasal 157 UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Guberbur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, yang berbunyi badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional.

Namun hingga saat ini badan peradilan khusus pemilu belum terbentuk. Itu sebabnya Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang memeriksa dan mengadili perselisihan hasil pemilihan tersebut. Sementara itu di Pasal 474 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, MK merupakan lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang diperintahkan UU untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu tanpa adanya niat untuk melahirkan badan peradilan khusus pemilu di luar MK. 

Pengaturan ini selaras dengan kewenangan MK dalam Pasal 24C ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bagaimana nasib rencana pembentukan badan peradilan khusus pemilu, dan apakah masih relevan dengan kebutuhan memperkokoh sistem keadilan pemilu jelang pemilu serentak 2024 mendatang. Hal itulah yang akan dikupas dalam tulisan ini. 

Dalam setiap hajatan pemilihan umum sengketa seringkali muncul dan tak terelakkan. Sengketa dimaksud sangat mungkin terjadi antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu maupun sengketa antar peserta pemilu. Sengketa pemilu seringkali muncul selain di tahap pencalonan, juga terjadi dalam konteks sengketa hasil pemilu. Karena itu perlu dibangun landasan konseptual atau landasan teoritis terkait konsepsi sengketa proses pemilu, dan sengketa hasil pemilu dan lembaga apa yang berwenang menyelesaikan sengketa tersebut demi memperkokoh terbangunnya sistem keadilan pemilu (electoral justice system).
 
Ketika suatu proses pemilihan umum berjalan dengan baik, keberadaan suatu sistem keadilan pemilu menjadi sangat penting untuk memastikan hak-hak masyarakat dalam pemilu tetap terjaga dan memastikan kesalahan tidak terjadi. Di sisi lain, ketika suatu kecurangan atau pelanggaran terjadi, sistem keadilan pemilu yang dibangun haruslah mampu menyelesaikan dan memberikan pemulihan atas kerugiaan yang telah dialami. Oleh karena itu, dalam perspektif HAM, keberadaan sistem keadilan pemilu tidak hanya sebatas untuk menyelesaikan sengketa-sengketa pemilu, melainkan untuk melindungi hak-hak politik dan hak pilih dari warga negara. 

Dalam hal ini, sistem keadilan pemilu tidak hanya melindungi hak-hak politik dasar, seperti hak untuk berkumpul mengeluarkan pikiran dan pendapat, hak pilih, kesetaraan gender, kebebasan berserikat dan berafiliasi, hak atas keamanan, hak untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan public. Melainkan pula hak-hak sipil yang terkait dengan kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, hak atas informasi, atau hak untuk menyampaikan keluhan.

Di dalam berbagai literatur dikenal beberapa istilah yang dapat menjelaskan kebutuhan akan keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu. Dalam hal ini, IDEA International memperkenalkan istilah sistem keadilan pemilu yaitu suatu cara atau mekanisme yang disediakan oleh suatu negara untuk menjamin dan memastikan bahwa tindakan, tahapan dan keputusan-keputusan sesuai dengan kerangka hukum yang ada dan bertujuan untuk melindungi dan memulihkan kembali pelaksanaan hak pilih. 

Sistem keadilan pemilu adalah instrumen kunci dari negara hukum dan garansi utama dari pelaksanaan prinsip demokrasi untuk menjaga kebebasan dan keadilan pemilu. Karena itu, sistem keadilan pemilu harus melembaga dalam bentuk badan peradilan khusus pemilu.

Lembaga penyelesaian sengketa pemilu khusus yang merupakan bagian dari kewenangan yudisial adalah lembaga peradilan khusus pemilu yang dibangun atas pertimbangan due process of law. Meskipun demikian lembaga ini didesain independen dari badan peradilan lainnya. Model penyelesaian sengketa ini berangkat dari pemikiran bahwa sengketa pemilu haruslah diselesaikan secara prosedural, yang sesuai dengan prinsip-prinsip mengikat yang universal dan fundamental. 

Pengadilan khusus ini bertugas secara permanen, misalnya dalam bentuk pengadilan level tertinggi setingkat Mahkamah Agung. Namun ada pula pengadilan yang sifatnya sementara, atau yang dibentuk hanya untuk kebutuhan pemilu yang sedang berlangsung. Keberadaan lembaga semacam ini dipandang dapat mendorong kinerja yang lebih profesional, namun akan memakan biaya yang lebih besar.

Penyelesaian sengketa proses pemilu melalui lembaga peradilan diadopsi dari English model, yang memberikan kewenangan penyelesaian sengketa kepada hakim atau badan peradilan tingkat pertama pada cabang kekuasaan kehakiman untuk menyelesaikan sengketa pemilu. Model ini bersumber dari pemikiran bahwa lembaga yudisial adalah lembaga yang bersifat independen. 

Ahli-ahli yang mendukung model ini mendasari argumentasinya bahwa tugas untuk memberikan putusan dan menjatuhkan sanksi kualifikasi dalam pemilu memiliki unsur yudisial di dalamnya. Sehingga penyelesaian sengketa pemilu harus dilaksanakan oleh lembaga yudisial sesuai prinsip demokrasi konstitusional.

Konsepsi tentang demokrasi konstitusional menjadi landasan utama pemikiran mengenai eksistensi penyelesaian sengketa pemilu melalui badan peradilan khusus pemilu sebagai sarana untuk mewujudkan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum dalam siklus atau tahapan penyelenggaraan pemilu mulai dari persiapan, pelaksanaan dan evaluasi pemilu. Landasan utama pemikiran tersebut kemudian dielaborasikan dengan berbagai konsep penegakan hukum pemilu dalam kerangka untuk memenuhi standar dan prinsip pemilu demokratis. 

Peneliti Populi Center, Dimas Ramadhan mendukung terbentuknya badan peradilan khusus pemilu untuk pemilu 2024. Ia menilai badan itu dapat menyempurnakan tata kelola pemilu. Badan peradilan khusus pemilu sangat penting untuk segera dibentuk sesuai amanat UU Nomor 10 tahun 2016. Menurut Dimas, dengan segala keterbatasannya penyelesaian perkara pemilu selama ini banyak menumpuk di Bawaslu. Bahkan Bawaslu bertindak sebagai hakim dan jaksa sekaligus. Muara keputusan yang dikeluarkan Bawaslu terkait masalah yang menjadi perkara seringkali terlambat dari hasil pemilu. Kalau pun putusan yang dibuat Bawaslu tepat waktu, tapi kadang bersifat prematur karena dibuat terburu-buru. Bahkan sebagian putusan masih bisa berubah jika pihak yang tidak puas maju ke PTUN.

Karena itu, menurut Dimas, ke depannya sistem peradilan pemilu sebaiknya hanya terdiri dari dua badan/lembaga. Pertama, MK untuk sengketa hasil pemilu dan perkara pemilu lainnya ditangani oleh badan peradilan khusus pemilu. Ia pun berharap badan peradilan khusus pemilu dapat membantu penyelesaian perkara pemilu yang melibatkan terlalu banyak lembaga hukum dan peradilan terlebih jika terdapat proses banding di tingkat yang lebih tinggi. Oleh karena itu, putusan badan peradilan khusus pemilu harus bersifat final dan mengikat, dengan demikian kepastian hukum akan lebih terjamin. 

Hal yang sama disampaikan Ketua Bawaslu RI Abhan pada momen peluncuran buku Kajian Evaluatif Penanganan Pelanggaran Pilkada 2020 pada Kamis (26/8). Dikatakan Abhan, pembentukan badan peradilan khusus pemilu menjadi pekerjaan rumah bersama sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 dan pembentukannya harus diselesaikan sebelum pemilu serentak 2024.

Pendapat berbeda disampaikan peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Violla Reininda. Ia mengatakan pembentukan badan peradilan khusus pemilu sebagaimana tercantum dalam UU 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada sudah tidak relevan lagi. Sebab dalam perkembangannya MK telah mengeluarkan putusan No.55 Tahun 2019 tentang pengujian keserentakan pemilu dan pilkada.

Menurut Violla, adanya badan peradilan khusus pemilu membuat sistem penegakan hukum akan semakin terpencar-pencar. Sehingga menyebabkan terlalu banyak lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan penegakan hukum kepemiluan bahkan dikhawatirkan akan memunculkan disparitas antar lembaga penegak hukum. Ia pun menilai kendati cita-citanya membangun suatu sistem yang firm, kita malah membangun dan membentuk suatu lembaga peradilan yang tidak komprehensif dan tidak optimal.

Ketimbang membentuk lembaga baru, KoDe Inisiatif memandang lebih baik memperkuat lembaga yang ada. Violla menilai MK tetap menjadi lembaga yang menyelesaikan sengketa hasil pilkada dan Bawaslu menjadi sistem pendukung untuk menegakan hukum kepemiluan. Jadi peradilan khusus bisa diinternalisasi ke Bawaslu. Sesuai dengan amanat UU 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, Bawaslu bermetamorfosis menjadi lembaga kuasi peradilan yang berwewenang menyelesaikan sengketa proses pemilu dan sengketa administrasi pemilu.

Menurut saya, kehadiran peradilan khusus pemilu dalam kepemiluan di Indonesia menjadi sebuah jawaban untuk mengurai semua permasalahan yang terjadi dalam proses demokrasi di Indonesia. Apakah peradilan khusus pemilu akan dibentuk terpisah atau terinternalisasi ke dalam Bawaslu yang pasti keberadaan peradilan khusus pemilu menjadi kebutuhan untuk memperkuat sistem keadilan pemilu.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat