visitaaponce.com

Konsistensi Berkonstitusi

Konsistensi Berkonstitusi
Ilustrasi MI(MI/Seno)

SALAH satu kaidah utama dalam bernegara ialah adanya kesepakatan untuk bernegara. Pakem kesepakatan bernegara tersebut dituangkan dalam sebuah aturan atau konstitusi. Negeri kita mengenal UUD 1945 sebagai konstitusi. Di dalamnya tidak hanya terkandung aturan-aturan baku bernegara, tapi juga spirit dan tujuan bernegara. Konstitusi juga membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak berlaku sewenang-wenang. Sebagai kesepakatan bersama, maka jika terjadi persoalan dalam bernegara, jawabannya ialah kembali kepada konstitusi.

 

Fungsi limitatif konstitusi

Setiap masa ada tantangannya, demikian juga setiap tantangan ada masanya sendiri. Ketika konstitusi telah menetapkan batas-batas dalam praktik penyelenggaraan negara (fungsi limitatif), tidak tertutup kemungkinan terjadi upaya melompati batas itu, atau justru membatasi fungsi limitatif tersebut. Ketika era Orde Lama, etika bernegara dan berdemokrasi kita pernah menghadapi tantangan ketika MPRS mendapuk Ir Soekarno sebagai presiden seumur hidup melalui Ketetapan No III/MPRS/1963. Namun, tafsir dan praktik ini dibatalkan MPRS melalui Ketetapan No XVIII/MPRS/1966. Presiden Soekarno bahkan segera dimakzulkan (Ketetapan No XXXIII/MPRS/1967) dan diganti oleh Menteri/Panglima AD Letjen Soeharto, yang diangkat sebagai Pejabat Sementara Presiden RI (Ketetapan No IX/MPRS/1966 dan Ketetapan No XV/MPRS/1966).

Soeharto diangkat sebagai Presiden RI tanpa wapres (Ketetapan No XLIV/MPRS/1968) hingga terbentuk MPR hasil Pemilihan Umum 1971. Pada Sidang Umum MPR Tahun 1973 Jenderal Soeharto dipilih sebagai presiden (Ketetapan No IX/MPR/1973). Selanjutnya, Presiden Soeharto berkuasa hingga 32 tahun, yang kemudian melahirkan praktik otoritarianisme bahkan cenderung fasis. Hingga tiba Gerakan Reformasi 1998, yang menjadi antitesis dari otoritarianisme, dengan adanya pembatasan masa jabatan presiden.

Berangkat dari semangat reformasi tersebut, adalah ironis jika gerak maju berpolitik dan berkonstitusi sebagai resultan dari gerakan reformasi harus ditarik mundur lagi melalui usulan perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode. Termasuk, usulan dari sebagian politisi untuk menunda pemilu tanpa dalih konstitusional. Betapa mahal biaya yang harus kita keluarkan untuk menebus kesalahan sebagai sebuah negara bangsa jika kita kembali mengulangi praktik politik yang dekaden. Konstitusi adalah bingkai utama yang mengatur penyelenggaraan bernegara. Maka, dalam konsep demokrasi dan HAM, sistem hukum yang memerintah. Bukan manusia, termasuk di dalamnya bukan ketua parpol, bukan pedagang cendol, bukan pula saudagar nan kaya raya.

 

Konsolidasi demokrasi

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia belum tuntas dalam mengupayakan konsolidasi demokrasi. Agar demokrasi terkonsolidasi, para elite, ormas, dan massa harus percaya bahwa sistem politik yang dimiliki ini pantas dipatuhi dan dipertahankan. Dalam pengertian yang lebih rinci, tidak ada partai, kelompok kepentingan, gerakan, atau lembaga yang berusaha menggulingkan demokrasi atau menggunakan kekerasan, kecurangan, atau metode-metode inkonstitusional, atau antidemokrasi lainnya sebagai taktik yang disengaja dalam mengejar kekuasaan atau sasaran-sasaran politik lain (Larry Diamond, 1999).

Upaya menjadikan demokrasi sebagai budaya politik akan sulit tercapai jika stabilitas demokrasi belum terwujud. Stabilitas demokrasi juga akan sulit tercapai jika aturan politik dikalahkan oleh transaksi-transaksi oleh elite politik. Usulan dari sebagian politisi untuk menunda Pemilu 2024, ataupun memperpanjang masa jabatan presiden walaupun dengan dalih hak kebebasan berpendapat, patut dikritisi sebagai tindakan yang seolah demokratis tapi justru berpotensi mengancam kestabilan demokrasi.

 

Menjaga muruah konstitusi

Upaya melakukan constitutional engineering melalui amendemen bukanlah hal yang haram dan tabu, karena kita memiliki pengalaman yang baik terhadap proses amendemen tersebut. Namun, bukan berarti amendemen konstitusi dapat dilakukan setiap saat, apalagi tanpa dalih konstitusional yang kuat. Bukankah UUD 1945 hasil amendemen merupakan sintesis dari elemen-elemen kekuatan bangsa, yang di dalamnya juga terkandung best practices dan autokritik atas praktik bernegara. Artinya, proses amendemen konstitusi yang dilakukan telah menyerap semangat dan perubahan zaman. Sama sekali tidak untuk diredusir hanya pada perubahan pendulum atau angin politik sesaat.

Dalam kehidupan bernegara, kewibawaan konstitusi salah satunya terletak pada kepatuhan warga negara terhadapnya. Maka, salah satu iktikad kita untuk menjaga wibawa dan muruah konstitusi ialah dengan konsisten berpolitik dan bernegara dalam batas-batas konstitusional. Kesetiaan untuk tetap berada dalam batas-batas konstitusi adalah ekspresi sikap dan kekuatan kita sebagai homo politicus. Artinya, kita disebut kuat dalam berpolitik dan bernegara ketika kita tidak melampaui batas yang ditetapkan konstitusi, termasuk memilih untuk tidak melakukan perpanjangan jabatan presiden, dan/atau menunda Pemilu 2024. Senada apa yang disampaikan Aristotle, “What it lies in our power to do, it lies in our power not to do.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat