visitaaponce.com

Mengasah Kepekaan Humas Pemerintah Melalui Kearifan Lokal

 Mengasah Kepekaan Humas Pemerintah Melalui Kearifan Lokal
Tiara Kharisma(Dok pribadi)

KEANEKARAGAMAN budaya di Indonesia merupakan sebuah anugerah yang dapat memberikan banyak manfaat di berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam kegiatan komunikasi publik pemerintah. Pendekatan kebudayaan pada strategi komunikasi yang dilakukan humas dapat memberikan pengaruh terhadap pemaknaan dan tingkat penerimaan individu, sehingga kesesuaian strategi komunikasi dengan budaya dapat mendukung tercapainya tujuan suatu organisasi (Kuo dan Chew, 2009 dalam Kriyanto, Rachmat., Sa’diyah, 2017).
 
Setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik dan kearifan lokal tersendiri. Hal tersebut dapat dimanfaatkan humas pemerintah baik yang bertugas di tingkat pusat maupun daerah (provinsi/kabupaten/kota) untuk menyampaikan berbagai informasi, kebijakan, dan program strategis pemerintah. Narasi-narasi yang diagendakan dapat disampaikan dengan menggunakan kearifan lokal, misalnya dengan menggunakan bahasa daerah yang lebih membumi atau lebih akrab bagi masyarakat, kegiatan berbasis budaya lokal yang dinilai efektif dan digemari masyarakat, dan lain-lain. 

Ini dapat menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan, karena semakin mirip latar belakang dan kerangka rujukan, salah satunya nilai-nilai budaya antara komunikator (pemerintah) dengan komunikan (masyarakat), maka proses pertukaran makna dalam kegiatan komunikasi akan lebih mudah. (Schram, 1994 dalam Kriyanto, Rachmat., Sa’diyah, 2017).

Kearifan lokal dan komunikasi publik

Sampai saat ini telah banyak humas pemerintah yang memanfaatkan kearifan lokal untuk membumikan pesan tentang kebijakan dan program pemerintah. Padahal bukan sesuatu yang mengejutkan jika masyarakat awam langsung mengonsumsi informasi kebijakan atau program dari suatu hasil kajian, undang-undang atau regulasi lainnya, akan terasa njlimet. 

Contohnya, pada tahun pertama pandemi covid-19 ada banyak strategi komunikasi publik yang memanfaatkan kearifan lokal yang dilakukan pemerintah pusat maupun daerah untuk mengampanyekan pencegahan dan penanggulangan virus tersebut. Seperti halnya imbauan protokol kesehatan dan tidak mudik dengan menggunakan berbagai bahasa daerah, penyelenggaraan festival Bele’uto sebagai upaya pencegahan covid-19 di Gorontalo (Pembengo, 2020), gerakan Eling Lan Ngelingke (ingat dan mengingatkan) protokol kesehatan di Kabupaten Magelang (Kharisma, 2021) dan lain-lain. Contoh tersebut menunjukkan bahwa meski pun teknologi digital terus berkembang pesat, namun kearifan lokal masih memiliki kekuatan dan tempat tersendiri di hati masyarakat.

Pendekatan kearifan lokal dalam komunikasi publik sejatinya dapat pula digunakan humas pemerintah dalam membumikan narasi Presidensi G-20 Indonesia kepada masyarakat maupun mengenalkan nilai kearifan lokal identitas bangsa kepada para delegasi G-20. Laksamana (2021) menyebutkan bahwa kearifan lokal menjadi salah satu hal fundamental yang dapat digunakan dan dimanfaatkan pada proses penyampaian informasi. Kearifan lokal berpotensi menjadi salah satu cara membangun partisipasi aktif dan kedekatan dalam berinteraksi antara pemerintah dengan masyarakat atau komunitas.

Oleh karenanya tidaklah berlebihan, jika seorang praktisi humas di pemerintah, khususnya pranata humas dituntut untuk memiliki kepekaan terhadap kearifan lokal masyarakat/daerah setempat, serta memanfaatkannya dalam bagian dari strategi atau kampanye komunikasi publik. Bahkan bukan suatu hal yang tidak mungkin apabila kearifan lokal tersebut dapat dikemas dengan memanfaatkan medium digital dan kekinian.

Narasi G-20

Kendati demikian, pada pemanfaatan kearifan lokal, humas pemerintah akan dihadapkan pada berbagai tantangan, di antaranya mengemas pesan dan merumuskan narasi yang mudah untuk dipahami atau lebih membumi bagi masyarakat dengan berbagai latar belakang sosial budaya. Ini pula yang menjadi tantangan saat Indonesia ditunjuk menjadi Presidensi G-20 mulai Desember 2021-November 2022. Pemerintah pusat dan daerah harus bergotong-royong mengamplifikasi narasi, seperti peran Indonesia yang ditunjuk menjadi Presidensi G-20, berbagai kegiatan yang dihelat dan benefit yang dapat diperoleh bangsa Indonesia.

Meskipun menyosialisasikan Presidensi G-20 oleh anggota negara lain terhadap masyarakatnya dapat dijadikan referensi, hanya saja hal tersebut belum sepenuhnya tepat diadaptasi sesuai dengan karakteristik sosial dan budaya masyarakat di Indonesia. Persepsi atau narasi negatif yang berprasangka bahwa kegiatan terkait Presidensi G-20 hanya untuk kalangan elite dan intelektual, menjadi tantangan yang harus diredam dengan berbagai narasi yang mudah dipahami dan menyentuh masyarakat.

Tanpa menyentuh lebih jauh pada muatan substansi materi yang dibahas dalam Presidensi G-20 Indonesia, keberhasilan menggaungkan narasi sehingga masyarakat tahu benefit sebagai tuan rumah terasa minim. Tentu saja hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Dukungan pemerintah daerah terhadap aktivitas kearifan lokal atau helatan festival kebudayaan ciri khas tiap daerah, bisa dimanfaatkan untuk menyisipkan narasi kebanggaan dan sense of belonging masyarakat sebagai tuan rumah Presidensi G20. Dengan demikian, gaung Presidensi G-20 Indonesia tidak hanya pada level pemerintah pusat, tetapi juga dapat memecahkan kesunyian ampilifikasi di daerah.

Strategi dan kampanye komunikasi publik yang memberdayakan kearifan lokal berpotensi menjadi kunci untuk menerjemahkan hal yang rumit menjadi mudah dipahami dan disampaikan dengan cara sederhana. Ini berpotensi besar memunculkan penerimaan pesan Presidensi G-20 Indonesia yang mudah dipahami bagi kalangan masyarakat akar rumput. Tak hanya itu, pendekatan kearifan lokal juga dapat turut dihadirkan dalam berbagai pertemuan Presidensi G-20 Indonesia. Contohnya, kegiatan kebudayaan yang dihadirkan pada pertemuan G-20 dapat menghadirkan citra Indonesia yang kreatif, kaya budaya, dan memiliki nilai gotong-royong.

Menyikai hal ini, sudah barang tentu humas pemerintah harus jeli dan kreatif memilih strategi serta pengemasan kearifan lokal. Sajian pesan dihadirkan secara kekinian, menarik bagi kalangan generasi milenial, atau bahkan dikolaborasikan pengemasannya dengan teknologi digital. Penting untuk diingat pula bahwa pemanfaatan kearifan lokal bukan berarti anti pada hal digital. 

Justru dengan memanfaatkan kearifan lokal dalam menyampaikan narasi program, kebijakan dan regulasi yang digulirkan pemerintah diharapkan lebih dekat (proximity) dengan masyarakat. Sekaligus menunjukkan identitas, karakter dan kepribadian budaya leluhur bangsa di tengah derasnya paham globalisasi di dunia. 
 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat