visitaaponce.com

Kurir Berita Proklamasi Kemerdekaan, Pejuang di Jalan Sunyi

Kurir Berita Proklamasi Kemerdekaan, Pejuang di Jalan Sunyi 
Zainal C Airlangga(Dok pribadi)

HARI ini 77 tahun lalu, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Upacara Proklamasi Kemerdekaan yang diadakan secara sederhana pada 17 Agustus 1945 di halaman belakang rumah Soekarno, menandai dimulainya zaman baru; Indonesia merdeka, lepas dari kolonialisme asing.

Namun pascaproklamasi, kebingungan luar biasa segera menyergap sang proklamator; bagaimana menyebarkan berita kemerdekaan ke seluruh pelosok negeri sementara alat komunikasi dan transportasi kala itu amat terbatas? 

Penyebaran berita kemerdekaan Indonesia memang dilakukan oleh kantor berita Domei (cikal bakal Radio Republik Indonesia) dan surat kabar pergerakan, tetapi jangkauannya masih terbatas. Terlebih penduduk Indonesia ketika itu hanya sedikit yang punya radio, juga tak semua dengan mudah mendapatkan surat kabar. Bagaimana dengan televisi? Televisi di 1945 belum ada. Televisi di Indonesia baru muncul pada 24 Agustus 1962 dengan stasiun yang dikelola negara.

Jangan membayangkan menyebarkan berita semudah zaman sekarang. Tinggal menekan send melalui ponsel atau mengunggah di media sosial maka semua pesan bisa dibaca sampai pelosok negeri. Di masa itu, kemerdekaan yang dibacakan Bung Karno dari Jakarta hanya bisa menjangkau sebagian kecil wilayah Indonesia (utamanya Jawa), atau wilayah-wilayah yang kebetulan bisa menangkap siaran berita dari radio. 

Tak heran, proklamasi yang dikumandangkan di Jakarta itu terlambat diketahui oleh penduduk di daerah. Bahkan setelah berbulan-bulan, masih banyak wilayah yang belum mendengar bahwa Indonesia sudah merdeka. Oleh karena itu, pemerintah lalu menggunakan cara-cara khusus untuk menyebarluaskan berita Proklamasi Kemerdekaan ini. Salah satunya dengan cara mengutus orang-orang tertentu, pelajar, pemuda atau para pejuang untuk menyebarkan ke pulau-pulau di luar Jawa. Mereka inilah bisa dibilang sebagai 'kurir' kemerdekaan Indonesia.

Suka duka para kurir 

Dalam buku lawas berjudul Kurir-Kurir Kemerdekaan yang ditulis oleh Gatot Iskandar dkk, disebutkan bahwa dua bulan setelah proklamasi, berita kemerdekaan Indonesia belum tersebar luas. Akhirnya, Komisaris Jenderal Polisi Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang saat itu menjabat kepala Kepolisian Negara di bawah Kementerian Dalam Negeri, diberi tugas mencari pemuda yang mau dikirim ke pelosok Indonesia untuk menyebarluaskan berita kemerdekaan alias sebagai kurir proklamasi kemerdekaan.

Pemerintah beralasan orang-orang yang tinggal di pelosok dusun, di pinggir hutan, di kaki gunung, dan di seberang lautan banyak belum mengetahui Indonesia sudah merdeka. Sejumlah pemuda yang direkrut menjadi kurir kemerdekaan seperti Gatot Iskandar, anak Kediri yang ikut Perindo (Pemuda Republik Indonesia). Dari Kediri, Gatot waktu itu baru berumur 15 tahun dan duduk di kelas tiga SMP. Ia ditemani konconya yaitu Umar yang juga asal Kediri.

Selain kedua anak itu, pemerintah juga merekrut Suroso dari Angkatan Muda Kereta Api. Bonggar wakil pemuda dari Yogyakarta, Cik Somad asal Palembang, Syamsudin (asal Bengkulu), Anwar dan kakak-beradik Azwar dan Rivai (dari Minangkabau), dan Hamid yang asli dari Tapanuli.

Sebelum berangkat, pemuda-pemuda itu dibagi kelompok yang disebar ke Sumatra. Daerah Lampung jatah Umar dan Cik Somad. Bengkulu diserahkan kepada Syamsudin serta Supardi. Kakak beradik Azwar dan Rivai disertai Anwar mendapatkan tugas ke wilayah Sumatra Barat. Tapanuli ditugaskan kepada Gatot dan Hamid. Sedangkan Suroso dan Bonggar mendapat tugas mendatangi wilayah Sumatra Utara.

Ada pula rombongan-rombongan pembawa berita Proklamasi lainnya, seperti rombongan 'Moh Nur 1001' yang berangkat dari pekalongan menuju Sampit, Kalimantan. Rombongan utusan dari Jakarta pimpinan Rahadi Usman bertolak pada 23 November 1945. Kemudian rombongan 'BPRI Pelopor 9' yang dipimpin oleh Achmad Hasan, bertolak dari Panarukan, Jawa Tengah pada 18 November 1945, dan yang lainnya lagi, menuju Sumatra, Aceh, dan Maluku.

Rombongan kurir kemerdekaan itu awalnya diberangkatkan menggunakan kapal dari Pasar Ikan. Namun kapal keburu rusak di dekat Tangerang. Akhirnya dengan menumpang kapal nelayan, para pemuda belasan tahun itu dipindahkan ke markas militer di daerah Serang. Kemudian diseberangkan menggunakan kapal Badan Keamanan Rakyat dari Anyer.

Pada masa itu peralatan angkutan untuk bepergian memang masih sulit. Kendaraan umum seperti bus, kereta api, kapal laut, bisa dianggap langka. Kalau pun ada umumnya tanpa jadwal yang pasti. Apalagi di daerah luar Jawa. Belum lagi kondisi atau keadaan jalan yang rusak. Kendaraan seperti bus atau truk adalah barang yang sudah tua, sehingga kekuatannya sangat menyangsikan.

Dapat kita bayangkan betapa sulitnya perjalanan yang ditempuh para utusan pembawa berita proklamasi ini menuju luar Jawa. Menyeberang laut, menerobos hutan, menyusur sungai, atau kalau naik kendaraan, tentu hanya bis atau truk yang sudah rongsokan.

Kisah pilu juga harus dialami para kurir kemerdekaan. Mulai dari kehabisan ongkos, kelaparan sehingga terpaksa nimbrung makan di rumah penduduk, sampai harus menempuh perjalanan yang amat melelahkan. Tak jarang, jika kemalaman di jalan yang jauh dari rumah penduduk, mereka harus tidur seadanya di alam terbuka.

Namun, para kurir kemerdekaan yang umumnya adalah para pelajar yang baru duduk di tingkat SMP atau SMA itu, tak mau menyerah. Menjalankan misi tersebut menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka. Sayangnya, kisah kepahlawanan mereka tak terungkap dalam panggung sejarah mainstream. Para kurir kemerdekaan ini bisa dikatakan pejuang di jalan sunyi, jauh dari pemberitaan dan tanda jasa. Terlupakan dalam hilir mudik peringatan kemerdekaan. Padahal tanpa jejak dan sumbangsih mereka, 17 Agustus boleh jadi tak 'semegah' sekarang.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat