visitaaponce.com

Menelisik Komitmen Alumnus LPDP untuk Indonesia

 Menelisik Komitmen Alumnus LPDP untuk Indonesia
M Yusuf(Dok pribadi)

SEJUMLAH mahasiswa penerima beasiswa dari jalur Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang tidak pulang ke Indonesia menjadi topik yang banyak diperbincangan belakangan ini. Mereka yang telah menyelesaikan studinya itu berjumlah 138 orang dari total keseluruhan 15.930 alumnus.
 
Direktur Utama LPDP Andin Hadiyanto yang dikutip dari Tempo.co mengatakan bahwa ratusan alumni penerima LPDP itu sedang dalam proses penindakan berupa konfirmasi, penerbitan surat peringatan, dan pemeriksaan. Apabila seluruh proses itu tak digubris, Andin mengatakan akan dilakukan proses penagihan jika tidak kembali ke Indonesia untuk berkarya.

Klausul

Dalam buku panduan penerima LPDP berdasarkan peraturan No. PER-II/LPDP/2017 terdapat klausul yang menyatakan bahwa penerima beasiswa wajib kembali ke Indonesia untuk berkontribusi, sekurang-kurangnya dua kali masa studi ditambah satu tahun (2n+1, n adalah masa studi) sejak; 1) Tiba di Indonesia bagi penerima beasiswa luar negeri atau penerima beasiswa dalam negeri yang telah menyelesaikan internship di luar negeri, atau 2) menyelesaikan studi bagi penerima beasiswa dalam negeri yang tidak mengambil internship di luar negeri.

Bila di antara calon penerima LPDP maupun alumni penerima LPDP melanggar ketentuan terdapat sanksi-sanksi sebagaimana termaktub dalam buku panduan LPDP. Sanksi-sanksi tersebut meliputi sanksi administratif ringan (surat peringatan), sanksi adminstratif sedang (penundaan pembayaran dana studi) dan sanksi administratif berat yang meliputi pemblokiran untuk mengikuti program LPDP hingga di masa mendatang hingga pengembalian dana studi.
   
Di luar aturan tersebut sebenarnya juga terdapat diskresi bila para alumni bekerja di lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan di badan-badan dibawah naungan PBB. Dengan begitu dapat dikatakan mereka menjadi perwakilan Indonesia di luar negeri. Pertanyaannya kemudian bagaimana bila terdapat alumni yang tidak pulang dan bekerja di perusahaan swasta/nonlembaga internasional yang sudah menjadi ketetapan? Jawabanya jelas mereka melanggar aturan. Sesimpel itu.
 
Tetapi pada kenyataanya terdapat banyak alumnus LPDP yang tidak pulang ke Tanah Air. Mereka ada yang bekerja serabutan di negara tempat menempuh studi. Bahkan ada juga yang sampai pindah kewarganegaraan dengan berbagai alasan. Adapun kasus yang hari ini viral di media sosial adalah kelanjutan dari kasus-kasus lain di masa sebelumnya yang tidak muncul kepermukaan.
  
Ragam respons

Publik merespons isu itu dengan beragam komentar. Sebagian menilai para alumnus penerima beasiswa LPDP tidak tahu diri. Mereka belajar dan hidup di luar negeri menikmati segala fasilitas yang bersumber dari uang negara tetapi justru memilih untuk tidak pulang. Sebagian lainnya justru memaklumi pilihan alumnus penerima LPDP dengan beberapa pertimbangan. 

Hal itu seperti yang dilontarkan pengamat pendidikan Doni Koesoema yang menilai bahwa para penerima beasiswa LPDP yang telah menyelesaikan studi dan tidak pulang ke Indonesia, jangan dicap tidak nasionalis. Karena kontribusi untuk Indonesia juga bisa dilakukan di luar negeri. Ia juga mengatakan hak menerima pendidikan merupakan hak dasar warga negara yang bersumber dari anggaran pendidikan.
 
Karena itu persoalan ini tidak seharusnya dikaitkan dengan sikap tidak tahu diri. Sebab uang negara juga berasal dari pajak rakyat yang di antaranya pajak orang tua para penerima LPDP. Bahkan dirinya menilai sah-sah saja sekalipun penerima LPDP pindah kewarganegaraan dengan pertimbangan ketersediaan infrasktuktur dan ekosistem yang belum memadai di Indonesia. 

Di luar pendapat yang pro dan kontra terhadap alumni LPDP yang memilih tidak pulang ke Indonesia, hendaknya penting bagi kita melihat masalah ini agar tidak keluar dari dua hal mendasar seperti tujuan program LPDP dan komitmen para penerimanya.  

Tujuan dan komitmen 

Program LPDP bertujuan menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berkarakter pemimpin, profesional, saintis, dan teknokrat. LPDP berbeda dengan beasiswa yang sumber pembiayaanya berasal dari luar negeri yang konteksnya adalah membangun jejaring para penerimanya di berbagi penjuru dunia.

Mahasiswa penerima LPDP terikat klausul untuk berkontribusi terhadap Indonesia dengan karya-karyanya. Karena negara memang membutuhkan ketersediaan SDM yang memadai. Ketersediaan SDM itu di antaranya untuk menyelesaikan banyak permasalahan di Indonesia. Dengan kata lain, LPDP merupakan program negara dalam meningkatkan kapasitas anak-anak bangsanya. 

Adanya pengecualian terhadap alumnus LPDP yang mengabdi untuk lembaga-lembaga internasional sebagai representasi yang jelas dari Indonesia. Seyogianya mereka juga diarahkan pada out put yang punya relevansi dengan kepentingan nasional.  

Para diaspora itu harus punya komitmen yang kuat dalam mencitrakan Indonesia di hadapan dunia dengan kedudukannya. Bahkan menurut saya komitmen ini juga seharusnya berlaku bagi para mahasiswa dan alumnus penerima beasiswa dari pembiayaan luar negeri. Mereka yang memperoleh beasiswa non LPDP bukanlah tentara bayaran yang harus patuh dan berperang membela negara atau lembaga internasional yang membiayainya.

Yang ingin saya katakan ialah bahwa komitmen ini harus bersifat menyeluruh. Tidak ada lagi dikotomi antara penerima beasiswa LPDP dan penerima beasiswa non LPDP yang sumber biayanya dari luar negeri. Keduanya sama-sama anak bangsa. Sebagai konsekuensinya mereka ditagih untuk melihat Indonesia, tanah kelahirannya sebagai lahan untuk berbakti dan menuntaskan setiap permasalahan bangsa dan negara.
  
Di lain pihak, perlu kiranya bagi pemerintah dalam melakukan evaluasi terhadap realitas mengenai keengganan para alumnus LPDP untuk pulang ke Indonesia. Evaluasi itu diharapkan menyentuh aspek perencanaan dan pematangan skema LPDP yang memuat uraian rinci tentang komitmen anak bangsa dalam mengabdi untuk ibu pertiwi. 

Mempertahankan kekayaan SDM 

Bagaimanapun negara perlu untuk berinvestasi dalam bidang human capital sebagai sumber daya strategis yang menentukan. Kita tidak boleh kehilangan SDM yang unggul dalam arena peperangan mempertahankan talenta (war for talent) yang tidak lagi melihat atau menihilkan batas-batas administratif antar negara. 

Bahkan World Economic Forum (WEF) pernah mengangkat tema perburuhan dalam mempertahankan talenta SDM yang ke depannya akan semakin masif. Negara sedang dihadapkan pada satu kompetisi yang melibatkan antar negara bahkan antar perusahaan raksasa dunia. Kompetisi ini akrab dikenal dengan istilah migrasi intelektual (intellectual migration). 

Indri J, peneliti LIPI, dalam makalahnya berjudul Intellectual Migration: Brain Drain, Brain Gain, and Brain Circulation menjelaskan bahwa telah terjadi perdebatan panjang tentang apakah intellectual migration menjadi hal positif atau negatif. Akan tetapi nampaknya banyak literatur klasik pada 1950an-1980an mencapai konsensus bahwa negara penerima mendapatkan keuntungan; dan negara pengirim atau yang ditinggalkan dianggap telah kehilangan SDM.

Adalah penting bagi negara meletakan tantangan dewasa ini dengan berpijak pada penguatan relasi antara negara dengan warga negara. Mengingat begitu banyak negara berinvestasi dalam aspek human capital di atas hubungan yang kuat dengan warga negaranya. Dalih dukungan ekosistem dan minimnya ketersediaan infrastruktur penunjang tidak dapat dijustifikasi sebagai pilihan yang nyata bagi para diaspora kita untuk berkarir di luar negeri terlebih sampai mengganti kewarganegaraan. Justru dengan segala permasalahan yang dihadapi bangsa itulah maka ide dan peran para diaspora dinantikan.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat