visitaaponce.com

Bahasa Gaul Musibah atau Berkah

Bahasa Gaul: Musibah atau Berkah?
E. Aminudin Aziz Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek.(Ist)

BANYAK pegiat bahasa yang begitu khawatir dengan cara berbahasa para penutur muda. Kerisauan ini tidak hanya muncul di kalangan pegiat bahasa Indonesia, tetapi juga di kalangan pegiat bahasa da­erah.

Mereka meyakini bahwa cara penutur muda berbahasa dapat merusak tatanan kebahasaan yang sudah­ ada yang terus di­ba­ngun dan di­­kembangkan kebakuannya. Memang sangat beralasan kalau mereka merasa risau sebab mereka melihat gejala berbahasa penutur muda itu dari kacamata pengguna bahasa yang sudah mapan.

Bahasa para penutur muda ini sering disebut dengan istilah bahasa gaul sebab ra­gam bahasa itu lebih sering ditemukan dalam pergaulan di kalang­an usia muda. Sebetulnya, istilah bahasa gaul ini tidak terbatas digunakan untuk merujuk kepada ragam bahasa yang digunakan oleh kalangan muda.

Bahasa gaul juga kadang-kadang dipakai sebagai kode rahasia di kalangan tertentu agar terjadi penyamaran makna. Dengan demikian, tidak setiap orang akan dapat dengan mudah memahami makna yang dituturkan dengan menggunakan bahasa gaul. Bahasa gaul merupakan wujud dari kreativitas para penuturnya. 

Menciptakan kode-kode ter­tentu dengan makna khas yang kemudian akan diingat dalam waktu lama tidaklah mudah, apalagi kalau melibatkan anggota komunitas yang makin luas. Bahasa gaul sengaja di­ciptakan untuk bisa ditiru dan digunakan oleh sebanyak-banyaknya penutur. Dalam konteks ini, tentu saja, bahasa gaul harus dipandang berbeda dengan kode-kode rahasia yang dikembangkan oleh para agen rahasia, misalnya, yang sifatnya memang tertutup.

Perbedaan bahasa gaul dengan baha­sa rahasia para agen itu kemudi­an menisbatkan adanya status yang berbeda di antara keduanya. Bahasa gaul, sesuai dengan namanya, lebih ditujukan sebagai bahasa pergaulan yang luas, bukan sebagai bahasa dalam komunikasi tertutup.

Dengan demikian, bahasa gaul dapat disebut memiliki status sosial yang lebih terbuka, hangat, dinamis, kekinian, dan egaliter.
Sebagai alat pergaulan sosial, bahasa gaul menjadi penanda identitas dan pengikat kelompok. Jika kelompok pengguna bahasa gaul ini merupakan kalangan terpandang yang berasal dari status sosial tinggi, para pengguna bahasa gaul akan dinisbatkan sebagai ke­lompok sosial tinggi.

Demikian juga terjadi sebaliknya. Kebanyakan bahasa gaul yang bertahan (agak) lama diciptakan dan digunakan luas oleh kalang­an terpandang, seperti para pesohor. Kebertahanan ini sejalan dengan pandangan anggota masyarakat yang melihat bahwa para pesohor sebagai idola sekaligus ukuran baku untuk pergaulan sosial. 

Dalam konteks perkembang­an bahasa Indonesia yang kini memasuki usia 94 tahun, bahasa gaul telah ikut memperkaya khazanah kosakata bahasa Indonesia.

Puluhan bahkan ratusan kosakata bahasa gaul, yang awalnya hanya digunakan terbatas di kalangan penutur muda, kini telah menjadi entri resmi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), misalnya kata ajib, alay, ambyar, baper, bigos, bokek, bucin, cemen, cipika-cipiki, dan dugem.

Kata-kata itu sudah terdengar akrab digunakan oleh masya­rakat umum. De­ngan demikian, keberadaan bahasa gaul bagi bahasa Indonesia bukanlah layaknya virus berbahaya yang akan mengakibatkan pandemi. Ia juga bukan zat beracun berbahaya yang akan menimbulkan pencemaran terhadap ka­idah kebahasaan yang sudah dibakukan.

Bahasa gaul justru menjadi salah satu unsur pengaya bagi perkembangan bahasa Indonesia yang wajar dicatat sebagai entri dalam KBBI jika kata dari bahasa gaul itu sudah digunakan secara luas.

Sebagai sebuah kamus umum, KBBI harus merekam setiap gejala penggunaan bahasa yang ditemukan di masyarakat penutur bahasa Indonesia jika gejala itu menunjukkan keunikan dan layak dicatat sebagai entri baru.

Penutur bahasa Indonesia sudah mengalami pasang surut perkembangan bahasa gaul. Pada 1970-an muncul bahasa prokem yang diikuti oleh bahasa ala grup Warkop DKI dan gaya bicara para aktor dalam film Catatan Si Boy pada 1980-an. Era 1990-an ditandai dengan kemunculan gejala sepotong kata yang dilekatkan di ujung tuturan, seperti dong, nih, ye, dan lah.

Sementara itu, pada 2000-an muncul gejala bahasa gaul yang dipopulerkan oleh aktris Debby Sahertian, bahasa para waria (dikenal dengan bahasa Binan); bahasa ala Vicky Pra­setyo; bahasa alay; dan ter­akhir bahasa anak Jaksel.

Kalau gejala bahasa gaul ini diamati, dapat disimpulkan bahwa gejala berbahasa seperti ini tidaklah bertahan lama, bahkan tidak sampai satu generasi. Sesuai dengan hakikatnya, bahasa gaul para penutur muda ini akan digunakan dan dipopulerkan oleh para penutur pada generasi­nya. Dengan kata lain, bahasa gaul adalah bahasa semusim atau sesaat. Karena sifatnya yang sementara ini, bahasa gaul jarang dibakukan.

Di dalam KBBI, entri dari bahasa gaul dilabel cak yang artinya digunakan untuk keperluan bahasa lisan, cakapan. Bahasa ini akan “menghilang” dengan sendirinya seiring dengan perkembangan usia para penuturnya.

Saat mereka memasuki usia untuk berkarir secara profesional, tuntut­an lingkungan pekerjaan akan mengubah pola berbahasa mereka menjadi lebih konservatif. Artinya, cara mereka berbahasa akan lebih condong ke arah yang lebih baku dibandingkan dengan bahasa gaul yang pernah mereka gunakan. Pada masa itu mereka telah melewati pencarian identitas masa muda.

Pada tahap itu mereka telah menemukan identitas baru sebagai profesional muda yang berbahasa dengan lebih memahami konteks dan suasana pertuturan dengan lebih taat kepada aturan kebahasaan. Akhirulkalam, dapat dikatakan bahwa setiap ragam bahasa hidup oleh para penutur pada masanya.

Penutur bahasa yang kompeten akan mampu memilih kata-kata yang pantas sesuai dengan tujuan bertutur dan mitra tuturnya. Kata-kata berkonotasi buruk akan dihindarinya meskipun kata-kata itu populer di kalangan penutur tertentu dan telah tercatat resmi di dalam KBBI. (RO/OL-09)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat