visitaaponce.com

Cinta dan Ruang Perjumpaan dalam Syair-Syair Rumi

Cinta dan Ruang Perjumpaan dalam Syair-Syair Rumi
(Dok. Pribadi)

BOOKCITY, jaringan toko buku terbesar di Iran, beberapa waktu lalu meminta saya untuk membedah buku Ngaji Rumi: Kitab Cinta dan Ayat-ayat Sufistik dalam sebuah acara diskusi berkala yang biasanya menghadirkan para pemikir dan penulis buku-buku terbaru genre filsafat dan tasawuf. Momentum ini merupakan kesempatan berharga sekaligus langka untuk memperkenalkan khazanah intelektual berbahasa Indonesia kepada kalangan pembaca Iran. Apalagi, buku ini membincang pemikiran Jalaluddin Rumi, penyair sufistik abad ke-13 yang menjadi magnet serta perekat bangsa-bangsa di dunia.

 

Melintasi batas geografis

Bangsa Afghanistan menghormati Rumi karena ia lahir di Kota Balkh yang sekarang masuk wilayah negara itu. Bangsa Iran merasa memiliki Rumi karena Balkh dahulu masuk wilayah Khorasan Raya, yang masih bagian dari Persia Kuno. Selain itu, hampir seluruh puisi Rumi ditulis dalam bahasa Persia. Begitu pula bangsa Turki, berpandangan Rumi telah memilih tinggal dan mengajarkan kebijaksanaannya di Konya, tanah yang sekarang menjadi bagian dari negara Turki. Di ketiga negara itu, nama Rumi lebih populer dengan sebutan Mevlana atau Mawlana, yang berarti tuan guru.

Jauh melompat melintasi batas geografis, puisi-puisi Rumi sejak lama telah mengisi ruang kekosongan spiritualitas di negara-negara Barat. Reynold Alleyne Nicholson menghabiskan hampir 20 tahun untuk menerjemahkan karya Rumi ke dalam bahasa Inggris. Annemarie Schimmel, orientalis dan pemikir terkemuka Jerman, mencurahkan perhatian besar terhadap pemikiran Rumi. Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Bahkan di Amerika, buku-buku bertema Rumi termasuk buku best seller yang paling dicari. Tak salah jika Franklin D Lewis dalam bukunya, Rumi: Past and Present, East and West, menyebutkan bahwa puisi-puisi Rumi memberikan pengaruh yang luar biasa di dunia Timur maupun Barat.

Senada dengan Lewis, penulis biografi Rumi dari Amerika, Brad Gooch, dengan gaya populernya mengungkapkan, “Rumi merupakan sosok yang menarik perhatian di semua budaya.” Faktanya, puisi Rumi memang menginspirasi banyak seniman dan budayawan di berbagai bangsa di dunia. Di Hamburg, Jerman, misalnya, Rumi mengilhami Christophe Schweizer, seorang musisi jazz untuk menciptakan lagu yang begitu indah, Silence is the Language of God. Adapun di Indonesia, Rumi hadir dalam tarian sema yang dibawakan para santri di Pesantren Maulana Rumi, Bantul, Yogyakarta.

Lebih jauh, pemikiran maulana Jalaluddin Rumi tidak hanya melintasi batas ruang geografis, tapi juga melampaui sekat-sekat mazhab dan agama. Umat dari agama apa pun dapat dengan nyaman mereguk kebijaksanaan melalui syair-syairnya. Bahkan, mereka dapat menemukan ruang bersama untuk mendialogkan berbagai persoalan kemanusiaan. Hari ini, syair Rumi tidak hanya dibincangkan di ranah agama dan sastra. Namun, telah dikaji di berbagai lintas disiplin untuk menambang sumbangsih pemikirannya terhadap isu-isu kontemporer, seperti isu perempuan, toleransi, dan lingkungan.

Mengingat kontribusi pemikiran Rumi dalam perubahan dunia, UNESCO pernah menetapkan 2007 sebagai tahun Rumi, bertepatan dengan peringatan 800 tahun kelahiran penyair sufi legendaris ini. Setiap tahun, tepatnya pada 17 Desember, masyarakat dunia juga mengenang hari wafatnya. Acara ini tidak hanya diperingati oleh umat Islam, tapi juga diikuti para pencinta Rumi dari beragam agama dan bangsa, sebagaimana saat wafatnya pada 1273 di Konya. Kini, setelah delapan abad berlalu, pemikiran Rumi masih terus diapresiasi masyarakat dunia. Pertanyaannya, apa yang mendasari syair-syair Rumi tetap abadi dan diterima oleh berbagai kalangan? Sejauh mana syair-syair Rumi mampu membangun ruang perjumpaan?

MI/Duta

 

Cinta sebagai pandangan dunia yang menyatukan

Para peneliti Rumi mencatat berbagai faktor yang menyebabkan puisi Rumi lestari hingga kini dengan daya pengaruhnya yang luas. Sebagian sarjana memandang, puisi Rumi bertahan melintasi zaman karena mengambil inspirasi dari kitab-kitab klasik yang bersumber dari nilai-nilai transendental. Pakar lain meyakini, puisi Rumi tetap dicintai sampai hari ini karena menawarkan ide-ide yang segar dan kedalaman rasa. Tak sedikit pula peneliti yang mengaitkan keabadian puisi Rumi dengan statusnya sebagai guru sufi yang banyak berinteraksi dengan jiwa dan spiritualitas manusia. Ketiga penilaian tersebut menegaskan kesamaan mengenai pengaruh Rumi. Akan tetapi, ada hal yang lebih substansial dari ketiga pendapat itu mengenai pandangan dunia Rumi tentang cinta.

Tentu saja, membincang Rumi tanpa menyebut kata cinta adalah kemustahilan, seperti berbicara kehidupan tanpa memperhitungkan unsur air. Rumi dan cinta, dua hal yang selalu melekat. Bahkan, dalam dunia tasawuf, Jalaluddin Rumi dikenal sebagai pendiri mazhab cinta. Persoalannya, bagaimana mendedah konsep cinta Rumi ketika ribuan, bahkan hampir seluruh syairnya, mengusung tema cinta. Dari dua buku kumpulan puisi karya Rumi, Divan-e Shams yang berisi 36 ribu bait maupun Matsnawi Maknawi yang memuat 25 ribu bait, terma eshq atau cinta hampir mewarnai seluruh bait-baitnya.

Jika ditelusuri lebih jauh, pandangan Rumi tentang cinta ini berangkat dari puisi pertama dalam buku magnum opusnya, Matsnawi Maknawi. ‘Dengarkan bagaimana kisah seruling ini, yang mengaduh rindu karena keterpisahannya’. Rumi tidak main-main ketika menempatkan puisi ini sebagai pembuka dari ribuan syair lainnya. Bahkan, seorang pakar Rumi terkemuka, Abdolhossein Zarrinkoob, dalam pengantar bukunya, Neynameh, menyebutkan, bait-bait pertama Matsnawi merupakan inti gagasan Rumi yang kemudian ditafsirkan dalam enam jilid kitab Matsnawi lainnya.

Rumi memaknai filosofi seruling bambu ini sebagai perjalanan hidup manusia. Ketika terlahir ke dunia, manusia merasa terasing karena berpisah dari Zat yang dicintainya. Tuhan sebagai yang dicinta memberikan kesempatan kepada manusia untuk melakukan perjalanan. Dalam pandangan Rumi, tugas manusia di dunia adalah belajar terus-menerus menjadi seorang pecinta yang bermanfaat bagi semesta sampai ia berjumpa dengan kekasih sejatinya, Tuhan. Dari sinilah konsep cinta Rumi bermula hingga melahirkan ribuan bait yang mengagumkan.

Meskipun secara eksplisit Rumi tidak pernah mendefinisikan makna cinta, lewat syair-syairnya dapat ditelusuri lebih jauh bagaimana penjelasan cinta yang ia maksudkan. Pertama, cinta menjadi penyebab awal diciptakan alam semesta. Dalam kitab Matsnawi Maknawi jilid 5 bait 2739-2740, Rumi menyebutkan, “Tuhan berfirman: Kalau bukan karena cinta yang hakiki, tak kan kuciptakan langit dan bumi. Apakah kau tahu mengapa kubentangkan langit, agar kau mengerti makna cinta sejati.”. Begitu tinggi Rumi menempatkan cinta dalam kerangka kosmologis. Tak salah kiranya bila seorang filsuf mengatakan bahwa cinta adalah makhluk pertama yang tercipta. Karena, kalau tidak ada cinta, unsur untuk menciptakan semesta tidak akan terwujud.

Kedua, semua makhluk berasal dari entitas yang sama dan saling mencinta. Rumi meyakini bahwa penampakan yang ada di alam semesta ini merupakan manifestasi dari wujud Tuhan. Karena itulah, setiap manusia memiliki potensi dasar transendental berupa cinta, sebagaimana disebutkan dalam kitab Matsnawi jilid 3 bait 4400-4402, “Hikmat Tuhan dalam qada dan qadarnya. Ia hadirkan kita sebagai para pecinta, seluruh bagian alam tercipta berpasangan dan pasangan itu saling mencinta.”

Dalam puisi lainnya, lebih jauh Rumi menjelaskan, hubungan saling mencinta ini tidak hanya terbatas kepada sesama manusia, bahkan seluruh wujud pun memiliki potensi mencintai. Rumi dalam Divan-e Shams, gazal 2674, bait 9-10, bersenandung, “Seluruh wujud di alam adalah pecinta, dan mereka semua rindu bersua. Jika tak mencintaimu langit, tak kan membentang cakrawala bening. Jika tak menyayangimu matahari, tak ada cahaya indah menyinari. Jika tanah dan gunung tak saling mencinta, tak kan tumbuh darinya pohon dan bunga.”

Konsep penyatuan manusia dan alam semesta inilah yang membawa harapan besar terbangunnya ruang perjumpaan. Sebuah ruang yang membawa manusia pada kesadaran bahwa setiap wujud di alam ini mulia karena mendapat pantulan kebaikan Tuhan. Tugas setiap manusia adalah memerdekakan diri dari egoisme hingga bertemu wujud aslinya, yaitu jiwa-jiwa yang bersih. Kata Rumi dalam Matsnawi jilid 1, bait 686-689, “Dulu kita merdeka, berasal dari entitas yang sama. Tanpa kepala dan kaki, di alam azali kita berjumpa. Ketika cahaya berubah wujud, lahirlah aneka macam bentuk. Maka, keluarlah dari rangka jasadmu, sampai kau temukan wujud aslimu.”

 

Signifikan

Meskipun terdengar abstrak, konsep ini sangat relevan untuk diturunkan ke dalam bentuk yang lebih konkret. Rumi sendiri dalam banyak puisinya menyebutkan berbagai prinsip yang masih signifikan untuk digali di masa sekarang. Misalnya, konsep kemerdekaan dan kebebasan manusia, keadilan, perdamaian, kesetaraan, dan keragaman. Dalam salah satu puisinya Rumi menyebutkan, “Sepuluh lampu dalam ruangan yang sama, masing-masing berbeda bentuk dan warna. Jika kau fokuskan pada cahaya, lampu-lampu itu tiada berbeda.” Menariknya, prinsip-prinsip tersebut senada dengan rumusan dasar ‘Etika Global’ yang digagas oleh Hans Kung untuk perdamaian umat beragama.

Melalui ruang perjumpaan ini, setiap orang, dengan berpijak pada fondasi pemahaman yang kokoh bukan sebatas toleransi di permukaan, dapat bekerja sama dan memberikan kontribusi terbaik mereka untuk memecahkan isu-isu kemanusiaan dan lingkungan.

Di hari peringatan haul maulana Jalaluddin Rumi kali ini yang jatuh pada Sabtu, 17 Desember 2022, semoga para pencinta Rumi di seluruh penjuru dunia tidak berhenti sebatas mengagumi keindahan syair-syairnya. Namun, menjadikannya sebagai spirit perubahan untuk terus bergerak menyuarakan perdamaian dunia yang sedang tidak baik-baik saja. Seperti pesan Rumi dalam salah satu puisinya, “Jangan kau katakan: Semua orang bertikai, untuk apa aku bicara perdamaian? Engkau tidak sendiri, tetaplah nyalakan lenteramu!”

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat