visitaaponce.com

Merawat Ruang Publik

Merawat Ruang Publik
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

AKHIR-AKHIR ini, sebagian dari kita mungkin pernah dibuat jengkel dengan maraknya informasi palsu atau hoaks seputar penculikan anak. Sebagai orang yang sehari-hari kebetulan bekerja dengan metode verifikasi fakta, saya termasuk yang geregetan dengan fenomena itu.

Belum lama ini, saya pun dibuat kesal dengan potongan berita dan gambar yang dibagikan seorang kawan di sebuah grup perpesanan tentang sketsa wajah orang yang diduga sebagai penculik anak. Potongan gambar itu sesungguhnya ialah berita lama pada 2018 tentang kasus penculikan anak, tetapi diproduksi ulang dengan narasi berbeda. Seolah-olah itu informasi terbaru mengenai pria yang diduga sebagai penculik anak yang tengah berkeliaran di Depok.

Kawan saya, si pengirim potongan gambar dan berita tersebut, bukanlah orang yang tidak berpendidikan. Dia bekerja dan memegang jabatan lumayan tinggi di sebuah institusi pemerintah dan merupakan lulusan sebuah universitas ternama di Bandung. Yang saya sayangkan, ia tidak menyaring informasi tersebut sebelum sharing atau membagikannya ke orang lain. Ketika ditegur, dia cuma cengengesan dan berdalih potongan gambar dan berita itu diperolehnya dari orang lain.

Orang-orang yang berkelakuan seperti kawan saya ini tidaklah sedikit. Mungkin maksudnya baik untuk mengingatkan, tapi justru berpotensi memicu panik dan ketakutan. Termasuk potongan video seorang pria yang menculik anak di sebuah ruang kelas yang dinarasikan terjadi di sebuah sekolah di Indonesia. Potongan video yang telah diedit itu banyak beredar di media sosial, terutama di grup perpesanan. Fakta sebenarnya, itu hanyalah video simulasi untuk mengantisipasi penculikan anak di sebuah sekolah di Malaysia. Secara logika, adegan di video itu saja sudah terlihat janggal. Masak ada penculik nekat menyeret anak di depan teman-temannya di sebuah ruang kelas di saat jam belajar? Gile lu Ndro, begitu kalau istilah anak sekarang.

Kemajuan perkembangan teknologi digital memang membuat manusia kini kian terhubung dan merasa sederajat, terutama dalam melakoni kehidupan di dunia maya. Dari mereka yang paling elite hingga mereka yang menempati peringkat terbawah piramida ekonomi kini umumnya memiliki perangkat teknologi penunjang sebagai syarat keterhubungan tadi. Dengan ponsel pintar seharga ratusan ribu hingga belasan juta rupiah, mereka memiliki hak dan kesempatan yang sama, baik untuk menikmati hiburan maupun untuk mencari dan menyebarkan informasi. Namun, apakah dengan begitu kita betul-betul jadi sederajat? Apakah segala perangkat teknologi canggih itu membuat kita semakin berpengetahuan? Dari contoh peristiwa di atas, rasanya pertanyaan itu telah terjawab.

Bukan hanya pada kasus penculikan anak, informasi sesat juga kerap beredar seputar kejadian bencana, kecelakaan lalu lintas, tawuran, dan sebagainya. Kini, memasuki tahun politik, berita atau informasi palsu semacam itu mungkin bakal semakin masif diproduksi. Tentu ini menjadi tugas kita bersama (bukan cuma Kementerian Komunikasi dan Informatika) untuk memeranginya. Ruang publik, termasuk di ranah digital, jangan sampai dicemari hal-hal yang dapat mengganggu ketenteraman hidup bersama. Pandai-pandailah memilah karena sebagian di antara informasi yang kini melimpah ialah sampah. Wasalam.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat