visitaaponce.com

Omnibus Law dan Politik Belah Bambu

Omnibus Law dan Politik Belah Bambu
Chazali Husni Situmorang, Pemerhati Kebijakan Publik dan Dosen FISIP UNAS.(Ist)

SEJAK digunakannya metode Omnibus Law  dalam penyusunan RUU, poduk UU yang dihasilkan tiada hentinya terjadi penolakan dari berbagai lini masyarakat. Organisasi buruh terus protes dengan lahirnya  UU Cipta Kerja. Dua kali dengan Perpru Cipta Kerja, disyahkan DPR menjadi UU metamorfosa dari UU sebelumnya yang sama dan sebangun. Buruh demo sampai hari ini.  Sepertinya pemerintah menikmati berbagai demo-demo itu.

Undang-Undang P2SK yang baru disyahkan dengan waktu yang cukup singkat. Dengan pendekatan Omnibus pemerintah (Kemenkeu) dan DPR bercengkrama mesra dalam menyusun RUU tersebut, dan salah satu korbannya adalah UU SJSN, pada pasal-pasal terkait JHT dibongkar pasang sesuai dengan selera. 

Karena keberhasilan UU P2SK, DPR melalui Baleg semakin bersemangat meluncurkan prolegnas RUU Omnibus Kesehaan, hasil kerja sama yang apik dengan Kemenkes.  Ada 10 UU dilingkungan sektor Kesehatan dibongkar habis porak-poranda. Ada 2 UU Lex Specialist yang kena sabet pedang Omnibus itu, yaitu UU SJSN, dan UU BPJS, yang intinya melumpuhkan BPJS sebagai lembaga independen, dan melemahkan tupoksinya. 

Skenarionya diatur, dan itu mudah dibaca selama proses pembahasan di DPR. Kemenkes melemparkan substansi NA dan Draft RUU kepada Baleg, lantas  dipreteli menjadi bahan umpan yang diberikan kepada stakeholder, organisasi kesehatan, dalam forum RDP. Dan selanjutnya kita sudah tahu. Pemerintah telah membuat DIM dalam forum Panja Pemerintah, dan DPR Komisi IX sudah membuat Panja DPR, dan ditargetkan Mei mendatang Draft RUU dengan DIM nya sudah final. 

Saat ini situasi penyusunan RUU Omnibus Kesehatan sangatlah tidak kondusif. Menteri Kesehatan di Somasi oleh Kelomok Masyarakat Kesehatan yang menentang  RUU, dan dipihak lain ada katanya 17 Organisasi Kesehatan  (?} bertemu Menkes dan mendukung Menkes. 

Omnibus Law ini memijak kaki para bidan, perawat, dokter, dan tenaga kesehsatan lainnya, karena regulasi (UU) yang selama ini menjadi payung hukum mereka berorganisasi diberangus.  Ada perasaan jengkel, marah dan dendam kepada Menkes yang ingin mematahkan sayap para  OP (Organisasi Profesi) itu. Disisi lain, OP sempalan diberi ruang dan kesemapatan untuk   mengepak sayapnya. Mereka mendukung tanpa reserve atas RUU Omnibus Kesehatan yang di usung DPR dan Kemenkes. 

Organisasi Kesehatan dan Tenaga Kesehatan saat ini sudah terbelah. Politik belah bambu sedang dimainkan para peneyelenggara negara.  ASN dilingkungan Kemenkes tidak boleh bermain mata atau ikut guyup organisasi yang tidak  sejalan dengan kebijakan Kemenkes dalam menyikapi RUU Kesehatan. 

Politik belah bambu itu secara kasat mata sedang dimainkan oleh penyelenggara negara. Baca saja pasal-pasal yang disusun dalam RUU itu. Intinya sedang memusatkan kekuasaan berkumpul di Kementerian Kesehatan. Sentralistik. Pengendalian penuh Nakes. Menghilangkan otoritas OP walaupun dilandasi Undang-Undang. STR dan SIP dikendalikan Kemenkes. Profesi kesehatan ditempatkan sebagai pekerja. Pendidikan spesialistik diletakkan pada Hospital Based. Kebijakan ekstrim itu mengguncangkan aras dunia  kesehatan.  

Profesi kesehatan tersentak. Ada yang menentang total. Ada yang setengah-setengah. Ada yang tiarap. Tapi ada juga yang jadi brutus. Profesi kesehatan sedang dalam ujian berat. Sedang babak belur dilibas politik belah bambu. 

Apa itu politik belah bambu

Istilah ini sudah familiar kita dengar. Tapi essensi maknanya perlu juga kita ungkapkan kembali. Politik belah bambu adalah politik yang membelah bambu yang semula terpadu dan menyatu, lalu dibelah. Dan cara membelahnya adalah yang satu diangkat ke atas , yang satunya lagi diinjak ke bawah. 

Apa tujuan dari politik belah bambu itu ? Tujuan  menerapkan politik belah bambu untuk mempertahankan kekuasaan. Prakteknya, sebagian kelompok masyarakat yang menentang kekuasaan, diinjak, ditekan, dan selanjutnya jika perlu dihancurkan sampai habis.

Tetapi sebagian kelompok yang lain ( terutama yg mendukung kekuasaan) diangkat, diberi fasilitas, dan diistimewakan kehidupan nya di masyarakat.

Sejarahnya, politik belah bambu biasa dilakukan oleh bangsa-bangsa penjajah dari Eropa. Sejak abad 15, bangsa-bangsa penjajah Eropa melakukan ekspansi dan menganeksasi wilayah wilayah yang sudah dikuasainya lewat peperangan, atau penguasaan perekonomiannya.

Di dalam wilayah jajahannya mereka menerapkan politik belah bambu , agar kelompok-kelompok besar yang ada dalam masyarakat dipecah-belah menjadi kelompok kecil, sehingga tidak kuasa ( tidak mempunyai kemampuan ) melakukan perlawanan baik secara politik maupun secara militer.

Dalam zaman digital sekarang ini, rupanya politik belah bambu masih menjadi pilihan penyelenggara negara untuk kepentingan kekuasaannya. Atas nama demokrasi, kita berada dalam situasi seolah-olah, seakan-akan. Seakan sudah sesuai dengan prosedur. Sudah menjaring aspirasi, sudah sesuai keinginan masyarakat, dengan ribuan jumlah angka banyakjnya pertemuan, luring, daring, dan publikasi gencar aspirasi sudah 75% diakomodir. Dsb.dsbnya. 

Proses pembahasan RUU Omnibus Kesehatan yang sedang berlangsung ini, tidak bisa dielakkan dari rumusan politik belah bambu yang diuraikan diatas. Kalau dulu oleh bangsa penjajah. Sekarang ini  namanya OLIGARKI. Oligarki berkolaborasi dengan penguasa, disebut Peng-Peng. Pengusaha (oligarki) dan Penguasa, bergandengan tangan. Penguasa membentangkan karpet merah kepada Pengusaha untuk leluasa  menggarap lahan bernama RUU Omnibus Kesehatan.

Sektor kesehatan akan dijadikan  lahan investasi  dengan alasan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dengan menggunakan instrument UU yang sudah di omnibus kan. Apakah ini untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat? Para profesi tenaga kesehatan yang berhimpun dalam organisasi profesi meragukannya. Yang terbayang kedepan adalah investor itu seperti lintah darat yang menghisap dara rakyat yang sedang sakit. Para tenaga  medis   hanya dapat memandang pilu  tidak bisa berbuat apa-apa  karena tangannya telah terikat tidak berkutik atas nama Undang-Undang Omnibus. 

Mereka itu ( para OP), berteriak menolak, melawan, tetapi perlawanan semakin lama semakin lemah, soliditas menurun,  karena lawan tidak seimbang, licin, liat dan lentur. 

Insan kesehatan sudah pasrah, tidak bisa berharap pada rejim sekarang ini. Pintu untuk mendapatkan keadilan sepertinya semakin memudar. Mereka berharap agar rejim ini berakhir sesuai dengan konstitusi melalui Pemilu 2024. Semoga pemerintahan baru nantinya benar-benar membawa Perubahan. Change or Die. (S-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat