visitaaponce.com

Dosen Merdeka

Dosen Merdeka
(Dok. Pribadi)

"JADILAH manusia merdeka." Begitu pesan pemikiran Buya Syafi'i Ma'arif semasa hidupnya. Pesan itu begitu tajam dan kembali teringat saat membaca artikel Buruh Dosen oleh Profesor Sulistyowati Irianto, Kompas, Kamis, 13 April 2023. Artikel tersebut bercerita tentang rumitnya menjadi dosen di Indonesia. Pekerjaan administratif lebih dominan jika dibandingkan dengan kerja-kerja akademis. 

Kerja akademis, sebagai bagian penting dalam proses pencerahan semesta, sering kali terkubur oleh ribetnya administrasi. Kerja dosen sebagai pilar penjaga pencerdasan kehidupan bangsa pun akhirnya lunglai tak berdaya. Saat dosen sudah tersibukkan dengan urusan dirinya, akhirnya karya hebat pun mandul diproduksi. 

Dosen Indonesia, karena tuntutan yang sedemikian rupa, menjadi mangsa predator jurnal internasional bereputasi. Tidak hanya itu, tak sedikit dari mereka yang masuk dalam perangkap penawaran menjadi penulis di urutan tertentu. Tentunya dengan membayar sekian rupiah tanpa harus melakukan riset dan atau kontempelasi dalam berkarya (menulis). Sebuah jalan pintas yang dipilih di tengah penatnya pekerjaan administrasi. 

Kerja dosen semakin berat saat mereka merintis karier muncul aturan ini dan itu yang semakin menyulitkan kerja intelektual. Misalnya, aturan tentang jenjang karier menjadi guru besar yang baru bisa diraih dalam jangka waktu 20 tahun untuk koefisien sangat baik dan 30 tahun untuk koefisien baik. Proses panjang yang melelahkan. 

Namun, tersiar kabar nun jauh di sana, ada seorang yang baru menjadi dosen tidak lebih dari dua tahun tiba-tiba mendapatkan jabatan tertinggi dalam karier dosen, yaitu menjadi guru besar. Kita juga dengan mudah mencari berita di berbagai laman media pemberian profesor kehormatan. Tentu mereka yang mendapatkan itu ialah yang mempunyai jabatan publik yang mentereng. Seperti anak seorang pejabat utama pemerintah dan atau yang menduduki posisi penting di pemerintahan. 

Lebih lanjut rintisan karier dosen pun seakan semakin dipersulit dengan berbagai aturan yang sering kali membuat hidup seakan semakin sumpek. Padahal, kenaikan jenjang karier dosen setiap lini hanya dihargai beberapa ratus ribu rupiah. Misalnya, seorang dosen dari tenaga pengajar ke asisten ahli mendapat tunjangan fungsional Rp375.000; asisten ahli ke lektor, mendapatkan tambahan tunjangan fungsional sebesar Rp700.000. Lektor kepala mendapat tunjangan sebesar Rp900.000; guru besar pun hanya mendapatkan tunjangan fungsional sebesarRp1.350.000. Jumlah itu tentunya sangat sedikit jika dibandingkan dengan pendapatan seorang Youtuber, influencer, dan atau tunjangan di sebuah 'kementerian elite'.

Kenaikan yang tidak seberapa itu pun tentu tidak sebanding dengan tunjangan yang diberikan kepada pejabat yang jauh jika dibandingkan dengan kerja akademis seorang dosen. Tunjangan yang kecil itupun masih mendapat tekanan agar laju jumlah guru besar diperketat. Padahal, jumlah guru besar di Indonesia hanya 7.243 atau 2,74% berdasarkan data Sinta Kemendikbud yang terakses 16 April 2023. 

Tentunya pemerintah tidak akan kehilangan banyak dana untuk membayar tunjangan fungsional dan kehormatan guru besar dengan jumlah itu atau sampai pada angka 20%. Pasalnya, Malaysia pada 2016 sudah mempunyai 25.000 guru besar. Tentunya perlu akselerasi pemihakan jumlah guru besar di Indonesia. 

Pemerintah perlu membuat aturan yang sederhana. Penyerderhanaan ruang birokrasi memungkinkan seorang dosen bisa berkarya berdasarkan kajian keilmuan masing-masing dan tentunya tetap menjaga kualitas dan reputasi seorang guru besar. 

 

Perluasan ruang akademis

Perluasan ruang birokrasi hanya akan semakin mengerdilkan ilmu pengetahuan. Pasalnya, dosen sebagai produsen ilmu tidak lagi mampu melakukan riset dengan baik karena lebih banyak terbebani urusan yang seharusnya bisa lebih sederhana dan disederhanakan. 

Mendorong dosen sebagai manusia merdeka tampaknya perlu menjadi agenda pemerintah di tengah gelombang Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Apalagi pada Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2023, pemerintah kembali menyuarakan Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar. Proyek MBKM selayaknya dimulai dari kemerdekaan dosen. Dosen diberi keleluasaan untuk berkarya, mengembangkan ilmu, dan membangun jejaring seluas-luasnya. Dosen perlu mendapatkan ruang akademis secara lebih luas agar mereka dapat berkontribusi secara nyata. 

Perluasan ruang akademis itulah yang menjadi salah satu jalan bagi bangsa mewujudkan dosen merdeka. Mereka yang akan berjibaku dengan problem akademis dan mampu berpikir filosofis menghasilkan banyak teori untuk pencerahan semesta. 

Perluasan ruang akademis itu juga akan memutus ruang birokrasi yang menjadikan dosen sebagai buruh sebagaimana disinyalir Profesor Sulistyowati. Ruang akademis menjadikan dosen semakin mudah bergaul dengan dunia akademi dan memainkan peran sebagai intelektual yang senantiasa dekat dengan berbagai masalah kehidupan.

Dosen merdeka pun akan mendukung program MBKM. Pasalnya, dosen, mahasiswa, stakeholder perguruan tinggi, manunggal dalam karsa menuju kesamaan pandangan mewujudkan tatanan masyarakat adil makmur berdasar potensi. Dosen merdeka pun tentu tidak akan mengganggu anggaran pemerintah. Anggaran pemerintah akan dipergunakan dan dipertanggungjawabkan secara moral sebagai bagian dari rasa syukur manusia merdeka. 

Pada akhirnya, semoga mimpi Buya Syafi'i tentang manusia merdeka menjadi kenyataan. Dimulai dari dosen merdeka, guru merdeka, buruh merdeka, dan profesi merdeka yang lainnya.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat