visitaaponce.com

Konsekuensi Global Hasil Pemilu Turki

Konsekuensi Global Hasil Pemilu Turki
(Dok. Pribadi)

SELAIN menarik secara domestik karena menghasilkan diskursus yang dinamis, pemilu Turki memiliki ketertarikan dan citra rasa global. Baik negara-negara Barat maupun Timur memotret secara khusus pemilu tersebut. Keberhasilan Turki di politik internasional yang paradoks dengan krisis-krisis yang menimpa mereka membuat pemilu Turki menarik bagi baik kawan maupun lawan.

Hal yang menarik pula, dunia internasional menunjukkan sikap yang kontradiktif memaknai pemilu Turki. Sebagian negara mendukung petahana Presiden Recep Tayyip Erdogan, sebagian lain tampak tidak menginginkannya terpilih kembali. Itu menunjukkan posisi Turki yang memiliki daya tawar dalam percaturan politik internasional.

Selama dua dekade, Turki memang cukup banyak mendapatkan sorotan dunia. Pada dekade pertama kepemimpinan Erdogan, Turki berada di tempat yang berwibawa. Demokratisasi di Turki meningkat seiring dengan pelunakan praktik sekularisme, dengan kebijakan yang berpihak pada neoliberalisme, dunia industri Turki masuk ke perdagangan global, bahkan nilai mata uang lira sempat hampir menyamai kekuatan dolar Amerika Serikat.

Walakin, nahasnya pada dekade keduanya, dunia memotret Turki sebagai negara gagal dalam berdemokrasi. Freedom House mencatat Turki sebagai negara dengan demokrasi cacat (flawed democracy) dengan hybrid regime. Dalam indeks demokrasi, Turki berada pada rangking ke-103 dari 167 negara. Erdogan juga disorot karena memantik berbagai krisis, baik ekonomi maupun sosial, datang ke Turki.

MI/Duta

 

Kredensial demokrasi dan keamanan

Kondisi terakhir dikritik serta dimanfaatkan oposisi dan pesaing internasional untuk menyingkirkan Erdogan. Amerikat Serikat, misalnya, melalui Duta Besar Jeff Flake di Ankara, sebelum pemilu, melakukan pertemuan dengan oposisi Ketua Umum Partai Rakyat Republik (CHP) Kemal Kilicdaroglu dan koalisinya, Koalisi Kebangsaan (Millet Ittifaki). Dubes Flake mengeklaim pertemuan tersebut sebagai bagian dari pembicaraan berkelanjutan dengan partai politik Turki tentang masalah demokrasi dan kepentingan bersama di antara kedua negara.

Langkah politik itu dikritik Erdogan sebagai campur tangan asing dalam pemilu Turki. Pernyataan diplomatis yang samar itu sebenarnya dapat dimaknai jelas dari pernyataan Presiden Joe Biden saat kampanyenya pada 2020 yang mendudukkan posisi Amerika Serikat yang mendukung kepemimpinan oposisi Turki.

Dalam berbagai kesempatan, Biden memang menjaga jarak dengan Erdogan karena penurunan supremasi hukum dan demokrasi. Di masa awal keterpilihannya sebagai presiden, Biden membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menghubungi Erdogan dan itu pun hanya untuk menyampaikan bahwa kasus kematian massal bangsa Armenia pada 1915 sebagai genosida.

Situasi itu barangkali akan terulang setelah terpilihnya kembali Erdogan. Terlebih saat ini Turki juga berada di bawah sanksi Amerika Serikat karena membeli sistem pertahanan udara S-400 milik Rusia. Akan mudah dibayangkan, situasi tersebut tidak akan terjadi bila oposisi yang menang, dan itu menjadi pintu awal rekonsiliasi hubungan Turki-Amerika Serikat.

Hubungan Turki dan Amerika Serikat secara tradisional menjadi penentu bagi posisi Turki dengan Barat. Keterpilihan kembali Erdogan menempatkan Turki berada dalam kadar yang rendah dalam hubungan mereka dengan Barat. Terkadang memang ada letupan kehangatan, seperti saat penarikan militer Amerika Serikat dari Afghanistan atau saat konflik Rusia-Ukraina ketika Erdogan berhasil menciptakan hubungan damai dengan rekonsiliasi gandum. Namun, itu berumur pendek. Hubungan keduanya yang lebih erat akan tercipta bila sama-sama menyepakati kredensial demokrasi dan keamanan yang selaras.

 Apakah keanggotaan NATO keduanya dapat memunculkan kredensial itu? Tampaknya tidak mudah. Sebagai sesama anggota NATO, Turki membuka jalan bagi Finlandia untuk bergabung dengan aliansi, tetapi menghalangi Swedia, yang juga didukung Amerika Serikat, karena kekhawatiran terhadap kemunculan kelompok militan Kurdi yang dianggap Turki sebagai teroris. Pada taraf ini, Turki dan Amerika Serikat tampak akan masih menjalin hubungan yang transaksional dan praktis.

Lalu, bila melihatnya secara kontrafakta oposisi yang menang, apakah Turki dapat memainkan peran digdaya mereka? Tampaknya akan sulit. Di samping keraguan terhadap kepemimpinan Kilicdaroglu dalam politik luar negeri, rekonsiliasi dengan Barat bagi sebagian masyarakat Turki justru menciptakan citra yang negatif.

Meskipun bisa saja ada peningkatan demokrasi dan ekonomi, sebagian besar masyarakat Turki memandang kewibawaan dan keberanian ialah kekuatan seorang pemimpin. Itu yang membuat Erdogan tetap populer. Pada taraf ini, sebagian masyarakat Turki masih memandang variabel kultural jika dibandingkan dengan variabel rasional sebagai ukuran demokrasi.

 

Status quo Timur Tengah

Sikap internasional yang juga kompleks, tetapi lebih sederhana, ditunjukkan negara-negara Timur Tengah. Para elite di negara-negara Timur Tengah cenderung melihat hasil pemilu Turki sebagai status quo. Negara-negara Timur Tengah menilai baik Erdogan maupun Kilicdaroglu akan menggunakan pendekatan politik yang tidak jauh berbeda.

Lebih dari 20 tahun Erdogan menunjukkan kebijakan regional yang militeristis, tetapi akibat realitas ekonomi domestik yang goyah, Erdogan mencoba mengakomodasi pesaingnya di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Mesir, dan Uni Emirat Arab (UEA), untuk mengamankan investasi. Pendekatan akomodatif seperti itu pun cukup membantu mendinginkan konflik di kawasan, seperti di Libia, dengan Turki mendukung pemerintah Tripoli dan UEA serta Mesir yang mendukung pasukan timur.

Sementara itu, di Irak, para elite memandang hasil pemilu Turki secara lebih hati-hati. Sebagian kalangan memperkirakan terpilihnya Erdogan akan tetap menjaga perselisihan. Karena itu, mereka lebih mengharapkan Kilicdaroglu. Namun, beberapa politikus di Irak lebih senang berurusan dengan 'pembuat onar' yang mereka kenal.

Maret lalu, Erdogan menutup jalur pipa minyak di Irak karena permasalahan dengan wilayah otonomi Kurdi. Keterpilihan Erdogan akan memperpanjang konsensi mengenai ekspor minyak itu. Itu juga menunjukkan faktor Kurdi akan menjadi variabel politik luar negeri Turki di kawasan.

Terlepas dari urusan para elite, sebagian besar masyarakat sipil muslim di kawasan Timur Tengah tetap lebih mengharapkan Erdogan karena beberapa hal. Di bawah pemerintahan Erdogan, Turki menjadi negara aman untuk pariwisata, investasi, dan tempat tinggal. Pembelaan terhadap Palestina yang esensial bagi masyarakat Islam dan Arab juga menjadi faktor ketertarikan.

Bagaimanapun, hubungan Turki dan negara-negara Timur Tengah layaknya tiang penyangga yang di antaranya masih menyisakan rongga. Di satu sisi, baik Turki maupun negara-negara di kawasan sama-sama ingin mempertahankan hubungan positif, tetapi di sisi lain tiap pihak sama-sama tetap membuka ruang untuk potensi bermanuver.

 

Soft power

Salah satu keberhasilan manuver Erdogan yang barangkali akan dipertahankan bagaimanapun kondisi pascapemilu ialah penggunaan soft power terhadap negara-negara middle power, seperti Indonesia dan banyak negara Afrika. Banyak pendekatan soft power Turki, seperti agama, diplomasi, pendidikan, dan kebudayaan. Pendekatan itu lebih autentik jika dibandingkan dengan pendekatan koersif dan pragmatis ke Barat atau negara-negara Timur Tengah.

Keterpilihan Erdogan bagi banyak negara mayoritas muslim, seperti Indonesia, akan menjadi poin plus bagi penguatan hubungan bilateral. Kesamaan identitas akan menjadi narasi pembuka bagi hubungan lanjut di antara kedua negara. Karakter itu yang kurang dimiliki pesaing Erdogan, Kilicdaroglu.

Pendekatan itu cukup efektif dalam penguatan hubungan Turki dengan negara-negara middle power. Dengan Indonesia, misalnya, hubungan kerja sama sebelum era Erdogan cenderung minim. Sejak keterpilihan Erdogan sebagai perdana menteri, lalu presiden, kunjungan antarpemimpin tertinggi kedua negara semakin intens. Begitu pula baik di tingkat menteri maupun stakeholder yang lain.

Secara khusus, sejak 2011, Indonesia dan Turki meluncurkan Joint Declaration Indonesia-Turkey: Towards an Enhanced Partnership in a New World Setting sebagai bentuk komitmen meningkatkan hubungan politik-keamanan, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Kedua negara juga tengah merampungkan proses negosiasi Indonesia-Turkey Comprehensive Economic Partnership Agreement (IT-CEPA). Seperti yang dicatat Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Ankara, dalam konteks ASEAN, Indonesia mendukung Turki sebagai ASEAN sectoral dialogue partner.

Hal serupa juga terjadi di Afrika. Selama dua dekade, Turki membuka banyak perwakilan baru di negara-negara Afrika. Perwakilan-perwakilan itu menjadi katalisator bagi peningkatan hubungan keduanya. Dimulai pada 2005, Turki memperingatinya sebagai Tahun Afrika, kemudian berbalas pada 2008 Uni Afrika mengakui Turki sebagai mitra strategis.

Pada 2014, Turki dan Uni Afrika menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi. Pendirian sekolah-sekolah Yayasan Maarif, Imam-Hatip, dan Yunus Emre juga berlangsung masif di negara-negara Afrika. Bahkan secara khusus, Turki merestorasi Pulau Suakin untuk tempat wisata orang-orang Afrika, dengan alasan diplomatis sebagai perlindungan terhadap pelestarian sejarah Turki.

Hasil pemilu Turki tidak akan mengubah hubungan soft power itu secara berarti. Hubungan yang autentik itu justru bergerak melampui negosiasi-negosiasi formal, mendorong penyelesaian konflik melalui pesan-pesan damai, dan komunikasi antarbudaya yang lebih intens. Diaspora Indonesia di Turki, misalnya, telah menunjukkan pengaruh mereka melalui perkawinan, perdagangan, dan aktivitas keagamaan.

Organisasi-organisasi keislaman Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan HMI, di Turki mulai menunjukkan keaktifan dan pengaruh mereka untuk hubungan kedua negara. Bila tren itu terjaga dan ditingkatkan pada era baru Turki, bukan tidak mungkin kedigdayaan Turki akan naik kelas.

 

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat