visitaaponce.com

Indonesia Darurat Krisis Iklim

Indonesia Darurat Krisis Iklim
Ilustrasi MI(MI/Duta)

SORE menjelang magrib, tak terlihat anak-anak berlari gembira bermain sepak bola di desa pesisir itu. Wajah para orangtua pun murung bersamaan dengan matahari tenggelam. Selama bertahun-tahun, desa itu dipenuhi kekhawatiran yang berulang; rumah mereka tergenang banjir rob.

Warga pesisir Demak, Jawa Tengah, setiap hari terpaksa berjibaku menghadapi abrasi laut. Efek turunannya pun tak main-main. Mulai terpaksa membeli air bersih dengan harga tinggi sampai pada titik keputusasaan menjual tanah dengan harga yang sangat rendah. Layaknya air laut yang menggenangi rumah mereka setiap sore, harapan-harapan mereka kerap tenggelam dalam ketidakpastian.

Kami bersyukur bisa bertemu langsung dan mendengar harapan warga pesisir Demak saat melakukan tirakat. Perjalanan tirakat itu untuk mendengar, menyerap, dan merasakan kondisi terkini yang ada di masyarakat. Ada beragam masalah yang dirasakan warga. Tak hanya pesisir Demak, pulau-pulau kecil sepanjang wilayah Kepulauan Riau, Miangas, sampai selatan Borneo nyaris tenggelam.

Tercatat lebih dari 80 pulau terdepan terancam tenggelam karena kecepatan kenaikan air laut. Ini bukan sekadar fenomena alam, ini mengancam kedaulatan negara karena konsep kedaulatan kita diukur dari pulau-pulau terdepan yang berbatasan dengan negara lain.

Secara hitungan matematis, jumlah warga di pulau terdepan tak sebanyak di pulau-pulau besar. Namun, Republik ini didirikan bukan hanya untuk tempat-tempat yang padat penduduk. Republik ini didirikan untuk siapa saja yang ada di ibu pertiwi. Jadi, jangan menganggap lumrah kesulitan warga pesisir, pembiaran semacam ini harus dihentikan. Akar masalahnya jelas nyata dan menjadi salah satu tantangan terbesar saat ini; krisis iklim.

 

Target tinggi, inkonsisten di realisasi

Sudah saatnya kita dengan tegas menyebut bahwa kondisi saat ini bukan lagi perubahan iklim, melainkan krisis iklim. Kuncinya ada pada kata 'krisis'. Selama ini, istilah 'perubahan iklim' hanya jadi dalih bahwa permasalahannya belum terjadi, dianggap sebagai problem masa depan. Padahal, Indonesia termasuk negara yang sangat rentan terkena dampak krisis iklim.

Beragam komitmen penyelesaian krisis iklim sudah dibuat dengan target tinggi. Sayangnya pencapaiannya belum setinggi yang diharapkan. Environmental Performance Index (EPI) Indonesia berada di klasemen bawah, posisi 164 dari 180 negara. Angka itu tidak hanya mencerminkan performa yang rendah, tetapi menjadi cermin buram bahwa penyelenggara negara belum memprioritaskan dan menghadirkan kualitas hidup yang baik bagi warganya.

Statistik itu tecermin di wajah warga pesisir Demak yang huniannya tenggelam, tatapan murung petani yang gagal panen karena curah hujan tak menentu, juga kegundahan komunitas adat yang hutannya direbut atas nama pembangunan.

Sayangnya, ketika masalah krisis iklim terpampang nyata di depan mata. Saat pulau-pulau terdepan rawan tenggelam, pun daerah pesisir terancam abrasi, kebijakan yang diambil justru berkebalikan, yakni dengan mengizinkan ekspor pasir laut. Target yang tinggi nyatanya tak senada dengan kebijakan yang sarat inkonsistensi.

Kita perlu jernih mengakui bahwa penyebab utama krisis iklim adalah manusia. Maka, fokus solusinya dengan mengelola interaksi manusia dengan alam.

Bersyukur, ikhtiar menghadirkan solusi krisis iklim sudah kita rintis di Jakarta. Dampak krisis iklim sifatnya multisektor, maka kita perlu menghadirkan solusi yang komprehensif. Fokusnya pada transportasi yang terintegrasi, memperbaiki tata kelola lingkungan, dan memenuhi kebutuhan dasar warga. Secara konsisten, gagasan itu terus kita kembangkan agar skala dampaknya makin membesar.

Paradigma transportasi konvensional yang mengutamakan kendaraan pribadi kita ubah dengan memprioritaskan transportasi umum terintegrasi. Hasilnya pada 2021, jangkauan wilayah transportasi umum yang andal naik 2 kali lipat sehingga jumlah penumpang Trans-Jakarta melebihi angka 1 juta penumpang per hari. 

Perspektif membangun sistem transportasi tak hanya untuk lingkungan, dampaknya juga terasa secara sosiologis. Sistem transportasi umum di perkotaan tidak sekadar alat untuk memindahkan orang dari satu tempat ke tempat lainnya. Membangun transportasi umum berarti membangun rasa kebersamaan dan kesetaraan untuk menyatukan warga.

Mobilitas yang sehat juga didukung dengan memprioritaskan pejalan kaki dan pesepeda, membangun 265 km trotoar dan 103 km jalur sepeda. Tak hanya mobilitas, kita juga berupaya mengakselerasi hak dasar warga melalui penyediaan air bersih, pengelolaan limbah, sampai ruang terbuka hijau. Berkat kolaborasi banyak pihak, kita berhasil membangun dan merevitalisasi 428 taman dan 48 hutan kota. Dampaknya 91% warga kini hanya berjarak 800 meter dari taman kota.

Jangan lihat trotoar, jalur sepeda, dan taman hanya sebagai infrastruktur fisik semata. Fasilitas-fasilitas inklusif semacam itu memungkinkan warga antarkelas sosial untuk saling berinteraksi sehingga bisa lebih guyub.

Dengan menyadari bahwa solusi krisis iklim perlu berkelanjutan, inisiatif-inisiatif yang ada dilembagakan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 31/2022 mengenai Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Provinsi DKI Jakarta.

Jakarta berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 30% pada 2030. Alhamdulillah, melalui beragam ikhtiar yang kami jalankan, pada 2020 emisi gas rumah kaca sudah berkurang sampai 26%. Angka-angka itu bukan sekadar rentetan statistik dalam laporan kerja, angka-angka itu hilirnya pada peningkatan kualitas hidup warga lewat kondisi lingkungan hidup yang lebih sehat.

 

Menguatkan kolaborasi dan diplomasi

Ketika membicarakan krisis iklim, kerap kali hanya berhenti sebagai isu yang menarik diperbincangkan tapi luput dikerjakan. Dalih yang sering kali muncul, isu ini baru layak dikerjakan setelah isu-isu lainnya selesai dibereskan. Alasan semacam itu sama sekali tak bisa diterima.

Yang paling terdampak dari krisis iklim adalah masyarakat miskin dan rentan. Warga di pesisir Demak dan pulau terdepan Republik ini harus menanggung dampak ekonomi yang begitu besar karena tempat tinggalnya tenggelam. Solusi atas krisis iklim justru harus jadi prioritas karena menyangkut kepentingan jutaan warga rentan.

Yang kita butuhkan dalam solusi krisis iklim saat ini adalah keberpihakan, bukan malah menjadikannya pintu masuk menitipkan kepentingan.

Hari-hari ini, kita sering diajak menormalisasi ketika pelaku bisnis juga bertindak sebagai regulator. Contoh nyatanya ada di depan mata, memberikan subsidi untuk mobil listrik pribadi yang hanya bisa dinikmati segelintir pihak. Padahal, seharusnya memprioritaskan ekspansi dan elektrifikasi transportasi massal yang dampaknya bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat.

Saat krisis iklim hanya jadi kemasan untuk meraup keuntungan, maka ruang mewujudkan keadilan sosial disingkirkan. Yang kita butuhkan evidence based policy, bukan collusion based policy. Alih-alih negara hanya menjalankan perspektif konvensional sebagai administrator, kita perlu mengajak warga untuk berkolaborasi melahirkan banyak problem solver. Negara tak akan bisa menyelesaikan masalah krisis iklim sendirian. Kuncinya dengan kolaborasi dan diplomasi.

Keliru jika berpikir ada solusi tunggal yang bisa jadi obat untuk mengatasi krisis iklim di berbagai daerah. Pendekatannya perlu kontekstual, seperti membuat baju di penjahit, tak ada satu ukuran untuk semua karena disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.

Misalnya, solusi terkait hutan, tak bisa semuanya dipukul rata. Masyarakat adatnya perlu diajak duduk bersama. Berikan hak masyarakat adat untuk bicara mewakili dirinya sendiri. Segala bentuk kriminalisasi masyarakat adat harus dihentikan. Masyarakat adat harus dilindungi, bukan dipersekusi.

Selama mengemban amanah di ibukota, pintu kolaborasi dengan masyarakat lokal sudah kami mulai. Ambil contoh, kolaborasi dengan komunitas Ciliwung Condet yang menjadikan manusia bagian dari alam dengan merawat ekosistem biologis di sepanjang sungai Ciliwung. Yang mereka bangun bukan sekadar infrastruktur fisik batu beton untuk memagari tepian sungai, yang mereka bangun ialah ekosistem sosial.

Kolaborasi di tingkat lokal perlu dibarengi dengan diplomasi dengan komunitas internasional. Krisis iklim ialah masalah yang melampaui batasan negara, ini masalah yang tidak dibatasi oleh wilayah teritorial. 

Indonesia harus lebih aktif mendorong percepatan agenda keadilan iklim. Dalam ruang-ruang diplomasi, kita harus ikut menentukan arah penyelesaian krisis iklim, tak sekadar diarahkan.

Selama ini pendekatan diplomasi yang dijalankan cenderung transaksional. Pendekatan usang melihat dunia luar sekadar mitra transaksional perlu kita tinggalkan. Kita tak bisa sekadar menggadaikan kekayaan alam untuk mendapatkan posisi tawar. Ketika hutan habis dibabat, pasir laut direlakan pergi, harga diri bangsa ini lama-lama terkikis.

Janji para pendiri Republik untuk 'menjaga ketertiban dunia' mutlak dipenuhi. Kita perlu lebih aktif menunjukkan komitmen dan berbagi pengalaman kita dalam penyelesaian krisis iklim sehingga Republik ini bisa berdiri sejajar dan jadi bahan pelajaran bagi komunitas dunia.

Diplomasi mewujudkan keadilan iklim sudah kami mulai di ibukota. Jakarta bukan hanya ibukota Indonesia, Jakarta ialah kota global.

Kami mendapat amanah untuk menjadi Wakil Ketua Komite Pengarah dalam C40 (Jaringan kota-kota besar dunia yang berkomitmen mengatasi krisis iklim). Dalam menjalankan amanah itu, kami berhasil menggerakkan kota-kota di C40 untuk berkomitmen dan menandatangani kesepakatan mengenai target Nationally Determined Contribution

(NDC) dalam mitigasi krisis iklim.

Pada forum C40, kami menawarkan gagasan langsung kepada Sekjen PBB Antonio Guterres agar kota-kota di dunia bisa berperan aktif dalam solusi krisis iklim. Kami mendorong gagasan agar PBB bisa menyiapkan skema dukungan yang efektif antara level nasional dan subnasional. Tujuannya agar dukungan dari komunitas internasional untuk level nasional juga bisa dijalankan secara efektif pada skala yang lebih kecil di provinsi ataupun kota.

Saat Jakarta berhasil menurunkan emisi karbon, bukan hanya tanggung jawab pada warga ibukota, tapi dampaknya juga dirasakan dunia.

 

Bersama generasi kiwari

Di atas kertas, pemerintah mencanangkan mitigasi krisis iklim dengan target angka yang ambisius. Semestinya pelaksanaannya juga harus dikerjakan dengan serius. Krisis iklim tak akan selesai jika dikerjakan hanya sebagai business as usual. Butuh gagasan baru untuk menangani krisis iklim, gagasan yang kita ikhtiarkan adalah keadilan iklim.

Keadilan iklim beranjak dari janji mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial tak akan terwujud jika penanganan krisis iklim tak berpihak pada warga yang rentan. Melalui keadilan iklim, fokus kita bukan hanya ekosistem ekonomi, melainkan mewujudkan ekosistem sosial.

Mewujudkan ekosistem sosial berarti ekonomi dan ekologi tak bisa saling mematikan, melainkan jalan berdampingan. Menghadapi krisis iklim layaknya mengayuh sepeda; harus terus maju, tak bisa mundur. Tiap kayuhannya pun harus stabil. Itu mengirimkan pesan bahwa ekonomi dan ekologi bisa berjalan beriringan.

Kami berikhtiar mendorong keadilan iklim melalui beberapa gagasan; pertama, mengarusutamakan perspektif ekosistem sosial dalam pembangunan. Cara-cara lama pembangunan yang mengorbankan lingkungan perlu dihentikan. Pembangunan wajib berkeadilan iklim.

Kedua, saat ada pihak-pihak tak bertanggung jawab yang mencederai keadilan iklim, penegakan hukum mutlak dilakukan. Tak ada ruang bagi para mafia yang mengeksploitasi lingkungan. Keadilan iklim ialah perjuangan yang sangat panjang, lintas generasi. Kita perlu mewariskan bumi yang lestari, bukan bom waktu untuk generasi kiwari.

Komitmen generasi kiwari terhadap penyelesaian krisis iklim sangat layak diapresiasi. Maka, gagasan ketiga yang ingin kita dorong melampaui program, melainkan gerakan bersama. Gerakan berarti berkolaborasi dengan generasi kiwari untuk memiliki masalah dan menjadi bagian dari solusi. Bentuk solusinya bisa beraneka ragam, esensinya memberikan ruang generasi kiwari untuk menjadi bagian penting mewujudkan keadilan iklim.

Yang kita inginkan kepedulian terhadap lingkungan bukan sekadar menjadi bentuk aktivisme sebagian kelompok, kepedulian lingkungan perlu dinormalisasi jadi kewajaran baru dan bagian gaya hidup semua orang.

Saatnya memberikan ruang kolaborasi pada anak muda untuk menghadapi krisis iklim. Semakin luas ruang itu diberikan pada generasi kiwari, semakin banyak pula terobosan dan kebaruan solusi yang akan muncul untuk menghadapi krisis iklim. Melalui tulisan ini kami ingin mengundang setiap anak muda untuk berbagi gagasan menghadapi krisis iklim. Izinkan kami merajut kebersamaan dan berkolaborasi menghadapi problem penting generasi kiwari.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat