visitaaponce.com

Urgensi Pelarangan Iklan Rokok dalam RUU Omnibus Kesehatan

Urgensi Pelarangan Iklan Rokok dalam RUU Omnibus Kesehatan
(DOK.PRI)

“Semua orang tahu merokok dapat menyebabkan penyakit serius dan adiktif. Tidak ada keraguan bahwa pilihan terbaik yang dapat diambil oleh perokok adalah berhenti merokok dan menghindari nikotin sepenuhnya.” 

Petuah bijak tersebut bukanlah bunyi iklan layanan masyarakat. Nasehat keras tersebut berasal dari situs web Unsmoke Your World, sebuah inisiatif yang terafiliasi raksasa industri rokok global Philip Morris International.

Pertanyaannya: mengapa orang masih terus mengkonsumsi rokok meski produsen rokok sendiri menganjurkan untuk berhenti?

Masyarakat dunia dengan kesadaran kesehatan yang terus beringsut ke arah lebih baik, semakin hari semakin meninggalkan rokok. Sebagian bahkan berkomitmen menjadikan rokok sebagai bagian dari masa lalu (a thing of the past). Selandia Baru, misalnya menetapkan aturan yang melarang keras semua anak yang lahir setelah 2008 membeli rokok seumur hidupnya.

Namun situasi di Indonesia tampak jauh dari menggembirakan. Di tengah dunia yang diterangi kesadaran baru yang semakin bertumbuh, kesadaran yang mengarusutamakan kepentingan kesehatan dan keberlanjutan lingkungan, situasi di Indonesia justru semakin buram ditabun asap rokok yang kian menebal. 

Rilis Global Adults Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan dalam kurun 2011 hingga 2021 jumlah perokok bertambah setidaknya 8 juta orang. Menurut data Nielsen, pada 2021 volume penjualan rokok nasional meningkat 8,8%, kemudian kembali tumbuh sebesar 3,7% pada 2022.

Di tengah hasrat mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, Indonesia harus menelan kenyataan pahit sebagian pemuda cenderung memiliki perilaku berisiko yang berakibat pada terjadinya cedera, penyakit, dan kurangnya produktivitas. 73,3% pria usia produktif (25-40 tahun) adalah perokok aktif, hanya 2 dari 10 pria muda di republik ini yang bukan hamba Tuhan Sembilan Senti. 

Berdasar Profil Statistik Kesehatan  2021, sebesar 24,68 persen anak-anak tergolong rentan mempunyai keluhan kesehatan dan mengakibatkan terganggunya kegiatan sehari-hari.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 mentargetkan penurunan prevalensi perokok anak dari 9,1% menjadi 8,7%, namun berbagai data mengindikasikan target tersebut tampak jauh dari tercapai. Survey nasional Indonesia Institute for Social Development (IISD) yang dilakukan pada akhir 2022 mendapati 10,67% mengaku sebagai perokok aktif. 

‘Sihir’ Iklan

Salah satu faktor determinan penyebab darurat rokok sedemikian mencemaskan adalah ‘sihir’ iklan. Berbagai evidensi menunjukkan iklan adalah salah satu faktor yang mempunyai pengaruh signifikan menstimulasi anak muda merokok. Dalam riset Indonesia Institute for Social Development (IISD), 71% Perokok Pelajar menyatakan bahwa iklan rokok itu kreatif/inspiratif, merangsang mereka untuk merokok.

Iklan rokok menjadi sarana industri untuk mempertahankan struktur sosial dan politik yang ada, dengan memperkuat norma dan citra yang melekat pada perilaku merokok. Gempuran iklan yang manipulatif-atraktif mengepung kesadaran subliminal publik, membentuk fantasi sebagaimana yang diinginkan industri sehingga tumbuh hasrat konsumen untuk terus menghisapnya.

Iklan rokok bukan semata-mata promosi produk, yang dipromosikan sejatinya malah bukanlah batangan rokok itu sendiri, melainkan citra ilusif yang diasosiasikan dengan kesan-kesan yang menarik, maskulin, dan keren. Seolah merokok akan memberikan konsumen kreativitas, keberanian, atau kebebasan yang diidamkan. 

Romantisasi citra rokok tersebut mengobarkan hasrat konsumen untuk mengkonsumsi rokok. Ia mengaburkan realitas dan mengarahkan perhatian pada aspek-aspek positif yang diidealisasikan, sementara mengabaikan sisi negatif dan potensi bahayanya.

Gempuran iklan rokok yang massif dan intens, mengadopsi Zizek, bahkan mempunyai kekuatan membangun ikatan emosional dan menyusup menjadi bagian dari identitas individu itu sendiri. Sehingga merokok sampai batas tertentu seakan menjadi bagian integral dari cara konsumen memandang dan mengartikan diri mereka sendiri, dan menjadi sulit bagi individu untuk melepaskan diri dari kebiasaan tersebut.

Pelarangan Iklan

Sejatinya RPJMN 2020-2024 dalam Arah Kebijakan dan Strategi poin 3.4. telah secara tegas merekomendasikan pelarangan total iklan dan promosi rokok. Sayangnya Menkes tidak cukup upaya untuk mewujudkan rekomendasi tersebut. Potensi kegagalan target prevalensi anak yang dipatok RPJMN 2020-2024 adalah buah dari sikap Menkes yang mengabaikan rekomendasi tersebut.

Pembahasan RUU Omnibus Kesehatan yang proses legislasinya tengah berlangsung di DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia) sejatinya merupakan momentum emas bagi Menkes untuk menebus kegagalannya dengan menetapkan larangan Iklan, Promosi, dan Sponsor. Nahasnya, dalam DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) yang disusun Kementerian Kesehatan justru sama sekali tidak menyertakan klausul pengaturan Iklan, Promosi, dan Sponsor rokok.

Dalam penetapan rokok sebagai produk yang mengandung zat adiktif, dan selanjutnya ditetapkan sebagai barang kena cukai yang pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, sebagaimana diatur UU no 39 tahun 2007, sejatinya implisit bahwa konsumen harus dalam kesadaran penuh dan optimal untuk mengkonsumsinya. Sementara gempuran iklan rokok mendistorsi pemahaman publik, terutama pada kelompok rentan (remaja dan anak-anak). Kesadaran publik yang terjerat dalam ‘sihir’ iklan tersebut membuat mereka rela mengabaikan segala dampak buruk yang terkandung dalamnya.

Barangkali kita perlu menengok kembali tujuan pembangunan kesehatan sebagaimana amanah pasal 3 UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu, untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. 

Iklan rokok nyata-nyata merusak kesadaran, menciutkan kemauan, dan melemahkan kemampuan hidup sehat, hambatan bagi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Dengan demikian, iklan rokok sejatinya merupakan ancaman bagi terwujudnya tujuan pembangunan kesehatan. Jika benar misi utama Menkes adalah untuk mewujudkan tujuan pembangunan kesehatan, maka melarang iklan rokok adalah obligasi moral sekaligus imperatif undang-undang.
 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat