visitaaponce.com

Problematika Aturan Pengelolaan Pasir Laut dan Alternatif Solusinya

Problematika Aturan Pengelolaan Pasir Laut dan Alternatif Solusinya
(Dok. Pribadi)

INTENSITAS pencarian berita (news search) pernah diriuhkan oleh pemberitaan tentang ekspor pasir laut. Keriuhan tentang isu ini terekam oleh Google trend pada periode 27 Mei-23 Juni 2023.

Data yang diakses pada 27 Juni 2023 pukul 08.47 Wita menunjukkan bahwa pada kategori news, rata-rata pencarian terkait frasa 'ekspor pasir laut' memperoleh 16 pencarian, frasa 'pajak karbon' memperoleh 11 pencarian, dan frasa 'cawe-cawe' menghasilkan 8 pencarian (https://trends.google.com/trends/explore?date=today%201-m&geo=ID&gprop=news&q=ekspor%20pasir%20laut,cawe-cawe&hl=en-US).

Maksud uraian artikel kali ini ialah untuk menyajikan data betapa tidak efektifnya aturan dalam mengatasi maraknya ekspor pasir laut (sedimen) guna menunjukkan bukti tentang kebijakan yang ampuh untuk menghentikan sementara aktivitas ekspor pasir (sedimen). Selain itu, untuk menekankan pentingnya harmonisasi antarsubstansi suatu aturan, termasuk kelengkapan informasi yang komprehensif dalam pembuatan suatu aturan terkait pengelolaan pasir laut.

 

Bukti pelanggaran 

Ekspor pasir laut bersyarat (conditional) yakni jika kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi, termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimen Laut, yang ditetapkan 15 Mei 2023. Hal ini segera mengundang reaksi masyarakat karena peraturan tersebut kabarnya bertentangan dengan peraturan 'pelarangan ekspor pasir laut' (Keppres No 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut). Benarkah keppres ini efektif melarang aktivitas ekspor pasir laut?

Secara redaksional dan eksplisit, Keppres No 33 Tahun 2002 itu menyebutkan bahwa ekspor pasir laut hanya dapat dilarang setelah mempertimbangkan usulan Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut (Pasal 8 ayat 2). Patut dicatat bahwa kata 'larang' hanya disebut satu kali pada keppres ini. Jumlah kata ini jauh lebih sedikit daripada jumlah kata 'ekspor' pada peraturan tersebut.

Tidaklah mengherankan jika ekspor pasir laut ternyata tetap marak dilakukan meski peraturan tahun 2002 itu ada. Selain peraturan ini, pemerintah juga mengeluarkan lagi peraturan terkait pasir laut yakni Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 11/MPP/KEP/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Kedua aturan ini ternyata tak mempan menghentikan kegiatan tersebut berdasarkan informasi berikut ini.

Ada dua sumber data yang membuktikan bahwa ekspor pasir laut masih berlangsung meskipun sudah ada sejumlah peraturan yang melarangnya. Pertama, sajian data yang dicantumkan dalam tulisan R Mustajab (2023) pada https://dataindonesia.id/sektor-riil/detail/melihat-data-ekspor-pasir-laut-yang-sempat-disetop-sejak-2002. Data ini merujuk data Badan Pusat Statistik. Penurunan ekspor pasir laut yang signifikan ketimbang tahun-tahun sebelumnya barulah terjadi sejak 2007.

Kedua, data yang bersumber dari OEC (The Observatory of Economic Complexity) pada situs https://oec.world/en/profile/hs/sand. Data tahunan penerimaan dari hasil ekspor pasir laut dari Indonesia ini (dalam juta dolar AS) menunjukkan tiga buah puncak (peaks) senilai 63,5 (1997), 60,6 (2001), dan 39 (2006). Penerimaan Indonesia dari ekspor pasir laut sejak 2002 ialah 27,3 (2002), 15,5 (2003), 14,7 (2004), 16,6 (2005), 39 (2006), dan 7,5 (2007). Pada kurun waktu 2008-2018, penerimaan Indonesia dari ekspor pasir tak terdeteksi lagi pada gambar yang menyajikan data untuk 10 eksportir pasir di wilayah Asia.

MI/Duta

 

Pentingnya keteguhan 

Apa yang menyebabkan ekspor pasir laut mengalami mati suri pada periode 2008-2018? Di periode ini ada dua pemerintahan yang berbeda. Periode kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono/SBY (2004-2014) dan periode kepresidenan Joko Widodo (2014-2024). Terkait ekspor pasir laut, pemerintahan SBY mengakhiri masa jabatannya dengan khusnul khatimah– ekspor pasir laut dihentikan.

Penghentian ekspor pasir laut ini diucapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada 2007. Pelarangan ini tampaknya didasarkan pada pengalaman pahit kehilangan dua pulau (Nipah dan Sebait) dan tingginya ongkos pemulihan kedua pulau itu ketimbang pendapatan negara yang diperoleh dari hasil ekspor pasir laut (https://www.antaranews.com/berita/63007/numberi-akui-dua-pulau-yang-hilang-akibat-ekspor-pasir-laut).

Larangan ekspor pasir laut ini kembali ditegaskan oleh sang Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut pada 2012 seusai rapat kerja dengan Komisi IV DPR (https://www.minerba.esdm.go.id/berita/minerba/detil/20121013-ekspor-pasir-laut-tetap-dilarang). Konsistensi penerapan aturan ini berlangsung hingga periode pertama kepresidenan Joko Widodo. Hal inilah yang mampu mematisurikan kegiatan ekspor pasir laut pada periode 2008-2018.

Namun, sesuai data OEC di atas, penerimaan dari ekspor pasir laut ini ternyata muncul kembali pada periode kedua kepresidenan Joko Widodo. Aktivitas ekspor pasir laut pada periode ini bahkan mengalami loncatan peningkatan yang amat signifikan, yakni di 2019 (US$6,9 ribu), 2020 (US$19,9 juta), dan 2021 (US$53,1 juta).

Padahal saat itu sudah ada aturan Permendag No 45 Tahun 2019 tentang barang yang dilarang diekspor termasuk aneka jenis pasir (Lampiran III), dan eksportir yang melanggar akan terkena sanksi (Pasal 5). Ekspor pasir laut kita ternyata hanya mengalami mati suri sejenak lalu hidup lagi. Ini terjadi jauh sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2023.

 

Upaya harmonisasi 

Peraturan 2023 tentang pengelolaan sedimen laut ini mesti segera diharmonisasikan terlebih dahulu sebelum dilaksanakan. Mengapa? Meskipun aturan ini terbaca punya maksud baik yakni ingin memperbaiki kapasitas (carrying capacity) ekosistem laut dan pelayaran (Pasal 2 ayat 5) karena lautnya akan menjadi semakin dalam melalui pembersihan sedimennya (Pasal 6 ayat 1) dengan menggunakan kapal isap secara eksklusif (Pasal 7 ayat 3), tapi aturan ini mengandung sedikitnya dua hal kontroversial.

Pertama, pengelolaan sedimen ini mengecualikan pelabuhan dan terminal khusus (Pasal 3 ayat 1 butir a) dan jalur pelayaran (Pasal 3 ayat 1 butir c). Tujuan aturan ini sebenarnya mulia, yakni dapat memperbaiki daya tampung lingkungan pelabuhan dan jalur pelayaran. Namun, ternyata kedua lokasi ini malah tak disentuh oleh upaya pengelolaan sedimen di dasar laut mereka.

Kedua, penggunaan kapal isap diklaim memenuhi kriteria sarana ramah lingkungan (Pasal 3 ayat 2 butir a-d). Proses pembersihan sedimen dengan kapal isap terbukti tak memenuhi kriteria di atas berdasarkan sejumlah hasil riset, antara lain ulasan artikel Todd dkk (2015) pada ICES Journal of Marine Science volume 72, issue 2 dan artikel Carse dan Lewis (2020) pada jurnal WIREs Water volume 7, issue 6, e1485 serta Open-File Report US Geological Survey 2021–1062 oleh Miselis dkk (2021) berjudul Impacts of Sediment Removal From and Placement in Coastal Barrier Island Systems.

Hal yang mesti diperhatikan dengan saksama di saat perencanaan (Pasal 5 ayat 3 (b) pada Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2023) adalah rapor buruk penambangan pasir laut. Degradasi lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat akibat aktivitas penambangan pasir laut pada sejumlah lokasi yang berbeda di Indonesia.

Informasi tentang hal ini dapat dijumpai antara lain pada artikel Husrin dkk (2014) tentang kasus komunitas Perkampungan Lontar Serang Banten dalam Bulletin of the Marine Geology, volume 29, no 2. Artikel Doloksaribu dkk (2020) tentang kasus di Pulau Laut Deli Serdang dalam IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 454, 012086. Kemudian artikel Anwar dkk (2023) tentang kasus di pesisir Takalar, Sulawesi Selatan, dalam IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 1134, 012015.

Dengan adanya sejumlah laporan riset tentang dampak lingkungan dari aktivitas pengelolaan sedimen yang disebutkan di atas, pemerintah sebaiknya melengkapi perihal aspek pengendalian sedimen (Bab III pada Peraturan Pemerintah (PP) No 26 Tahun 2023) dengan memasukkan sejumlah opsi, misalnya penggunaan teknik pengelolaan sedimen yang dapat mengurangi dampak seperti artikel yang dipublikasikan oleh Wenger dkk (2018) pada jurnal Conservation Letters volume 11, issue 5, dan penggunaan metoda yang tidak saja dapat mengurangi kebutuhan pengerukan sedimen, tapi juga dapat memperbaiki kualitas sedimen yang telah terkontaminasi (Polrot dkk (2021) pada jurnal Environmental Pollution (volume 289, 117853). Hal ini dapat mengimbangi dominasi jumlah pasal yang menyangkut aspek pemanfaatan sedimen pada aturan pemerintah 2023 tersebut.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat