visitaaponce.com

Pengobatan dan Vaksinasi Antraks

Pengobatan dan Vaksinasi Antraks
(Dok. Pribadi)

DALAM beberapa waktu terakhir ini ramai dibicarakan kejadian penyakit antraks di daerah Gunungkidul, dan bahkan sudah memakan korban jiwa. Sudah ada pula penjelasan resmi dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian, juga tentunya upaya pengendalian kini sedang berjalan di lapangan, termasuk pengobatan dan mungkin vaksinasinya.

Kita semua amat berharap agar kejadian antraks kali ini dapat segera ditanggulangi sepenuhnya, juga dikendalikan, agar jangan terjadi lagi korban jiwa di waktu yang akan datang. Ilmu pengetahuan dan pengalaman selama ini menunjukkan, penularan antraks bermula dari binatang yang sakit, yang kemudian malah dipotong dan dikonsumsi manusia. Hal inilah yang perlu terus diberi pemahaman kepada masyarakat luas agar jangan terus berulang kejadian, dan bahkan kematian pada manusia seperti sekarang ini.

Antraks (anthrax) merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh bakteri yang bernama Bacillus anthracis. Antraks umumnya menyerang hewan herbivora seperti sapi, kambing, domba, dan lainnya, serta dapat menular ke manusia. Penyakit ini bersifat zoonosis, yang berarti dapat ditularkan dari hewan ke manusia.

Bakteri penyebab antraks, apabila terpapar udara, akan membentuk spora yang sangat resisten terhadap kondisi lingkungan dan bahan kimia termasuk disinfektan tertentu, serta dapat bertahan di dalam tanah sehingga kadang-kadang antraks juga disebut ‘penyakit tanah’. Bakteri ini juga dapat menghasilkan toksin yang kemudian menimbulkan berbagai gejala dan bahkan dapat pula jadi berbahaya bagi kesehatan pada keadaan tertentu.

Manifestasi penyakitnya di manusia ada tiga jenis. Pertama ialah antraks kulit, merupakan jenis antraks yang paling sering terjadi, tapi tidak berbahaya. Kata antraks memang bermakna ‘arang’ dalam bahasa Yunani, dan istilah ini digunakan karena kulit para korban akan berubah hitam.

Jenis kedua ialah antraks pencernaan, yang biasanya terjadi akibat konsumsi bagian dari hewan yang terinfeksi. Gejala awalnya dapat tampak seperti keracunan makanan, yang kemudian dapat saja menjadi lebih buruk dengan keluhan nyeri perut hebat, mutah, dan diare.

Bentuk ketiga ialah antaks paru atau pernapasan, yang terjadi akibat paparan spora antraks dalam jumlah yang besar. Gejala awalnya dapat berupa seperti flu, tapi kemudian dengan cepat memburuk menjadi gangguan pernapasan, syok dan bahkan kematian. Pernah pula dilaporkan kejadian antraks lewat injeksi pada pengguna narkoba, serta kita sudah beberapa kali juga mendengar tentang kegiatan bioterorisme dengan antraks ini.

 

Pengobatan

Menurut WHO, pasien antraks perlu dirawat di rumah sakit dan diberikan antibiotik. Adapun pada mereka yang berpotensi terpapar spora antraks dan belum ada gejala, dapat diberikan pengobatan pencegahan (prophylactic treatment).

Pedoman dari Center of Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat menyampaikan bahwa antibiotik dapat mencegah merebaknya antraks pada seseorang yang sudah terpapar tapi belum bergejala. Antibiotik bekerja melalui dua cara, membunuh bakterinya atau membuat antraks tidak berkembang.

Dua jenis antibiotik yang dapat digunakan untuk menangani antraks ini ialah siprofliokasin (ciprofloxacin) dan doksisiklin (doxycycline), dan CDC Amerika sudah mengeluarkan emergency use instructions (EUI) untuk penggunaannya. Dua antibiotik ini juga digunakan sesudah seseorang terpapar bakteri/spora antraks atau post-exposure prophylaxis (PEP).

Dalam hal ini perlu diketahui bahwa spora antraks biasanya perlu waktu 1-7 hari untuk menjadi aktif, tetapi pada keadaan tertentu dapat saja spora berada di dalam tubuh manusia selama 60 hari dan baru kemudian jadi aktif. Karena itu, CDC Amerika mengatakan bahwa mungkin saja antibiotik dapat diberikan sampai 60 hari lamanya.

Karena antraks memang ditularkan dari hewan ke manusia, maka WHO menyebutkan bahwa pencegahan penyakit antraks pada hewan akan melindungi kesehatan manusia. Pemutusan rantai penularan merupakan kunci utama pengendalian antraks. Artinya, kalau diketahui bahwa potensi penularan masih terjadi, hal itu harus segera dieliminasi.

 

Vaksinasi

Menurut WHO, memang tersedia vaksin antraks untuk hewan dan manusia. Disebutkan bahwa penggunaan vaksin antraks untuk manusia terbatas dan diprioritaskan kepada mereka yang punya risiko tinggi terpapar.

Sejalan dengan itu, CDC Amerika Serikat menyebutkan bahwa memang tersedia vaksin antraks dalam bentuk anthrax vaccine adsorbed (AVA). Vaksin ini bukan berisi bakteri yang dilemahkan dan seseorang tidak akan mungkin malah jatuh sakit antraks karena divaksinasi. Seperti juga WHO maka CDC menyebutkan bahwa vaksin memang tidak diberikan kepada masyarakat luas.

Di Amerika Serikat, vaksin ini sudah disetujui otoritas pengawasan obat dan makanan setempat (Food and Drug Administration/FDA) untuk dua keadaan. Pertama, bersifat rutin untuk para pekerja yang berisiko terpapar (jadi belum terpapar). Kedua, diberikan kepada mereka yang diduga sudah terpapar atau dikenal sebagai post-event emergency use.

Di sana setidaknya ada tiga kelompok yang mungkin dikelompokkan sebagai petugas yang rutin berisiko terpapar dan boleh menerima vaksin. Yaitu, petugas laboratorium tertentu yang bekerja dengan spesimen antraks, sebagian mereka yang berisiko karena menangani hewan atau produk hewani, dan sebagian personel militer di Amerika Serikat.

Mereka perlu mendapat 5 suntikan vaksin antraks ke dalam otot (intramuskular) dalam kurun waktu 18 bulan, juga mendapat booster vaksin. Di sisi lain, pada 2015 FDA Amerika Serikat juga sudah menyetujui penggunaan vaksin sesudah seseorang diduga terpapar (post-event emergency use), katakanlah misalnya pada situasi bioterorisme dengan menggunakan antraks. Pada keadaan ini maka vaksin diberikan tiga kali dalam waktu 4 minggu, ditambah dengan pemberian antibiotik selama 60 hari.

Sebagai kesimpulan dapat disampaikan bahwa karena antraks adalah zoonosis dan bahkan juga ada sporanya di tanah, maka penanganannya harus melalui pendekatan one health, yang merupakan kerja bersama kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan.

Dapat disampaikan disini bahwa pada waktu Indonesia memegang Presidensi G-20 pada 2022 lalu, dihasilkan G-20 Lombok One Health Policy Brief. Tahun ini, ketika Indonesia memegang Keketuaan ASEAN maka juga berhasil dikeluarkan ASEAN Leader Declaration on One Health Initiative pada pertemuan pimpinan negara ASEAN di Labuan Bajo.

Dengan adanya kasus antraks sekarang ini dan peningkatan kasus rabies di berbagai daerah, maka kini merupakaan saat yang paling tepat untuk Indonesia benar-benar secara langsung menerapkan komitmen internasional yang sudah kita prakarsai di dua momen internasional yang Indonesia pimpin, yakni G-20 tahun lalu dan ASEAN tahun ini. Mari kita tunjukkan implementasi secara nyata kebijakan one health di lapangan, bukan hanya sejalan dengan kebijakan internasional, tapi juga yang lebih utama ialah demi kesehatan anak bangsa ini. Semoga.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat