visitaaponce.com

Membidik RPJPN 2025-2045 Perspektif Ekonomi

Membidik RPJPN 2025-2045: Perspektif Ekonomi
(Dok. Pribadi)

MAJELIS Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah selama Juli 2023 menggelar kelompok diskusi terpumpun (FGD) untuk mengkritisi dan pengayaan draf Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang telah disusun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas RI. Dalam FGD ini dibagi 6 cakupan pembahasan.

Sebagai koordinator komisi ekonomi, kami mengulas titik tekan pada milestone proyeksi dan kebijakan ekonomi dengan pelbagai implikasinya hingga menuju Indonesia Emas 2045. Tentu, RPJPN ini merupakan kelanjutan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025.

Dalam ulasan ini, kami ingin mengkritisi lebih awal tentang Visi RPJPN 2025-2045, yakni Negara Nusantara, berdaulat, maju, dan berkelanjutan. Visi itu mengalami deviasi dan distorsi jika merujuk pada visi dan misi abadi Negara Kesatuan RI, yakni Negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Negara yang dimaksud di sini adalah NKRI yang secara teritorial memiliki pengakuan internasional sebagai negara yang merdeka serta memiliki pemerintahan, kepala negara, konstitusi, dan kebijakan negara.

Sebagai negara kesatuan, maka kebijakan ekonomi ditangani oleh pemerintah. Sementara negara Nusantara, entitasnya abstrak dan melampaui entitas negara. Pertanyannya, apakah dalam milestone 2035-2039 (tahap ketiga), Indonesia akan melakukan ekspansi global, menganeksasi kembali ‘Nusantara’ terutama negara-negara jiran di kawasan ASEAN?

Selanjutnya, visi abadi Indonesia tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni Menjadi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Dalam kaitan pembangunan ekonomi ke depan, visi itu seharusnya menjadi imajinasi yang bisa dikonkretkan dalam konstitusi atau setiap regulasi turunannya.

Pembangunan sejatinya merupakan suatu proses perubahan bertahap dan simultan menuju arah yang lebih elok demi mencapai tujuan, mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera. Dalam implementasi cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia itu, maka setiap tarikan napas kebijakan ekonomi Indonesia merujuk pada ekonomi berbasiskan nilai-nilai Pancasila (ekonomi Pancasila) dan ekonomi yang berbasiskan nilai-nilai UUD 1945 (ekonomi konstitusi).

Dalam konteks ekonomi Pancasila, pentingnya kebijakan ekonomi didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan (etika/moralitas), kemanusiaan, persatuan (nasionalisme), demokrasi ekonomi, dan keadilan sosial. Tujuan ekonomi Pancasila sejatinya mewujudkan dan menegakkan keadilan sosial. Dalam draf RPJPN 2025-2045 dan dalam setiap kebijakan-kebijakan ekonomi nasional seyogianya dicantumkan dan diarahkan pada terciptanya keadilan ekonomi. Teringat pada Bung Hatta (1975), yang jauh hari telah memberikan pesan bahwa kedamaian hanya bisa tegak di atas keadilan sosial.

Sementara untuk ekonomi konstitusi didasarkan pada klausul dalam UUD 1945. Banyak pasal yang harus dijadikan landasan dalam RPJPN 2025-2045 ini. Di negara mana pun, konstitusi ekonomi merupakan perangkat peraturan tertinggi yang menjadi dasar setiap kebijakan ekonomi. Konstitusi ekonomi mengatur sejak soal penguasaan dan kepemilikan kekayaan sumber daya alam, hak milik perorangan, hingga peran negara dan perusahaan negara dalam kegiatan usaha.

Dalam Pasal 33 UUD 1945, misalnya, kebijakan ekonomi harus ‘disusun’ sesuai makna demokrasi ekonomi. Negara harus menyusun dan mendesain sistem kelembagaan. Wujud ‘ketersusunan’ ialah sebagai usaha bersama berdasarkan kebersamaan dan kekeluargaan. Karena itu, sangat tepat jika ‘ketersusunan’ ekonomi tidak diserahkan pada liberalisme pasar yang rakus, yang melahirkan penindasan, eksploitasi, dan penghancuran alam, tapi harus sengaja didesain (Swasono, 2010). Tentu, instrumen operasionalnya ialah koperasi. Koperasi, menurut Bung Hatta, memberikan tempat yang sama antara kaya dan miskin untuk saling bekerja sama. Hatta (1981), memimpikan agar dalam koperasi, mereka yang miskin harus dibela dan diberi kesempatan.

Sayang sekali, dalam draf RPJPN ini ‘pelit’ diulas tentang makna koperasi itu. Bahkan, di setiap perubahan rezim pemerintahan pun, nasib koperasi tetap sama. Maka, andai pemerintah ingin mengembangkan koperasi menjadi soko guru ekonomi ke depan, harusnya pelbagai masalah yang menghambat perkembangan koperasi itu diamputasi.

Dalam UU BUMN, misalnya, sangat jelas mendiskreditkan koperasi. Semua BUMN diwajibkan menjadi perseroan. Semua kebijakan secara penuh dibuat berada dalam kuasa presiden dan menteri BUMN. Coba andaikan dibalik, semua BUMN itu dikoperasikan, maka rakyat akan turut memiliki dan menikmati manfaatnya langsung dari aset BUMN yang besarnya Rp10.700 triliun. Koperasi di Amerika yang kita tuduh kapitalis saja diberikan porsi besar untuk mengelola ekonomi negara (Suroto, 2023).

 

Kebocoran anggaran

Satu hal yang juga kami soroti ialah tentang kebocoran anggaran dalam pelbagai pesona indikator ekonomi makro yang disuguhkan pada draf RPJPN 2025-2045 ini, misalnya indikator PMI (purchasing managers index), indeks daya beli, investasi langsung, neraca pembayaran, dan lainnya terlihat berjalan positif. Namun, satu hal yang selalu menggelayuti tubuh ekonomi Indonesia dan kurang disentuh dalam draf RPJPN 2025-2045 ini ialah penyakit entropi ekonomi. Adanya ekonomi biaya tinggi, masih besarnya pungutan resmi/tidak resmi, korupsi makin mengganas dan masif, kebocoran anggaran negara, ekonomi rente, dan seterusnya merupakan bagian entropi itu. Penyakit ini selalu mengganggu proses pemulihan dan perjalanalan ekonomi untuk 20 tahun ke depan.

Entropi ekonomi telah berdampak pada sulitnya perekonomian Indonesia keluar dalam jebakan pendapatan kelas menengah atau middle income trap (Pakkanna, 2022). Situasi ini pun terkonfirmasi, ekonomi Indonesia sulit naik ke status negara dengan pendapatan tinggi. Selain itu, berdampak pada naiknya angka incremental capital output ratio (ICOR). Angka ICOR Indonesia masih bertengger tinggi mendekati 7%, sementara rerata negara ASEAN hanya 3,5%. Tingginya angka ini mengirim pesan, masih rendahnya produktivitas, rendahnya daya saing, inefisiensi, dan banyaknya biaya siluman menerpedo mesin birokrasi ekonomi.

Mengonfirmasi data Badan Pusat Statistik (BPS), besarnya aktivitas kebocoran anggaran diperkirakan 8,3%–10% dari PDB. Bahkan, Transparency International Indonesia (TII) mengestimasi potensi kebocoran di kisaran 30%-40% dari PDB. Mengutip Global Competitiveness Index dari World Economic Forum, korupsi salah satu bentuk kebocoran anggaran dan menjadi faktor penghambat investasi di Indonesia. Bahkan TII, semenjak 1995 hingga saat ini, telah menerbitkan indeks persepsi korupsi (IPK), yakni peringkat negara-negara di dunia berdasarkan persepsi publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politik. Indonesia masih berada pada posisi yang sangat memprihatinkan.

 

Demikian pula tingginya ekonomi bayangan (shadow economy). Ekonomi bayangan mencakup semua aktivitas ekonomi yang dapat dikenai pajak bila aktivitas-aktivitas tersebut tercatat di otoritas pajak. Tergerusnya penerimaan dari setoran pajak industri sawit Indonesia, misalnya, menjadi kasus yang aneh tapi nyata. Padahal komoditas itu selalu menyumbang devisa terbesar di tengah harga internasional yang membaik. Bahkan, luasan areal dan produksi buah tandan segar sawit meningkat. Tapi pada faktanya, riset Tempo, Mongabay, Betahita, dan Auriga Nusantara menemukan kejanggalan.

Penerimaan pajak terus-menerus merosot dari Rp21,87 triluan (2015) selanjutnya pada tahun-tahun berikutnya hanya rerata Rp15 triliun (2020). Menurut riset tersebut, banyak pelaku usaha tidak melaporkan pajaknya dan terjadi pengelabuan pajak. Tentu, kasus sejenis setali tiga uang pada industri ekstraktif, misalnya batu bara, emas, nikel, tembaga, dan lainnya.

Pada Mei 2016, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang S Brodjonegoro pernah mengungkap angka Rp11.400 triliun uang warga negara Indonesia (WNI) yang diparkir di luar negeri. Potensi uang sebanyak itu merupakan kekayaan dari para pemain lama yang sudah bertahun-tahun menyimpan uang di luar negeri. Demikian pula pada kasus Pandora Papers dan Panama Papers, menunjukkan energi bangsa banyak terendap. Artinya, banyak kebocoran anggaran di Tanah Air tidak dijadikan problem pokok untuk dijadikan solusi dalam draf RPJN ini.

 

Deindustrialisasi

Selanjutnya, kami juga menyoroti tentang deindustrialisasi. Data membuktikan bahwa ekonomi Indonesia selalu ditopang usaha ekstraktif berbasis sumber daya alam, bukan ditopang kekuatan pengetahuan dan teknologi. Dalam kasus ekspor nikel pada 2022, misalnya, ekspornya surplus hingga US$291,88 miliar atau ekuivalen Rp4.524 triliun. Begitu pula batubara, CPO, dan lainnya. Ihwal ini relevan jika melihat kontribusi total factor productivity (TFP) dalam perekonomian yang rendah jika dibandingkan dengan banyak negara lain.

Indikator TFP digunakan untuk mencerminkan tingkat produktivitas suatu negara dan kemajuan teknologi. Menurut Basri (2023), jika dilihat sejak 2010, TFP Indonesia terus turun bebas. Jadi, penggunaan otot semakin dominan. Dengan demikian, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2000-2020 rata-rata 71% ditopang modal yang berbasis non-IT. Sumbangan dari tenaga kerja mencapai 45%, sedangkan sumbangan modal yang berbasis IT hanya 4%, Adapun kontribusi TFP terhadap pertumbuhan justru minus 19%.

Rendahnya TFP juga sejalan dengan gejala deindustrialisasi di Indonesia yang ditunjukkan dengan menurunnya kontribusi manufaktur terhadap PDB. Gejala deindustrialisasi ini pun terlihat dari rendahnya kontribusi ekspor manufaktur terhadap total ekspor. Mengutip data World Development Indicators yang dirilis Bank Dunia, total ekspor manufaktur terhadap ekspor Indonesia hanya 44,9% pada 2021.

Deindustrialisasi adalah proses kebalikan dari industrialisasi, yakni penurunan kontribusi sektor manufaktur alias industri pengolahan nonmigas terhadap PDB. Selain kinerja manufaktur, sinyal deindustrialisasi juga bisa dibaca dengan semakin besarnya porsi pekerja informal dalam struktur pekerjaan. Pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan karena penyerapan kerja di sektor informal meningkat. Namun, sumbangan sektor industri terhadap PDB malah mengalami penurunan. Kemudian angka pengangguran turun. Penciptaan lapangan kerjanya makin tidak bermutu karena yang meningkat itu di sektor pekerja informal.

Oleh karena itu, dalam RPJPN 2025-2045 seyogianya harus dipertimbangkan kembali sistem insentif yang ditujukan untuk memperbaiki sektor manufaktur demi menciptakan insentif yang lebih baik, terutama yang berskala kecil menjadi entitas baru yang tinggi penyerapan tenaga kerjanya dan lebih kompleks produknya. Perlu diversifikasi manufaktur dan menaikkan levelnya agar mampu menjadi bagian dari global value chain (GVC). Saat ini, perusahaan Indonesia yang berpartisipasi di GVC kebanyakan hanya menjadi supplier bahan mentah dan sumber daya alam, dan secara umum produknya memiliki tingkat kompleksitas rendah. Ini terkait dengan sifat alami perekonomian Indonesia yang masih bergantung pada sumber daya alam (ekstraktif).

Salah satu kunci membangun reindustrialisasi ialah dengan mendongkrak inovasi dan penguasaan teknologi. Hal itu mengingat Indonesia tidak lagi dapat bergantung pada low-skilled labour untuk mendorong industri di tengah tingginya kompetisi tenaga kerja murah dari negara-negara berkembang lainnya. Oleh sebab itu, Indonesia perlu mencari pendorong industri yang sustained, salah satunya dengan peningkatan inovasi dan penguasaan teknologi.

 

Lemahnya kelas menengah

Selanjutnya, kami juga menyoroti lemahnya keberadaan kelas menengah di Indonesia. Belajar dari sejarah renaisans di Eropa dan Revolusi Prancis, kelas menengah yang jumlahnya sangat besar serta memiliki sikap independen dan kritis pada gilirannya mampu membuat transformasi masyarakatnya menjadi makmur dan egaliter. Sayangnya, kelas menengah di Indonesia belum terbentuk.

Di Indonesia, ada sejumlah orang kaya dari kalangan swasta, tetapi umumnya dihasilkan oleh kepengusahaan yang tidak berwatak entrepreneur, dan lebih karena fasilitas dan ‘kronisme’. Golongan ini pun jumlahnya hanya sekitar 0,008% dari jumlah pengusaha yang sekitar 65 juta. Kontribusi kelas menengah Indonesia memang telah terlihat dari tingkat konsumsi domestik yang tinggi. Namun, apabila dinilai dari tingkat kepemilikan tabungan nasional, kelas menengah Indonesia hanya berkontribusi 32% dari PDB. Jumlah ini paling rendah jika dibandingkan dengan di negara-negara ASEAN lain.

Gambaran perilaku dan gaya hidup (life style) kelas menengah Indonesia masih cenderung konsumtif, bukan produktif. Jika kondisi ini berlangsung dalam jangka waktu lama, posisi mereka akan rentan mengalami kejatuhan. Padahal, kelompok kelas menengah dapat menjadi katalisator dan eskalator pembangunan ekonomi bangsa. Di samping itu, tingkat pendidikan mereka yang relatif lebih baik dan modal finansial yang dimiliki semestinya dapat mendorong percepatan penurunan angka kemiskinan dan tingkat pengangguran di Indonesia.

MI/Seno

 

Lemahnya ketahanan pangan

Kemudian kami juga menyoroti lemahnya ketahanan pangan. Indonesia terkenal sebagai negara agraris. Artinya, mayoritas tenaga kerja merupakan pekerja di sektor pertanian. Berdasarkan data BPS, jumlah masyarakat Indonesia yang bekerja di bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan pada Februari 2023 sebanyak 40,69 juta orang atau 29,36% dari total pekerja.

Kendati memiliki tenaga kerja terbanyak ketimbang sektor lain, sumbangan sektor pangan terhadap PDB sangat rendah. Pertumbuhannya pun menjadi salah satu yang terendah. Data BPS menunjukkan sumbangan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan terhadap pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 12,4%. Dengan mayoritas pekerja berada di sektor pertanian, pertumbuhan yang rendah tentunya berdampak pada kesejahteraan yang rendah. Hal ini tentunya berdampak pada belanja rumah tangga petani yang juga rendah. Alhasil, pertumbuhan ekonomi pun sulit tinggi.

Dalam konteks ketahanan pangan ini, terlihat dalam RPJPN 2025-2045 tidak ada program pemberian lahan, modal, dan peralatan kepada sarjana pertanian, perkebunan, dan peternakan sehingga mengalami masalah kedaulatan pangan. Juga kurang menariknya bidang ilmu pertanian, peternakan, dan ilmu-ilmu pertanian.

Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar, pasar domestik potensial, dan potensi alam yang luar biasa. Bahkan, konsumsi domestik Indonesia lebih kokoh karena dalam kisaran 56,8% dari PDB. Indonesia juga memiliki pengikat keragaman sosial budaya. Tentu, Indonesia memerlukan usaha dan industri-industri kecil yang berorientasi ekspor berbasis pangan. Namun, jangan biarkan mereka bertarung sendirian di pasar global yang rakus. Suksesnya Tiongkok merajai pasar dunia, selain karena spirit heroisme dan nasionalisme rakyatnya terhadap produk-produk dalam negerinya, termasuk produk pangannya, juga lantaran kemampuan penetrasi produknya di pasar global.

Oleh sebab itu, dalam RPJPN 2025-2045 perlu milestone tentang dukungan kebijakan proteksi produk dalam negeri yang berorientasi outpout. Lemahnya kebijakan proteksi memicu masuknya produk Tiongkok yang murah yang telah diproduksi di negaranya. Selain menyelamatkan industri mikro yang berorientasi ekspor, perlu pula menguatkan ekonomi lokal (domestikasi). Domestikasi ekonomi diartikan upaya memperkokoh kekuatan dan kohesivitas ekonomi di atas sendi-sendi kebersamaan (sosial). Karena itu, potensi ekonomi lokal yang bertebaran di seantero negeri harus dipupuk kembali untuk bangkit dalam menjamu pasar domestik (konsumsi domestik) dan menjamu pasar global (orientasi ekspor). Semoga!

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat