visitaaponce.com

Bonus atau Bencana Demografi

Bonus atau Bencana Demografi?
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

SUATU siang di sebuah warung kopi di tepi Jalan Margonda Raya, Depok, Jawa Barat, berkumpullah tiga anak muda. Usia mereka 20-an, mungkin kurang. Seorang bekerja sebagai kurir pengantar paket. Dua lainnya berprofesi sebagai pengemudi ojek online. Itu saya ketahui dari jaket yang mereka kenakan ketika memasuki warung.

Kedai itu sepertinya biasa menjadi arena rendezvous sekaligus tempat untuk mereka beristirahat setelah lelah menyusuri panasnya aspal jalanan. Mereka pun tampaknya akrab dengan si mamang pemilik warung. “Gue yang traktir,” kata si pembawa paket kepada dua rekannya. Dari obrolan mereka berikutnya, saya yang mencuri dengar sembari makan, kemudian jadi sedikit paham, rupanya ‘si bos’ ini baru saja menang judi online (slot).

Jika ditaksir dari usia mereka saat ini, ketiga anak muda itu termasuk bagian dari bonus demografi yang digadang-gadang akan mencapai puncaknya pada 2030-2040. Pada dekade itu, diperkirakan lebih dari 60% dari total jumlah penduduk Indonesia berusia 15-65 tahun. Mereka, para penduduk yang notabene merupakan usia produktif itu, diharapkan akan menjadi salah satu mesin penggerak untuk membuat perekonomian melesat semakin tinggi. Begitu impian yang kerap kali digaungkan pemerintah akhir-akhir ini, termasuk yang disinggung Presiden Jokowi dalam pidatonya pada Sidang Tahunan MPR RI dan sidang bersama DPR RI dan DPD RI dalam rangka HUT ke-78 proklamasi kemerdekaan RI di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8).

Secara teori, jumlah penduduk usia produktif yang besar itu memang merupakan sumber tenaga kerja, pelaku usaha, sekaligus juga konsumen yang potensial menggerakkan roda ekonomi. Pertanyaannya ialah apa langkah yang sudah kita persiapkan untuk menyambut bonus demografi itu? Selama akses pendidikan, peluang untuk mendapat pekerjaan, dan kesempatan berusaha masih sulit, bisa-bisa yang terjadi ialah bencana demografi karena meledaknya angka pengangguran.

Ketiga anak muda yang saya lihat di kedai tadi memang bekerja dan menghasilkan uang. Begitu juga dengan manusia-manusia silver dan ‘pak ogah’ yang berdiri di perempatan jalan. Namun, apa iya mereka harus terus menjalani hidup seperti itu? Memang tidak sedikit ada anak muda lainnya yang berkat ketekunan mereka sukses, baik sebagai wirausaha atau bekerja di perusahaan mapan, meski ada juga yang cuma modal ketampanan/kecantikan dan keterampilan joget di dunia maya bisa menghasilkan cuan. Suka atau tidak suka, itulah realitas yang terjadi saat ini.

Masa depan ialah imaji. Kita hanya dapat memprediksinya dengan berpijak pada kenyataan yang terjadi hari ini. Demikian pula dalam melihat bonus demografi . Sebagai cita-cita untuk menggapai Indonesia emas 2045 seperti yang digadang-gadang selama ini, kita tentu tidak dapat mengabaikan fenomena yang terjadi hari ini. Kisruh sistem penerimaan siswa baru yang terjadi saban tahun, mahalnya ongkos pendidikan, dan maraknya judi dan pinjaman online yang menjerat sejumlah remaja ialah sebagian dari pekerjaan rumah yang mesti dibereskan jika ingin mewujudkan impian tersebut.

Selain itu, sebagai sebuah cita-cita besar, ia tidak boleh hanya menjadi milik Kepala Bappenas, Presiden Jokowi, atau para elite lainnya. Cita-cita itu harus menjejak bumi. Ia harus diketahui si Rini pegawai Indomaret, Mira siswi SMK, atau Ani, guru di sebuah sekolah dasar, sehingga mereka paham bagaimana peran dan posisi mereka dalam menyiapkan tantangan zaman ke depan. Sama seperti halnya ketika para bapak pendiri bangsa ini menggaungkan cita-cita kemerdekaan di masa penjajahan dulu. Ia dapat terwujud karena mereka mampu memobilisasi seluruh elemen masyarakat hingga menjadi impian dan tujuan bersama.

Coba sesekali tanyakan kepada beberapa remaja di pinggir jalan atau yang sedang hang out di mal (boleh disertai dengan iming-iming sepeda), apa itu bonus demografi dan apakah mereka paham maknanya? Saya hakulyakin sebagian besar dari mereka cuma planga-plongo. Wong yang disuguhkan kepada mereka di gawai selama ini umumnya cuma sampah. Merdeka!

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat