visitaaponce.com

Jalan Terjal Menuju Kedaulatan Siber

 Jalan Terjal Menuju Kedaulatan Siber
Muhamad Syauqillah(Dok pribadi)

KEDAULATAN negara bukan hanya seputar garis demarkasi wilayah teritorial sebuah negara dengan negara tetangga. Kedaulatan negara juga menyangkut daya kendali suatu negara terhadap aktivitas di ruang siber (cyber space) yang menjebol batas nasionalitas. 

Di tengah kemajuan teknologi digital, era big data, dan surplus pengguna internet berkoneksi global, maka dalil konvensional tentang kedaulatan negara-bangsa mengalami disrupsi. Lalu, apa dan bagaimana masa depan kedaulatan siber Indonesia?

Pertanyaan tersebut menyeruak ke permukaan, mengingat penyalahgunaan teknologi internet sangat berbahaya. Untuk itu, deret ancaman dan kejahatan siber (cyber crime) multi-aspek perlu diantisipasi sejak dini. Pada aspek pertahanan dan keamanan, bangsa Indonesia dihantui oleh momok peperangan dunia maya (cyber warfare), terorisme dan separatisme yang membonceng arus revolusi teknologi informasi. 

Di sisi lain, laporan tahunan yang dirilis Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) terkait kasus kebocoran data pribadi acapkali menuai sorotan. Di titik tertentu, semarak malpraktik dalam transaksi ekonomi digital juga berimbas pada defisit kepercayaan konsumen terhadap belanja online. Begitu pula dunia perbankan nyaris lumpuh secara operasional akibat serangan siber (cyber attack) berjenis ransomware.

Pada ruang publik media sosial, jumlah warganet yang meningkat berbanding lurus dengan reproduksi hoaks, disinformasi, dan video deepfake yang kian runyam. Kegalauan pun mengemuka terkait potensi serangan siber menjelang Pemilihan Umum 2024. Isu teranyar yang memantik polemik ialah proyek satelit internet Starlink, anak perusahaan SpaceX milik Elon Musk yang memasuki pasar Indonesia. 

Keamanan siber rendah

Cukup jamak diketahui, negeri yang kaya-raya dari segi sumber daya alam (SDA) seperti Indonesia kerapkali menjadi incaran kekuatan asing, terlebih berposisi strategis. Di tengah pergeseran geopolitik internasional dewasa ini, negara perlu menyegarkan strategi dan kebijakan ketahanan, keamanan, dan kedaulatan siber yang saling berkait-kelindan. 

Sungguh sulit dibantah, keamanan siber dalam negeri masih lemah dan rentan. Merujuk laporan National Cyber Security Index (NCSI, 2022) bahwa skor indeks keamanan siber Indonesia bertengger di peringkat ke-3 terendah di antara negara-negara G20. Laporan tersebut seolah menyalakan lampu kuning, agar lembaga negara dan organisasi masyarakat sipil ikut memikul tanggung jawab bersama dalam merespons ancaman turbulensi ekonomi, sosial dan politik akibat kejahatan siber dalam skala mondial. 

Upaya meneguhkan kedaulatan siber mesti dimulai dari hulu hingga hilir, bukan hanya tataran regulasi dan praksis kebijakan, tetapi juga pemetaan isu berdasarkan kluster ancaman. Secara konstitusional, kedaulatan siber dapat digarisbawahi sebagai manifestasi dari teleologi bernegara. Ihwal itu tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia!

Karena itu, negara berkewajiban menyelamatkan seluruh aset dan infrastruktur yang terhubung dengan internet, sumber daya siber, keamanan data privasi, termasuk hak menyatakan pendapat. Menurut Hao Yeli (2017), ada tiga aktor yang secara aktif terlibat dalam ruang siber yaitu negara, warga negara dan komunitas internasional.

Sejatinya gatra keamanan dapat bergerak secara simultan dengan koridor demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Kerja sama internasional juga tetap dihelat dalam konteks keamanan siber, yang berorientasi pada kepentingan nasional Indonesia. Dalam kompleksitas permasalahan tersebut, ada sejumlah rekomendasi yang seyogianya dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menegakkan kedaulatan siber.

Pertama, infrastruktur fisik, aplikasi dan sistem data yang bersemayam di sekujur Nusantara mesti di bawah 'kuasa negara'. Pada saat yang sama, diplomasi siber diarusutamakan dalam relasi politik internasional dan geopolitik kawasan. Para blogger, ahli hacker profesional, dan praktisi teknologi digital dilibatkan untuk mendeteksi, mencegah, dan melawan kejahatan hingga peperangan siber. 

Kedua, infrastruktur siber yang terpusat, terpadu, dan terintegrasi merupakan proyeksi jangka panjang. Karena itu, penguatan teknologi dan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) ahli siber selaiknya diberi ruang yang memadai. 

Untuk jangka pendek, pemerintah dapat memaksimalkan penggunaan satelit yang eksisting di Indonesia. Kalau pun bekerja sama dengan pihak asing, gateway atau perangkatnya tetap di bawah kendali Indonesia dalam suatu skema bisnis yang proper dan lensa keamanan nasional yang jelas.

Kehadiran Starlink memang mengandung benefit untuk membuka jaringan internet di daerah terpencil, terdepan, dan terluar (3T) di Indonesia. Tetapi konstelasi satelit yang dioperasikan oleh SpaceX itu teridentifikasi memiliki afiliasi dengan Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS), bahkan menjadi 'aktor bawah tanah' dalam prahara geopolitik internasional, lalu dieksploitasi untuk keuntungan bisnis. Penyedia layanan internet asing yang diizinkan masuk tanpa kesiapan kapasitas aparat siber dari pemerintah, tentu sangat riskan. 

Agenda terselubung bernada minor cukup potensial membakar tungku Republik ketika pihak asing dibiarkan menguasai ruang digital atau siber Indonesia. Kita dapat belajar dari preseden buruk invasi Rusia terhadap Ukraina yang dimulai Februari 2022 hingga saat ini. Secara kronologis, semburan api pergolakan itu bermula dari serangan siber yang dilakukan oleh Rusia terhadap fasilitas publik di Ukraina. 

Starlink sebagai penyedia layanan internet asing di Ukraina terlibat langsung dalam perang Rusia di Ukraina. Starlink bahkan pernah menolak permintaan Ukraina untuk mengaktifkan jaringan satelitnya di kota pelabuhan Sevastopol, Krimea 2022 untuk membantu serangan terhadap armada Rusia di sana. Hal ini diakui Elon Musk melalui akun media sosial X-nya pada Kamis (7/9).

Dalam menyongsong dinamika politik Pemilu 2024, Indonesia juga dapat belajar dari cawe-cawe Badan Riset Internet (Internet Research Agency), perusahaan swasta Rusia di bidang siber yang terindikasi ikut mencampuri kontestasi Pilpres AS 2016. Akun anonim warga negara AS direkayasa, lalu mereka berkampanye di media sosial mendukung Donald Trump, sekaligus mengantagoniskan citra Hillary Cilnton.

Bentuk satgas

Dalam rangka menjaga iklim pesta demokrasi di negeri ini, BSSN yang dikabarkan akan membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk keamanan siber patut ditunggu jurus ampuhnya. Satgas itu mesti bekerja keras untuk mengamankan sistem pelaksanaan Pemilu 2024, bahkan antisipasi terhadap terorisme siber. Dengan dalil dan dalih kontraterorisme (siber) hingga kontraseparatisme Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), maka keamanan siber merupakan kebutuhan urgen. 

Kebebasan berinternet mesti dibingkai dengan tata kelola yang ketat, terutama berkenaan dengan proyek ambisius Starlink di daerah 3T. Jika pemerintah kehilangan kendali atas internet, KKB dan gerakan separatis di Papua, misalnya, akan lebih mudah mengakses secara bebas internet global melalui perangkat Starlink yang portable, dapat dipasang di manapun termasuk di hutan.

Dengan begitu, KKB akan lebih mudah mengoordinasikan serangan secara terstruktur dan masif, serta menggalang opini ke seluruh dunia melalui internet. Itulah sebabnya Turki menolak kehadiran Starlink di negaranya, walaupun hanya untuk kebutuhan pertolongan bencana. 

Hal itu diperkuat dengan fakta yang diungkap oleh Pemerintah Tiongkok bahwa terdapat kolaborasi antara SpaceX dan militer AS dalam mengembangkan Starlink, dan mengintegrasikannya ke alat utama sistem pertahanan AS.

Di tengah kontroversi kedatangan perusahaan asing penyedia infrastruktur fisik siber seperti Starlink, Indonesia dapat membangun pola kerja sama dengan pelaku usaha dalam negeri sebagai entitas terpisah. Sehingga terdapat segregasi tugas yang efektif dalam memitigasi risiko ancaman terhadap keutuhan NKRI.

Jalan menuju kedaulatan siber memang sangat terjal. RUU Keamanan dan Ketahanan Siber yang hingga kini belum rampung di DPR, seharusnya dipercepat pengesahannya menjadi UU, yang melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya. Dengan begitu, kita dapat menghadirkan keamanan, ketahanan dan kedaulatan siber Indonesia secara terukur, komprehensif, dan permanen. 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat