visitaaponce.com

Islamofobia, Tantangan Serius ASEAN

Islamofobia, Tantangan Serius ASEAN
(Dok. UIN )

SIKAP kebencian dan permusuhan terhadap Islam dan muslim mulai mengancam HAM, kerukunan sosial, dan stabilitas di ASEAN. Karena itu, isu ini seharusnya menjadi perhatian demi ASEAN yang kuat, damai, dan maju. Islamofobia mendorong prasangka buruk, merendahkan, stereotipe, diskriminasi, ancaman, tindakan kekerasan, dan membahayakan muslim.

Islamofobia semakin menjadi-jadi karena multifaktor. Antara lain, pertama, terorisme global oleh kelompok muslim ekstremis. Serangan 9/11, misalnya, mengakibatkan citra negatif terhadap Islam, meskipun mayoritas muslim menentang ekstremisme.

Kedua, media massa ikut menyebarkan islamofobia. Sensasionalisme pemberitaan sering kali menonjolkan tindakan ekstrem dan meredupkan gambaran sesungguhnya tentang Islam dan muslim.

Ketiga, faktor sosial politik berkontribusi pada munculnya islamofobia. Kelompok nasionalis-chauvinistik, liberal-sekuler/radikal, dan ateis bertanggung jawab atas berkembangnya islamofobia.

Keempat, konflik di Timur Tengah, Thailand, Myanmar, dan Filipina, misalnya, juga memperluas pandangan negatif terhadap Islam dan muslim. Liputan konflik oleh media lebih difokuskan pada tindakan kelompok ekstremis muslim seperti bom bunuh diri untuk memperburuk citra seluruh komunitas muslim. Ini stereotipe bahwa Islam membolehkan tindakan kekerasan.

 

Genosida

Pola genosida islamofobia ini banyak terjadi di Myanmar. Ini terkait dengan konflik buddhis-muslim Rohingya. Dampak kemanusiaannya mengerikan: pengusiran massal, kekerasan seksual, dan pembunuhan terhadap komunitas muslim Rohingya. Pemerintah dan beberapa elemen masyarakat memperburuk situasi ini dan memperkuat islamofobia.

Pada 2017 korbannya mencapai 6.700 orang. Sebanyak 730 di antaranya anak-anak. Mereka menderita kekerasan dibantai, dibunuh secara brutal, dan diperkosa akibat keserakahan pemerintah. Kejahatan genosida ini menghawatirkan masyarakat internasional dan negara anggota ASEAN. Media dan narasi politik memperkuat penyebaran islamofobia dan menyudutkan muslim Rohingya. Aktornya ialah kolaborasi nasionalis chauvinis junta militer-buddhis kanan ekstrem.

Penanganannya haruslah holistik: pendidikan harmoni serta dialog antarbudaya dan antaragama. Organisasi internasional dan lembaga HAM harus mengadvokasi melindungi hak minoritas muslim Rohingya dan menyuarakan keprihatinan terhadap pelanggaran HAM. Pemerintah Myanmar harus mengakhiri diskriminasi, kekerasan, sekaligus mengatasi akar penyebab islamofobia.

 

Soft islamofobia

Pola ini banyak terjadi di Indonesia, berbeda dengan di Myanmar, atau negara lain yang menistakan, membunuh, dan merobek serta membakar Al-Qur’an. Bentuknya adalah retorika kebencian, fitnah, dan terkadang serangan fisik kepada tokoh Islam, bullying, penistaan terhadap ajaran agama Islam. Pola ini juga terlihat misalnya dalam kurikulum sekolah, buku-buku bacaan, karya seni yang memarginalkan Islam, dan penempatan gambar-gambar simbol Islam di tempat yang tidak pantas.

Aktornya, kelompok nasionalis-chauvinistik dan liberal-sekuler. Ada juga sedikit nonmuslim. Kelompok ini sangat nasionalistik, sekuler, liberal, dan menempatkan identitas nasional di atas segalanya. Identitas dan simbol Islam harus dipupus; agama dipandang merusak identitas kebangsaan. Penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas era Orba adalah contoh konkret peminggiran politik Islam. Rezim fobi terhadap kehadiran politik Islam. Gelombang reformasi juga membuat khawatir kelompok nasionalis-chauvinistik, sekuler, liberal, dan sedikit kelompok nonmuslim.

Banyak narasi negatif hingga sekarang yang menyudutkan Islam, juga bully, fitnah, dan tindakan kekerasan terhadap tokoh dan aktivis muslim. Penanganan terorisme, termasuk ide BNPT mengontrol/mengawasi masjid, adalah contoh konkret islamofobia. Belakangan, video viral ajakan seorang perempuan kepada Buya Anwar Abbas, Wakil Ketua Umum MUI, untuk makan babi bersama juga bentuk islamofobia yang nyata.

 

Berbasis agama dan etnis

Islamofobia pola ini terjadi di Malaysia dan Singapura. Multikulturalisme memang menjadi isu sensitif di dua negara ini dan dalam tingkat tertentu berkelindan dengan agama: Melayu-Islam, Tionghoa-Buddha/Kristen, India-Hindu. Tentu isu minoritas-mayoritas juga menjadi bagian sensitif secara sosial politik. Tak jarang retorika sentimen negatif terhadap komunitas muslim, kelompok minoritas agama, dan etnisitas muncul di permukaan. Ini memicu islamofobia di medsos dan bahkan di beberapa platform politik.

Pemerintah Singapura sendiri telah mengambil langkah-langkah menghadapi intoleransi, melindungi hak-hak minoritas agama, dan mempromosikan dialog antaragama dan antarbudaya dengan membuat Internal Security Act (ISA). ISA diterapkan untuk menjaga keamanan nasional dari ancaman ekstremis, termasuk komunis. Tapi banyak kritik saat pemerintah mengarahkan penerapan ISA kepada umat Islam, yang justru bisa memicu pandangan negatif terhadap komunitas muslim dan awal berkembangnya islamofobia.

 

Berbasis politik

Pola ini terjadi di Filipina dan Thailand terkait dengan tuntutan politik (separatisme) muslim minoritas di Filipina Selatan dan Thailand Selatan. Konflik pemerintah pusat-wilayah selatan dua negara tersebut menciptakan ketidakpercayaan di antara kelompok agama berbeda, yaitu Islam-Kristen (Filipina) dan Islam-Buddha (Thailand). Konflik ini juga mempertajam polarisasi dan menciptakan pandangan negatif terhadap seluruh komunitas muslim. Islamofobia di kedua negara itu sebagian besar terkait dengan konflik dan politik yang sudah lama berlangsung.

Melihat empat pola di atas, aktor islamofobia di ASEAN berasal dari berbagai latar belakang dan entitas individu, kelompok, tokoh politik, dan negara (termasuk militer). Ideologi mereka nasionalisme-chauvinis, sekularisme-liberal dan radikal. Kelompok ini melalui medsos dan platform online mempromosikan agenda keagamaan atau politik, dan mengembangkan retorika islamofobia. Dalam beberapa kasus, islamofobia juga dijadikan sebagai strategi untuk mengalihkan perhatian dari masalah internal tertentu atau memanfaatkan ketegangan agama dalam upaya mencapai tujuan politik.

 

Langkah penting

Pertemuan dan dialog ulama ASEAN sangat penting untuk menghadapi islamofobia. Para ulama terkemuka perlu melanjutkan berkumpul membahas islamofobia dan bagaimana mengatasi tantangan ini. Nilai-nilai toleransi dan kerukunan dalam Islam perlu ditegaskan, serta berkomitmen memerangi pemahaman yang keliru tentang Islam.

Pertemuan ini memberikan sinyal positif bahwa pemimpin agama di ASEAN bersatu melawan prasangka dan mempromosikan kedamaian serta wasotiyatul Islam. Selebihnya, semua negara ASEAN juga harus serius menghadapi ini dengan membuat undang-undang anti-islamofobia, seperti yang dilakukan Amerika. MUI telah menyerukan negara-negara ASEAN membuat UU anti-islamofobia ini.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat