visitaaponce.com

Tantangan Kebijakan Ketahanan Pangan

Tantangan Kebijakan Ketahanan Pangan
Ilustrasi MI(MI/Seno)

STOK dan harga beras menghadapi ancaman darurat. Itu menjadi peringatan keras bagi penyelenggara negara bila kondisinya menunjuk pada indikator; produksi beras turun, harga beras dan gabah makin meninggi, serta musim tanam tak menentu akibat pasokan air irigasi pertanian yang makin menipis.

Berita itu dilansir berbagai media akhir-akhir ini. Karena itu pula, semua bakal calon presiden 2024 mengangkat isu pangan itu sebagai agenda strategis.

Berkaca dari program food estate sebagai salah satu pilihan kebijakan untuk menggenjot produktivitas pangan negeri tepat, tetapi sayang program tersebut tidak berhasil mencapai target. Kajian Wisnu (2022), Nugroho (2022), Herinata (2022), dan Supriyanto (2023) di berbagai lokus program, semua menyimpulkan, implementasi program food estate tidak sukses, malah merusak ekologi, dan berimplikasi pada krisis iklim. Begitu pun masyarakat adat kehilangan identitas lokal dan mata pencarian, bahkan memiskinkan rakyat.

Jadi, implementasi program food estate terbaca oleh publik bahwa program tersebut memang tidak didesain melalui perencanaan yang matang, tidak ada partisipasi bermakna dari stakeholders dalam melaksanakan program itu. Bahkan, bermasalah sejak awal. Tidak berpandu pada etika lingkungan (environmental ethics), lembaga yang menangani disoal, pengelolaannya tidak kompeten, dan kontroversial.

Dana besar yang dialokasikan pemerintah pada program food estate tidak ditopang desain konseptual sebagai program sistemis untuk mencapai target jangka pendek dan dapat berfungsi sebagai cetak biru (blueprint) untuk capaian jangka panjang ketahanan pangan di Indonesia.

Bagaimanapun, desain program tidak cukup melalui cara berpikir para aktor negara, tetapi perlu diintegrasikan dengan konstruk berpikir yang dihasilkan dari riset universitas, usaha industri, dan masyarakat tempatan sebagai pemangku kepentingan. Karena itu, desain program nasional seperti ini harus matang, apalagi food estate masuk proyek strategis nasional (PSN) dalam Permenko Perekonomian Nomor 21 Tahun 2022.

 

Tantangan kebijakan pangan

Ke depan, pembuatan kebijakan pangan akan menghadapi tantangan kompleks, terutama untuk memastikan ketersediaan pangan bagi masyarakat, bahkan untuk warga dunia. Jika kebijakan gagal, perlu ruang publik untuk negosiasi ulang dalam kerangka menciptakan berbagai alternatif perubahan kebijakan.

Kurangnya alternatif kebijakan menjadi penyebab kekuatan struktural pemerintah sangat dominan dalam memaksa implementasi program, meski kurang menguntungkan kepentingan umum, indikasi itu terbaca dalam program food estate. Terindikasi bahwa program tersebut dibuat dan diimplementasikan tanpa kajian potensi geografi dan demografi yang intensi di setiap lokus program.

Tak kurang Storelli (2016) mengingatkan, perubahan demografis, sosial, dan ekonomi saat ini telah meragukan kelangsungan hidup manusia di masa depan, populasi makin bertambah dan terus menua, semua harus dipenuhi kebutuhannya untuk kesejahteraan. Karena itu, pengembangan kebijakan pangan yang produktif mesti menjadi komitmen semua negara.

Hal itu mengingat penduduk dunia menurut World Population Review (Februari 2023) mencapai 8.005.176.000 jiwa. Keadaan itu belum diiringi dengan kapasitas produktivitas pangan yang menjamin kebutuhan pangan warga dunia, termasuk pemenuhan gizi masyarakat global.

Bahkan, Emeria (2022) mengonfirmasi studi International Food Policy Research Institute bahwa India, Rusia, India, Mesir, Serbia, Aljazair, Kazakhstan, dan Kosovo melarang ekspor bahan pangan dari negaranya. Itu pertanda bahwa problem pangan masyarakat dunia makin nyata sebagai ancaman.

Jauh sebelumnya, Arcand (2001), Stein & Qaim (2007), Balarajan et al (2011), Biesalski (2013), and FAO, WFP, IFAD (2015) mengingatkan adanya hidden hunger sebagai salah satu ancaman serius warga dunia. Karena ada kekurangan vitamin dan mineral dalam makanan dan menjadi penyebab berbagai jenis kekurangan gizi dan vitamin, yang membahayakan perkembangan anak-anak dan menghambat kinerja orang dewasa. Jadi, betapa kebijakan pangan perlu diafirmasi setiap negara.

Sejak reformasi kita belum melihat ada kebijakan dan tindakan afirmasi yang kuat untuk keamanan pangan yang meyakinkan untuk mendukung sistem logistik pangan yang bertumpu pada kekuatan nasional Indonesia. Hampir semua titik kuat yang langsung dapat menguatkan ketahanan pangan masih tercecer di belakang, itu terbaca dalam hal politik anggaran di sektor pertanian dan kelautan-perikanan sebagai tumpuan ketahanan pangan nasional.

 

Pendekatan kolaborasi

Dari berbagai referensi, kebijakan pangan Indonesia diarahkan pada strategi tiga jalur (triple track strategy), pro pertumbuhan, pro pekerjaan, dan pro kaum miskin. Dimaksudkan untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dan ekspor, menciptakan lapangan kerja, serta mengatasi kemiskinan dan kesenjangan melalui revitalisasi sektor pertanian.

Tujuan kebijakan pangan seperti itu tentu tidak mungkin terwujud tanpa kolaborasi. Ghazali (2023) menegaskan praktik The Five-Clawed Collaboration Model sangat penting untuk setiap pembuatan dan implementasi kebijakan, perlu persilangan kepentingan (crossover of interests), bukan program yang asal terlaksana sebagaimana terlihat dalam program food estate di berbagai tempat.

Caranya, mengintegrasikan kapasitas aktor pemerintah, universitas, usaha industri, dan masyarakat dalam satu kekuatan untuk melahirkan kebijakan yang berbasis pada etika lingkungan. Kebutuhan berkolaborasi, bukan pula sekadar untuk manfaat sosial, ekonomi, dan politik bagi pemangku kepentingan, tetapi kolaborasi telah menjadi kekuatan utama yang perlu dilekatkan dalam sistem pembangunan negara.

Program ketahanan pangan ialah kebijakan strategis untuk menciptakan lumbung pangan dan tentu itu terhubung langsung dengan kepentingan hajat hidup rakyat. Jika tidak dilakukan dengan cara kolaborasi, sulit diharap berhasil dan berlanjut produktif karena hanya akan menguntungkan kelompok pengelolanya.

Program food estate tidak tampak dibuat dan diimplementasikan dengan cara kolaborasi antarpemangku kepentingan sehingga daya dukung terhadap program bukan hanya tidak maksimal, melainkan juga justru menuai kontroversi.

Betapa penting isu itu diangkat dan ditawarkan para kandidat capres-cawapres (termasuk parpol) di arena kompetisi elektoral tentang jalur skema kebijakan logistik pangan nasional yang ingin ditempuh bila mendapat mandat rakyat pada Pemilu 2024. Hanya negara yang aman pangan yang dapat terselenggara stabil.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat