visitaaponce.com

Digitalisasi dan Reformasi Birokrasi

Digitalisasi dan Reformasi Birokrasi
Ilustrasi MI(MI/Seno)

WALAUPUN secara politis berbeda jalur, tiga calon presiden dan wakil presiden yang bakal berkontestasi di tahun 2024, semua sepakat bahwa digitalisasi ialah kunci penting untuk melakukan reformasi tata kelola pemerintahan secara menyeluruh.

Menata dan mereformasi birokrasi tidak cukup dilakukan hanya dengan menempatkan pejabat publik yang berdedikasi, tetapi yang terpenting adalah bagaimana kinerja layanan birokrasi dipermudah dan dipercepat, dengan bertumpu pada digitalisasi. Singkat kata, digitalisasi disepakati sebagai strategi untuk memperkuat kinerja birokrasi sekaligus untuk mendorong peningkatan kualitas layanan publik.

Berbeda dengan sistem birokrasi di masa lalu yang masih lebih mengandalkan layanan tatap muka, keramahan, dan peran langsung aparatur, di era masyarakat digital seperti sekarang ini transformasi penyelenggaraan negara dilakukan melalui berbagai proses yang serba digital. Kebijakan diberlakukannya e-budgeting, e-procurement, dan lain sebagainya, ialah bagian dari upaya untuk mengurangi peran birokrat, sekaligus menegakkan transparansi dan memfasilitasi keterlibatan masyarakat untuk ikut melakukan kontrol terhadap kinerja birokrasi.

Di era revolusi informasi, dan perkembangan penggunaan media sosial yang makin masif menjadikan masyarakat menjadi lebih kritis, dan bisa menjadi watchdog yang mengontrol kualitas pelayanan publik. Revolusi informasi dan teknologi mendorong birokrasi mau tidak mau harus lebih siap menghadapi kritik dan keluhan publik. Dengan meningkatnya sikap kritis dan semakin transparannya pelayanan publik, birokrasi dituntut lebih profesional dan melayani publik tanpa diskriminasi.

 

Bias birokrasi

Birokrasi, sesungguhnya bukan hanya sebuah lembaga pemerintah yang berfungsi melayani kebutuhan masyarakat, atau sekadar perpanjangan tangan negara untuk melaksanakan program-program pembangunan. Lebih dari itu, birokrasi adalah kumpulan orang-orang yang memiliki tugas dan peran untuk merencanakan program pembangunan, melaksanakan, mengevaluasi, dan sekaligus memfasilitasi upaya pemberdayaan masyarakat miskin agar dapat merespon program-program pembangunan dengan memadai (Benveniste, 1997).

Secara teoretis, birokrasi pemerintah setidaknya memiliki tiga tugas pokok (Rashid: 2000). Pertama, memberikan pelayanan umum (service) yang bersifat rutin kepada masyarakat, seperti memberikan pelayanan perizinan, pembuatan dokumen, perlindungan, pemeliharaan fasilitas umum, pemeliharaan kesehatan, dan menyediakan jaminan keamanan bagi penduduk.

Kedua, melakukan pemberdayaan (empowerment) terhadap masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan yang lebih baik, seperti melakukan pembimbingan, pendampingan, konsultasi, menyediakan modal dan fasilitas usaha, serta melaksanakan pendidikan. Ketiga, menyelenggarakan pembangunan (development) di tengah masyarakat, seperti membangun infrastruktur perhubungan, telekomunikasi, perdagangan, dan sebagainya.

Pengalaman telah banyak membuktikan, bahwa kinerja birokasi hingga saat ini masih diwarnai berbagai masalah. Alih-alih mampu memberikan pelayanan publik yang benar-benar optimal, di berbagai daerah maupun pusat, sering terjadi praktik korupsi, nepotisme dan malaadministrasi.

Kesalahan inheren yang melekat dalam dunia birokrasi adalah organisasi birokrasi itu sendiri cenderung diasumsikan dan diperlakukan sebagai alat yang senantiasa efisien dan efektif di tangan para pejabat dan birokrat. Padahal, dalam kenyataan birokrasi seringkali justru menjadi alat atau mesin elite politik tertentu untuk kepentingan pribadi, bahkan sering pula diperlakukan sebagai kendaraan elite politik untuk merebut hegemoni (Bodley, 1982). Akibatnya kemudian, keberadaan birokrasi bukan menyebabkan pelaksanaan berbagai program pembangunan menjadi lancar dan tepat sasaran, tetapi malah membuat pelaksanaan program pembangunan menjadi rawan bias dan bahkan korup.

Secara lebih rinci, penyebab utama timbulnya malaadministrasi dalam tubuh birokrasi bukan sekadar karena kualitas sumber daya aparatur birokrasi dan rendahnya profesionalisme aparat. Namun, karena belum adanya code of conduct yang kuat yang diberlakukan bagi aparat di semua lini dengan disertai sanksi yang tegas dan adil.

Dalam praktik, tidak sekali dua kali terjadi individu birokrat justru melampaui wilayah kewenangannya (beyond the scope of their authority). Aparat birokrasi yang semestinya bertugas melayani kepentingan masyarakat seringkali mereka terjebak pada dilema antara orientasinya melayani masyarakatnya ataukah melayani kepentingan ekonomi dan politiknya sendiri. Beberapa kajian telah membuktikan bahwa aparat birokrasi seringkali kurang memiliki akuntabilitas yang tinggi dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Kekuasaan birokrasi yang sangat besar, dalam banyak hal memang terbukti justru menimbulkan dampak negatif bagi birokrasi dalam menjalankan tugasnya. Sistem kerja birokrasi yang cenderung sentralistik dan regulatif, acapkali membuat gerak langkah birokrasi terhambat. Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan aparat birokrasi jika mereka memiliki mental yang harus dilayani daripada melayani? Apa yang bisa dilakukan aparat birokrasi jika dalam pekerjaan sehari-hari mereka sudah terbiasa dengan sistem instruksi dan pengaturan yang serbatersentralistik?

 

Literasi digital

Melakukan reformasi dan digitalisasi birokrasi ialah solusi yang disepakati seluruh kandidat yang berkontestasi di Pemilu 2024 nanti untuk mendongkrak kinerja birokrasi di Tanah Air. Secara garis besar, agenda reformasi birokrasi yang semestinya dilakukan di Indonesia, paling-tidak harus menyangkut tiga hal. Pertama, bagaimana melakukan restrukturisasi, reposisi dan revitalisasi kelembagaan birokrasi pemerintah pusat dan daerah, melalui penataan, pembenahan dan peningkatan kinerja birokrasi.

Kedua, bagaimana mengubah paradigma birokrasi yang sentralistik dan terlalu elitis, menuju kepada birokrasi yang egalitarian dan benar-benar berpihak kepada masyarakat. Ketiga, bagaimana melakukan re-design sistem dan struktur birokrasi pemerintah yang berdasarkan pada perkembangan teknologi informasi, dan perkembangan sikap kritis masyarakat.

Digitalisasi birokrasi niscaya akan mempercepat dan mempermudah layanan publik. Dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi, akan memungkinkan pemerintah untuk memberikan layanan yang lebih cepat, mudah, murah, dan transparan kepada seluruh masyarakat.

Dengan digitalisasi, birokrasi dapat dipangkas dan layanan pemerintah menjadi lebih efisien. Selain itu, penerapan sistem digital dalam pelayanan pemerintah dapat meningkatkan akuntabilitas serta memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi dan layanan.

Masalah sekarang adalah bagaimana memastikan digitalisasi birokrasi yang dikembangkan juga diikuti dengan peningkatan literasi digital dan literasi kritis masyarakat. Meski hampir 200 juta penduduk Indonesia telah familier dalam penggunaan gadget, tetapi pengetahuan tentang layanan publik masih belum banyak berkembang.

Selain itu, tidak sedikit warga masyarakat yang masih gaptek memanfaatkan teknologi informasi untuk mengakses berbagai layanan publik. Puluhan ribu aplikasi dalam layanan publik masih membuat masyarakat bingung ketika sedang membutuhkan layanan publik yang ada. Tanpa didukung literasi digital dan literasi kritis yang memadai, jangan harap reformasi birokrasi yang dilakukan bakal berjalan seperti yang diharapkan.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat