visitaaponce.com

Solusi Alternatif Mengemas Pesan Politik untuk Gaet Pemilih Muda

Solusi Alternatif Mengemas Pesan Politik untuk Gaet Pemilih Muda
KPU Riau menggandeng anak-anak muda semarakkan pesta demokrasi 2024.(MI/Rudi Kurniawansyah)

TIGA minggu berlalu sejak awal masa kampanye Pemilu 2024 yang dimulai pada 28 November 2023, baliho pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) semakin marak bertebaran di berbagai sudut daerah.

Tradisi pemasangan baliho seakan menjadi ritual kampanye politik yang wajib dilakukan. Hal itu ibarat iklan sirup yang menjadi penanda datangnya bulan Ramadan.

Namun, pesta demokrasi kali ini akan menjadi tantangan bagi pasangan capres dan cawapres. Bagaimana tidak, mereka harus mengamankan suara pemilih muda yang mencapai 56,45% dari total daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024 yang berjumlah 204.807.222.

Pemilih muda yang didominasi generasi (Gen) Z dan milenial ini lebih akrab dengan media baru dan cenderung lebih kritis dalam menilai visi, misi, kinerja hingga bahkan berupaya mencari tahu rekam jejak masing-masing pasangan. Dengan peta demografi ini, efektivitas penyampaian pesan melalui baliho tentu dipertanyakan.

Sadar lingkungan

Baliho bukan hanya mengandalkan visual namun juga memiliki keterbatasan dalam menyampaikan pesan. Kalaupun ada pesan paling hanya sekadar jargon dan didukung dengan visual atribut partai sebagai upaya unjuk kekuatan politik.

Sedangkan pemilih muda cenderung kritis terhadap berbagai isu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka yang sedang dihadapi. Bahkan menginginkan pemimpin yang dapat memberikan solusi tidak hanya jargon-jargon.

Penggunaan baliho dapat menjadi kontraproduktif karena akan dilihat sebagai sampah bagi pemilih muda yang mulai peduli isu lingkungan. Penelitian Remotivi pada 2022 terhadap 612 anak muda usia 16-30 tahun melalui diskusi terpumpun, memperlihatkan bahwa mereka tidak hanya sadar lingkungan (iklim) tapi juga bertindak untuk mitigasinya, yaitu melalui konsumsi ramah lingkungan.

Pemilih muda yang cenderung berpikir kritis tentu tidak dapat dipikat hanya dengan visual baliho dan jargon semata. Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tingkat penetrasi internet di kelompok remaja mencapai 99,16% pada 2022. Dengan begitu media digital menjadi 'medan perang' baru bagi para capres dan cawapres untuk menunjukan eksistensinya.

Lalu, bagaimana strategi pendekatan komunikasi yang efektif dalam menyampaikan pesan politik di era media baru?

Pertama, kurangi jargon dan fokus pada relevansi pesan. Para paslon seringkali menggaungkan jargon yang sifatnya abstrak, bombastis namun sulit dicerna secara singkat.

Sebaiknya, fokuslah pada satu pesan kunci yang berakar dari kegelisahan yang dirasakan oleh Gen Z dan milenial. Dengan cara ini, pesan kampanye tidak hanya terdengar bombastis, namun juga dapat meresap secara mendalam karena mencerminkan perhatian yang khusus terhadap kekhawatiran mereka.

Terdapat kebutuhan untuk menciptakan keseimbangan yang baik antara penyampaian visi dan misi dengan daya tarik penyampaian pesan, sehingga memastikan bahwa kegelisahan pemilih muda diakomodasi dengan baik dalam arah dan tujuan kampanye.

Kedua, gimik dengan tetap menjaga substansi. Gimik atau atraksi politik memang menjadi jalan pintas para politisi untuk menarik atensi publik terhadap agenda mereka.

Cara tersebut dirasa efektif dikarenakan efek 'dramatis' atau nyeleneh yang dihasilkan dapat secara cepat menjadi perhatian masyarakat. Namun, jangan melakukan gimik tanpa arti karena masyarakat hanya menangkap adegan gimiknya tanpa menyerap makna pesan di baliknya.

Maka dari itu, substansi tetap harus dijaga sehingga aksi yang dilakukan dapat bermakna dan produktif terhadap penerima pesan. Salah satu metodenya adalah dengan menggunakan metode storytelling dalam penyampaian pesan politik.

Dengan lebih dulu menentukan pesan, mengatur drama dan metode penyampaian yang berdasarkan fakta dan data, gimik yang dilakukan bersifat produktif dan tidak menjadi bumerang/blunder politik.

Ketiga, manfaatkan media yang interaktif. Denis McQuail dan Jay G Blumler mengemukakan bahwa tingkat interaksi dalam media yang digunakan untuk berkomunikasi dapat mempengaruhi tingkat keterlibatan dan partisipasi penonton.

Kini, bukan jamannya lagi komunikasi politik satu arah. Pemilih muda menginginkan interaksi langsung dengan paslon yang dapat difasilitasi dengan media baru, seperti situs web, aplikasi, dan media sosial.

Tidak hanya interaktif, medium ini memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dan memberikan respons secara langsung. Teknik-teknik penyampaian pesan pun dapat dilakukan dengan cara yang lebih diminati pemilih muda seperti video blog dan siniar.

Landasan utama

Melalui medium ini, paslon tidak hanya bisa menyampaikan pesan politik, namun turut mendorong audiens untuk membuat konten organik untuk menunjukan dukungannya (user generated content).
 
Dalam menghadapi Pemilu 2024, kesadaran terhadap besarnya jumlah pemilih muda menjadi landasan utama bagi setiap paslon. Hari-hari mengusung 'ritual-ritual' lama dengan baliho telah berlalu. Sekarang, memahami perilaku demografi, khususnya dari pemilih muda, menjadi kunci utama untuk memenangkan kontestasi ini.

Paslon tidak hanya dituntut untuk menyampaikan visi, misi, dan programnya dengan jelas, tetapi juga perlu menciptakan konektivitas yang autentik dan bermakna dengan pemilih muda. Sebuah era baru dalam politik telah tiba, yang mana kehadiran digital dan kecerdasan emosional dalam menyampaikan pesan akan memberikan warna baru pada pemilu tahun ini.

Oleh karena itu, dengan memandang ke depan, keterlibatan yang lebih mendalam dengan pemilih muda tidak hanya merupakan strategi, tetapi suatu keharusan.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat