visitaaponce.com

Berkaca dari Argentina

NEGERI ini harus siap menghadapi gejolak perekonomian global yang kian tidak menentu. Menghadapinya pun mesti dengan respons cepat. Tidak boleh, misalnya, demi 'menghibur' rakyat, para pejabat mengatakan 'ekonomi kita masih aman', 'fundamen ekonomi kita kuat', 'semuanya masih terkendali', dan sejenisnya.

Jawaban-jawaban 'menenangkan' seperti itu boleh jadi malah kian tidak bisa membuat tenang. Apalagi fakta menunjukkan bahwa sejumlah indikator ekonomi kita tidak bagus-bagus amat. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, misalnya, terus ambruk. Satu dolar AS bernilai lebih dari Rp16.300 pada perdagangan pekan ini. Daya beli juga kian terombang-ambing kenaikan harga-harga komoditas pokok.

Belum lagi situasi dunia yang terus diwarnai ketidakpastian, khususnya perkara geopolitik yang mengganggu rantai pasok. Juga, situasi di belahan Amerika Selatan yang kian mencekam. Kasus terkini datang dari Argentina di tengah kondisi ekonomi yang kian memburuk dan diikuti dengan unjuk rasa antara masyarakat dan polisi.

Pada tengah pekan ini, terjadi kekacauan di Argentina, khususnya setelah Kongres menyetujui paket reformasi ekonomi yang diajukan Presiden Javier Milei. Presiden yang memimpin Argentina sejak Desember 2023 itu mengakukan paket reformasi ekonomi yang dinilai kontroversial oleh publik di negeri Lionel Messi itu.

Tidak hanya mendeklarasikan keadaan darurat ekonomi selama setahun, Milei juga memiliki kewenangan membubarkan lembaga federal dan memprivatisasi selusin perusahaan publik, termasuk maskapai penerbangan milik negara, Aerolineas Argentina. Secara terperinci, kebijakan lain yang akan dilakukan sebagaimana termaktub dalam paket reformasi Milei ialah mengurangi akses terhadap tunjangan pensiun warga. Padahal, tunjangan itu pun sudah minim. 

Politikus dan ekonom berusia 53 tahun itu juga melemahkan perlindungan terhadap tenaga kerja. Jadilah aksi Milei menggemparkan warga di sekujur Argentina. Pada awal menjabat, sebelumnya ia telah memangkas separuh kabinetnya, menghilangkan sekitar 50 ribu lapangan pekerjaan publik, dan menangguhkan kontrak-kontrak pekerjaan umum yang baru. Presiden kelahiran Palermo, Buenos Aires, Argentina, itu juga tega menghapuskan subsidi bahan bakar dan transportasi (BBM) bahkan ketika para pekerja Argentina kehilangan seperlima daya beli mereka.

Kehancuran ekonomi di Argentina itu memang bukan hal baru. Dalam beberapa tahun, defisit fiskal berlangsung berkepanjangan. Inflasi juga sangat kronis. Inflasi rata-rata Argentina pada 1944 hingga 2023 saja tercatat sebesar 190%. Bulan lalu, inflasi Argentina menyentuh 300%.

Dalam kurun itu, pemerintah juga gagal membayar utang negara sebanyak sembilan kali (tiga kali di antaranya terjadi dalam dua dekade terakhir). Selama satu dekade terakhir, Argentina mengalami penurunan pendapatan per kapita sebesar 10,4% dan sejarah gagal bayar (default) serta restrukturisasi negara telah menyebabkan tingkat suku bunga yang di pasar kredit internasional sangat tinggi.

Alhasil, sebagai konsekuensinya, strategi yang diterapkan ialah meningkatnya ketergantungan negara pada pajak inflasi sebagai sarana untuk membiayai kesenjangan fiskal. Akibat selanjutnya, terjadi penurunan nilai tukar peso Argentina dan tekanan signifikan terhadap nilai tukar resmi. 

Pelemahan peso Argentina terhadap dolar Amerika Serikat memang telah terjadi selama bertahun-tahun. Namun, pelemahan itu kian terasa akhir-akhir ini. Secara year to date (ytd) hingga 13 Juni 2024, peso Argentina telah terdepresiasi sebesar 11,57%. Sementara itu, pada sepanjang 2023, peso Argentina anjlok amat dalam sebesar 357,42%.

Maka itu, warga mulai terus melakukan penghematan. Sejumlah warga mengatakan bahwa pengeluaran bulanan rumah tangga mereka telah meningkat sekitar 150% sejak devaluasi pada Desember 2023. Pengeluaran itu terutama didorong oleh asuransi kesehatan, utilitas, dan bahan makanan. Produk seperti minyak zaitun dan pasta gigi kini menjadi barang mewah di negara asal pesepak bola Lionel Messi itu. 

Dalam merespons depresiasi mata uang, pemerintah memberlakukan suku bunga riil negatif, pembatasan impor kuantitatif, hingga mengenakan pajak ekspor. Namun, kebijakan-kebijakan itu hanya berfungsi sementara dan justru memperburuk neraca bank sentral. Bank sentral menghabiskan cadangan devisanya dan meningkatkan kewajiban berbunga, yaitu surat utang dan obligasi yang diterbitkan untuk menyerap kelebihan likuiditas akibat pencetakan uang.

Maka itu, menengok pengalaman buruk Argentina, para pemangku kebijakan di negeri ini mestinya sigap menemukan solusi gejolak nilai tukar, penurunan daya beli, hingga inflasi yang bisa mengacaukan keadaan. Tidak boleh ada yang tenang, tenang, dan tenang karena yang tenang bisa menghanyutkan.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat