visitaaponce.com

Judi itu Racun

JUDI online yang saat ini ramai dibicarakan sesungguhnya bukan persoalan baru. Masalah yang kini mengemuka sebagai dampak dari judi secara daring barangkali tidak jauh berbeda dengan persoalan yang timbul ketika dahulu judi luring atau konvensional sedang merajalela. Bedanya, kini transaksinya lebih menggila karena dibantu oleh kemudahan mengakses situs judi secara online

Namun, pangkal problemnya pada dasarnya sama, yaitu di perilaku judinya. Bukan soal medianya daring atau luring. Mau daring, mau luring, permainan taruhan adu untung itu memang selalu menjadi biang dari banyak masalah. Apa pun platformnya, pada zaman kapan pun judi dilakukan, yang untung pasti bandarnya, yang buntung penjudinya.

'Kalaupun kau menang, itu awal dari kekalahan. Kalaupun kau kaya, itu awal dari kemiskinan', kata Rhoma Irama dalam lagunya berjudul Judi yang amat legendaris. Pada bait selanjutnya, sang 'Raja Dangdut' itu menulis, 'Yang kaya bisa jadi melarat, apalagi yang miskin. Yang senang bisa jadi sengsara, apalagi yang susah'. 

Lagu itu dirilis pada 1987, jauh sebelum era internet dan ponsel pintar mengubah dunia, termasuk dunia perjudian. Tembang itu konon terinspirasi atau mungkin lebih tepatnya diperuntukkan menyindir praktik perjudian di bidang olahraga yang ketika itu dilegalkan pemerintah Orde Baru, yakni Porkas (Pekan Olahraga dan Ketangkasan).

Namun, nyatanya konteks lagu itu masih relevan untuk memotret fenomena judi online yang belakangan merebak dahsyat. Artinya, sebetulnya tidak ada perubahan dari cara kerja dan dampak yang diciptakan judi, baik ketika masih pakai sistem zadul maupun setelah mengadopsi sistem digital seperti sekarang. 

Platformnya boleh berganti, tapi impak dan cengkeraman buruk judi tetap sama. Meski demikian, harus diakui saat ini tingkat keparahannya memang lebih tinggi. Kemudahan akses melalui sistem daring telah membuat semua orang dapat dengan mudah menjadi pejudi. Dulu mungkin cuma orang dewasa yang masuk jeratan judi, tapi kini hampir semua lapisan masyarakat terperangkap.

Data terbaru yang dihimpun Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan bahwa anak di bawah umur hingga orang tua, bahkan yang sudah lansia, terjerat oleh judi online. Tak hanya itu, para pemain judi online itu kebanyakan bukan dari kelompok masyarakat yang secara materi berkecukupan. Sampai pengemis pun ada yang main judi daring. 

Dari mana mereka mendapatkan uang untuk modal judi, itu lebih bikin miris lagi ceritanya. Barangkali bukan hal yang baru jika anak-anak atau anak muda mengambil duit orangtua mereka untuk berjudi. Namun, bagaimana kalau sebaliknya, ketika banyak kaum lansia menggunakan nafkah bulanan dari anak mereka bukannya untuk keperluan sehari-sehari malah buat main judi? Benar kata Bang Haji Rhoma, judi memang meracuni kehidupan.

Ketika racun judi online sudah sedemikian hebat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, pemerintah, seperti biasa, selalu ketinggalan beberapa langkah. Ketika korban sudah banyak berjatuhan, baik korban langsung maupun tidak langsung, barulah Presiden membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring. Keppres tentang pembentukan satgas itu baru ditetapkan pada 14 Juni lalu.

Pembentukan satgas itu sendiri sesungguhnya mengonfirmasi bahwa selama ini pemerintah, termasuk kepolisian, memang telah gagal mencegah dan memberantas judi online. Satgas Pemberantasan Perjudian Daring dijadikan semacam messiah, juru selamat untuk membalikkan kegagalan tersebut. Sehebat itukah nantinya satgas tersebut?

Kalau merujuk pada kebiasaan pemerintah membentuk satgas untuk kasus-kasus yang gagal mereka tangani, seperti satgas mafia tanah, satgas pornografi anak, dan satgas pinjaman onlinehampir semuanya tidak berjalan efektif, publik pun tak terlalu optimistis dengan satgas judi online. Jangan-jangan seperti yang sudah-sudah, ini cuma strategi untuk meredakan sementara keresahan masyarakat.

Celakanya, di saat yang sama pemerintah malah melempar wacana dan program yang kian menambah skeptisisme publik. Soal bantuan sosial untuk korban judi online, misalnya, meski sudah diluruskan bantuan itu untuk keluarga korban bukan buat 'si penjudi yang kalah', tetap saja lontaran seperti itu sungguh tidak elok. Masih banyak masyarakat miskin yang jauh lebih layak mendapatkan bansos ketimbang mereka.

Lalu, yang tak kalah kocak ialah program edukasi tentang bahaya judi daring melalui SMS blast yang kini gencar dilakukan Kemenkominfo. Pesan itu berbunyi, 'Judi Online Bahaya dan Merusak Pengguna. Jangan Pernah Mencoba. Jaga Masa Depan Penuh Bahagia. #StopJudiOnline'. Niatnya mungkin bagus, tapi apakah tidak ada kajian terlebih dulu kalau cara seperti itu sama sekali tidak akan menyadarkan orang untuk tidak berjudi? Dibaca pun mungkin tidak, apalagi 'diamalkan'.  

Judi ibarat racun. Ia harus dimatikan dulu sebelum membunuh lebih banyak korban. Namun, kalau cara-cara nirguna seperti itu yang terus dipakai, jangan terlalu berharap judi online bakal mati dengan mudah.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat