visitaaponce.com

Menyembelih Kemunafikan

HARI Raya Idul Adha 1445 Hijriah baru saja lewat. Akan tetapi, kiranya nilai dan semangat Idul Kurban tetap punya arti penting saat ini hingga nanti. Salah satunya ialah kita sebagai manusia membuang jauh-jauh sifat kebinatangan dan terus mengedepankan sifat kemanusiaan.

Menyembelih sifat kebinatangan, itulah salah satu nilai yang kerap ditekankan dalam khotbah Idul Adha. Itu pula yang disampaikan Hasyim Asy'ari saat menjadi khatib salat Idul Adha di Lapangan Pancasila Simpang Lima, Semarang, Jawa Tengah, Senin (17/6).

Hasyim orang penting. Dia Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), institusi yang bertanggung jawab atas baik-buruknya penyelenggaraan pemilu dan pilkada. Pileg dan pilpres sudah usai yang sayangnya diiringi banyak penilaian buruk, bahkan dianggap yang terburuk. Adapun pilkada sedang berproses untuk berpuncak pada pencoblosan, November mendatang.

Soal agama, Hasyim bukan orang biasa. Dia aktif di ormas Nahdlatul Ulama (NU) yang pemahamannya tentang Islam tidak sembarangan. Jemaah yang ambil bagian dalam salat Idul Adha di Simpang Lima pun tak semuanya rakyat kebanyakan. Ada orang-orang penting, bahkan yang paling penting di negeri ini, yakni Presiden Jokowi.

Ceramah sang khatib pun begitu mengena, isinya berkorelasi tinggi dengan kehidupan bernegara hari-hari ini. Dalam khotbahnya, Hasyim berbicara soal sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Dia menyebut sifat mementingkan diri sendiri hingga sifat sombong. Sifat yang menganggap bahwa hanya golongannya yang selalu benar serta memperlakukan sesamanya atau selain golongannya sebagai musuh.

Sifat kebinatangan lain yang diutarakan Hasyim ialah selalu curiga, menyebarkan isu yang tidak benar, fitnah, rakus, dan tamak. Pun dengan ambisi yang tidak terkendalikan, tidak mau melihat kenyataan hidup, tidak mempan diberi nasihat, dan tidak mampu mendengar teguran. Sifat-sifat tercela itu, jika terus dipelihara dan bercokol dalam diri seseorang, akan membawa ketidakstabilan dalam hidup dan ketidakharmonisan dengan lingkungan.

Sifat-sifat tersebut, demikian Hasyim menambahkan, akan memudahkan jalan bagi terciptanya perpecahan. Karena itu, Islam dalam ajaran kurbannya menghendaki setiap muslim mau mengorbankan sifat-sifat itu agar kestabilan dan ketenteraman hidup dalam masyarakat serta kedamaian antarsesama dapat diwujudkan.

Apa yang membedakan manusia dan binatang? Dari perspektif sains, manusia ialah binatang. Manusia masuk keluarga besar kingdom of animalia. Manusia ialah binatang bertulang belakang, lebih mengerucut lagi manusia dikelompokkan sebagai mamalia, manusia ialah primata, manusia ialah kera. Kita termasuk hominid, kita ialah Homo sapiens.

Dalam sudut pandang linguistik, manusia ialah binatang yang berbicara, yang dari bicara itu kemudian menjadi bahasa. Secara biologis, manusia ialah makhluk yang memiliki dua kaki, dua tangan, dua mata, dua telinga, berjalan, melahirkan, dan lain sebagainya. Itu sama dengan beberapa binatang lainnya.

Namun, terdapat perbedaan mendasar antara manusia dan binatang.

Kata Imam Al-Ghazali, manusia punya akal, al-insanu hayawanun nathiq, sedangkan binatang tidak. Karena berakal, semestinya manusia tak hidup dengan sifat-sifat binatang, tidak serakah, tidak rakus, tidak tamak, manut saat diberi nasihat, luruh ketika ditegur. Selayaknya, manusia menjunjung tinggi nilai-nilai, moral, etika, juga patuh pada paugeran. Tidak semena-mena, tidak semaunya mentang-mentang bergelimang harta atau kuasa.

Belakangan di negeri ini, katanya moral dan etika telah menjadi barang superlangka. Ia tak lagi penting bagi para penghamba uang dan kuasa. Termasuk di mata sejumlah pemimpin institusi negara yang seharusnya meninggikan moral dan etika. Akhir-akhir ini, konon kerakusan, ketamakan, dan keserakahan merajalela. Ada yang gelojoh, menjadi budak nafsu untuk mendapatkan lebih banyak daripada yang diperlukan.

Sudah begitu parahkah bangsa ini dalam berbangsa? Banyak yang mengiakan, tidak sedikit yang mengamini. Oleh sebab itu, kiranya pas betul khotbah Hasyim akan pentingnya menyembelih sifat-sifat kebinatangan. Pertanyaannya, oleh dan kepada siapa nilai-nilai itu mesti disampaikan?

Dalam statusnya, teman saya mengaku diingatkan temannya tentang sajak 'Presiden Penyair' Sutardji Calzoum Bachri setelah seorang pemimpin lembaga negara berceramah di Idul Adha. Sajak itu berjudul Para Munafik Ismail (2005). Begini baitnya.

Para ismail yang munafik

bergegas menyodorkan leher

''sembelihlah kami''

 

Ibrahim yang hanif bilang

-tak, kalian tak boleh mati!

agar menjadi pertanda biar umat waspada.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat