visitaaponce.com

Gemol, Judol, dan Pinjol

MEME perihal dunia online ini kiranya tak mengada-ada. Begini petikan narasinya: 'Anak-anak dirusak game online... yang dewasa dirusak judi online... yang orang tua dirusak pinjaman online.... Semua rusak'.

Memang banyak sekali kerusakan akibat daya rusak yang serba-online itu. Bangsa ini pun dibikin pusing tujuh keliling, negara dibuat repot bukan kepalang. Game online atau bolehlah kita singkat gemol, misalnya. Permainan berbasis internet ini mengasyikkan, tapi juga membahayakan. Ia bisa memicu adiksi. Jika sudah kecanduan, siap-siap saja babak belur baik keuangan maupun kesehatan mental.

Dari berbagai literasi disebutkan, seseorang yang teradiksi gemol, di samping bermasalah secara fisik, juga mengalami perubahan struktur dan fungsi otak. Fungsi atensi (memusatkan perhatian pada suatu hal), fungsi eksekutif (merencanakan dan melakukan tindakan), serta fungsi inhibisi (untuk membatasi) bisa menurun atau bahkan hilang.

Akibat otak berubah, pencandu gemol sulit mengendalikan perilaku impulsif semisal menunda keinginan. Emosi mereka menjadi labil, bahkan menunjukkan sikap antisosial. Mengerikan, bukan?

Celakanya lagi, pecandu gemol didominasi anak dan remaja. Data pada 2022 menyebutkan, pengguna game aktif di seluruh dunia diperkirakan 2,95 miliar gamer. Adapun penghobi gemol di Indonesia mencapai 73,7% atau 196,7 juta orang. Berdasarkan laporan We Are Social, Indonesia menjadi negara dengan jumlah pemain video game terbanyak ketiga di dunia pada 2022.

Mereka yang kecanduan gemol tak lagi kenal waktu. Pagi, siang, sore, malam, hingga dini hari tetap saja jari-jari mereka memainkan perangkat yang memabukkan itu. Lupa makan, lupa tidur, lupa ibadah, dan tentu saja lupa belajar.

Gemol bahkan bisa memantik tragedi. Kisah tragis di Blitar, Jawa Timur, baru-baru ini, contohnya. SAN, 17, pelajar laki-laki di sebuah SMA di Kecamatan Doko, memilih bunuh diri gegara HP-nya disita oleh orangtuanya agar tak lagi main gemol. Sungguh memilukan.

Judi online atau judol sami mawon, sama saja. Daya rusaknya juga luar biasa. Transaksinya saja mencapai Rp101 triliun hingga kuartal I 2024. Jika dihitung per tahun ini, besarannya pasti melonjak tajam.

Pemain judol juga bejibun, 4 juta orang kata Menko Polhukam Hadi Tjahjanto. Mencapai 2,7 orang versi Menkominfo Budi Arie Setiadi. Entah siapa yang akurat, yang pasti banyak, sangat banyak.

Usia mereka bervariasi, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Latar belakang dan profesi mereka beragam, mulai dari orang biasa hingga pengelola negara, bahkan penegak hukum yang seharusnya memberantas judol. Kacaunya lagi, data terkini dari PPATK mengungkapkan ada 1.000 lebih anggota maupun pegawai DPR dan DPRD menjadi pemain judol. Transaksinya tembus 63 ribu dengan nilai bisa menyentuh ratusan juta hingga miliaran rupiah per orang. Edun gak?

Sama dengan gemol, judol juga membuat pecandu lupa diri. Pembunuhan yang dilatari judol beberapa kali terjadi. AL, 48, seorang anak di Morowali, Sulawesi Tengah, amsalnya. Dia merampok dan membunuh ibu kandungnya demi bisa bermain judi daring. Atau, Briptu FN, anggota kepolisian, nekad membakar suaminya yang juga polisi karena korban kerap menggunakan penghasilan untuk judol. Bunuh diri karena judol juga tak sedikit. Tahun lalu saja ada 10 kasus, sedangkan hingga April 2024 sudah ada empat perkara.

Bagaimana dengan pinjaman online alias pinjol? Kalau orang Sunda bilang sarua wae, same aje kata orang Betawi. Pinjaman berbasis daring mulai hadir di Indonesia sejak 2015 yang kemudian justru dikuasai pinjol-pinjol ilegal dengan bunga di luar akal. Mereka awalnya menawarkan kemudahan, tapi di akhir mencekik korban.

Banyak kasus bunuh diri akibat pinjol. Sepanjang 2023 saja, tak kurang dari 25 orang mengakhiri hidup lantaran terjerat pinjol, bank keliling, dan bank emok. Mereka memilih mati karena tak sanggup melunasi utang yang beranak pinak dan menghadapi teror mengerikan dari anak buah para lintah darat.

Kalau kemudian ada yang bilang bahwa negeri ini sudah darurat gemol, judol, dan pinjol, rasanya memang begitu adanya. Yang namanya situasi darurat tentu harus diatasi dengan upaya berlipat-lipat. Tidak bisa ala kadarnya, dengan cara-cara biasa, tanpa menyentuh sumbernya.

Untuk memberantas judol, pemerintah memang tak diam saja. Satgas dibentuk. Katanya, lebih dari 2 juta situs judol sudah diblokir. Ribuan orang telah pula menjadi tersangka. Tapi masyarakat bertanya, kapan ya sindikat dan bandarnya disikat?

Untuk memberangus pinjol, satgas juga dibentuk. Ribuan situs pun sudah dimatikan. Tapi, sebagian rakyat berguman, kalau bos-bos pinjol tak digebuk, ya sama saja boong.

Mengatasi dampak gemol, memberangus judol dan pinjol perlu keseriusan luar biasa. Bukan malah aneh-aneh seperti ide seorang menteri untuk memasukkan keluarga pemain judol sebagai penerima bansos.

Melawan kejahatan di dunia maya perlu ketegasan paripurna. Bukan malah lucu-lucuan seperti pesan seorang menteri kepada para hacker untuk tidak menyerang. Jika seperti itu sikap negara, dunia pasti tertawa.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat