visitaaponce.com

Mantan Sekretaris MA Nurhadi tidak Ajukan Eksepsi

Mantan Sekretaris MA Nurhadi tidak Ajukan Eksepsi
.(MI/Adam Dwi)

MANTAN Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi tidak akan mengajukan eksepsi usai menjalani sidang perdana terkait dugaan gratifikasi pengurusan perkara di MA. Hal itu disampaikannya setelah Hakim Ketua Saefudin Zuhri bertanya mengenai kejelasan surat dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Saya sampaikan saya tak ajukan eksepsi. Saya mohon keadilan yang seadil-adilnya karena semua dakwaan yang didakwakan ke para terdakwa ini semua tidak benar. Nanti saya akan buktikan," kata Nurhadi di ruang sidang Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (22/10).

Nurhadi disidang bersama terdakwa lain, yakni Rezky Herbiyono yang juga merupakan menantunya. Senada dengan Nurhadi, Rezky juga mengatakan bahwa dakwaan JPU terhadap dirinya sudah jelas dan tidak akan mengajukan eksepsi.

JPU mendakwa keduanya dengan dakwaan kumulatif yakni dakwaan kesatu Pasal 12 huruf a atau kedua Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dan dakwaan kedua Pasal 12B UU Tipikor jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Dakwaan pertama

Dakwaan pertama terhadap Nurhadi dan Rezky terkait dengan dugaan suap yang diperoleh dari Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) Hiendra Soenjoto antara 2014-2016 untuk membantu pengurusan perkara di MA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Hiendra sebagai tersangka pemberi suap, namun sampai sekarang statusnya masih buron.

JPU KPK Wawan Yunarwanto menjelaskan bahwa Hiendra memberikan uang kepada Nurhadi melalui Rezky untuk mengurus penanganan perkara perdata antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (PT KBN). Masalah antara kedua perusahaan itu terkait gugatan perjanjian sewa menyewa depo container milik PT KBN di wilayah KBN Marunda, Jakarta Utara.

Suap lain dari Hiendra kepada kedua terdakwa dilakukan untuk memenangkan gugatan yang diajukan Azhar Umar di PN Jakarta Pusat terkait akta nomor 116 tertanggal 25 Juni 2014 tentang Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT MIT.

"Bahwa untuk pengurusan perkara tersebut di atas, Terdakwa I (Nurhadi) melalui Terdakwa II (Rezky) telah menerima uang dari Hiendra Soenjoto seluruhnya sejumlah Rp45.726.955.000,00," jelas Wawan.

Dakwaan kedua

Sementara dakwaan kedua terkait dengan dugaan gratifikasi dari lima orang yang berperkara di lingkungan pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Wawan menyebut total gratifikasi yang diterima dalam kurun waktu 2014 sampai 2017 mencapai Rp37,2 miliar.

Pemberi suap tersebut ialah Direktur Utama PO Jaya Utama, Handoko Sutjitro, sebesar Rp2,4 miliar pada 2014 yang berperkara di Pengadilan Negeri Surabaya. Kedua dari Direktur PT Dian Fortuna Erisindo, Renny Susetyo Wardhani, pada 2015 untuk mengurus perakara Peninjauan Kembali. Penerimaan dari Yenny sebesar Rp2,7 miliar.

Pemerimaan gratifikasi ketiga berasal dari Dirut PT Multi Bangun Sarana, Donny Gunawan, untuk mengurus perkara mulai di PN Surabaya, PT Surabaya, sampai di tingkat MA. Dalam kurun waktu 2015-2016, Donny memberi uang sebesar Rp7 miliar kepada Nurhadi melalui Rezky. Keempat, dari Direktur PT Benang Warna Indonesia, Freddy Setiawan, sebesar Rp23,5 miliar guna pengurusan perkara PK terhitung sejak 2015-2017.

Terakhir, uang yang diperoleh kedua terdakwa berasal dari Riadi Waluyo pada 2015 untuk pengurusan perkara di PN Denpasar dengan total Rp1,687 miliar.

Tanpa TPPU

JPU tidak mendakwakan Nurhadi maupun Rezky dengan pasal tindak pindana pencucian uang (TPPU). Menurut Wawan, pihaknya masih akan melakukan pendalaman terhadap bukti-bukti. Kendati demikian, dalam dakwaan yang dibacakan, tergambar bahwa uang hasil dugaan gratifikasi tersebut digunakan untuk membeli beberapa hal.

Misalnya lahan sawit di Padang Lawas senilai Rp2 miliar, tas Hermes Rp3,262 miliar, sejumlah pakaian sejumah Rp396 ratus juta, mobil Land Cruiser, Lexus, Alphard, beserta aksesoris sejumlah Rp4,604 miliar, dan jam tangan Rp1,4 miliar. Wawan menjelaskan penjabaran tersebut masuk ke Pasal 12B UU Tipikor.

"Satu alat bukti tidak bisa digunakan untuk mendakwakan dua perkara yang sama. Andaikan nanti ada TPPU kan bukan terkait yang ini, mungkin ada yang lain. Karena ini kan 12B, jadi penerimaan gratifikasinya sudah jelas. Tinggal masuk TPPU-nya nanti dikembangkan dari tindak pidana asal yang mana. Apakah perkara yang sudah didakwakan sekarang ataukah perkara yang baru lagi," tandasnya. (OL-14)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat