KPK Tidak Perlu Lagi Izin Dewas untuk Penyadapan dan Penggeledahan
![KPK Tidak Perlu Lagi Izin Dewas untuk Penyadapan dan Penggeledahan](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2021/05/5ecc29bc53f18f095970d262a4ee7918.jpg)
DEWAN Pengawas (Dewas) tidak lagi memiliki izin untuk penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pimpinan KPK hanya cukup memberitahukan pada Dewas.
Hal itu ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengujian materil sejumlah pasal dalam Undang-Undang No.19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) terhadap UUD 1945.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman selaku ketua majelis pada sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/4).
Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 3, Pasal 40 ayat 1, Pasal 40 ayat 2, Pasal 47 ayat 1, UU KPK inkonstitusional bersyarat, dan juga Pasal 12B dan Pasal 37B ayat 1 huruf b UU KPK. Pada pertimbangan Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Aswanto, menurut penyadapan dapat dibenarkan secara hukum ketika hal tersebut diamanatkan oleh UU dan dilakukan dalam rangka penegakan hukum.
Berdasarkan Pasal 12B ayat 1 UU KPK, penyadapan yang dilakukan KPK harus mendapatkan izin tertulis dari Dewas, berkenaan dengan ketetuan tersebut, menurut Mahkamah Dewas bagian intern dari KPK dan bertugas mengawasi pelaksaan tugas dan wewenang KPK, dengan demikian, keberadaannya tidak bersifat hierakis dengan pimpinan KPK sehingga dalam pemberantasan korupsi keduanya tidak saling membawahi, namun berkoordinasi.
Baca juga: Dissenting Opinion, Wahiduddins Adams: UU KPK Inkonstitusional
Mahkamah menilai, KPK dalam melaksanan tugas dan kewenangan yudisial bersifat independen dan bebas dari pengaruh manapun, termasuk ketika KPK melakukan penyadapan, adanya ketentuan yang mengharuskan KPK meminta izin pada Dewas sebelum melakukan penyadapan tidak dapat dikatakan sebagai pelaksanaan check and balance karena pada dasarnya Dewas bukan aparat penegak hukum sebagaimana kewenangan pimpinan KPK karenanya tidak memiliki kewenangan terkiat pro justitia.
"Untuk menghindari terjadinya penyimpangan, Dewas berwenang melakukan pengawasan terhadap KPK. Tetapi tidak dapat mencapuri kewenangan pro justitia. Oleh karena itu, terhadap Pasal 12B UU 19/2019 telah dinyatakan inkonstitusional, maka frasa " dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas" dalam Pasal 12C UU 19/2019 harus pula dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai menjadi "diberitahukan kepada Dewan Pengawas"," ucap Aswanto.
Hakim Konstitusi Aswanto lebih lanjut menjelaskan izin dari Dewas tidak diperlukan dan hanya berupa pemberitahuan, maka konsekuensinya sepanjang frasa " atas izin tertulis dari Dewas" dalam Pasal 47 ayat 1 UU KPK dimaknai menjadi "dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas" begitu pula dengan ketentuan norma Pasal 47 ayat 2 UU KPK meskipun tidak dimohojkan oleh pemohon maka harus dinyatakan inkonstitusional.
Lalu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, menambahkan bahwa
KPK hanya memberitahukan pada Dewas paling lambat 14 hari kerja sejak penyadapan dilakukan. Sedangkan terhadap penggeledahan, atau penyitaan diberitahukan pada Dewas paling lambat 14 hari kerja sejak selesai dilakukan penggeledahan atau penyitaan.
Berkaitan dengan penggeledahan, imbuh Hakim Konstitusi Enny, maka berlaku ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu diperlukan izin dari ketua pengadilan negeri setempat.
"Dalam keadaan mendesak dapat dilakukan penggeledahan lebih dahulu baru kemudian segera melaprkan untuk mendapatkan persetujuan ketua pengadilan negeri setempat," ujar dia.
Mahkamah juga menyatakan Pasal 40 ayat 1 UU 19/2019 mengenai tidak adanya kepastian penghitungan sejak kapan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dimaknai menjadi " tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun dihitung sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Pemohon dalam pengujian UU KPK tersebut adalah Fathul Wahid yang merupakan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Abdul Jamil dan tiga pemohon lainnya.(OL-4)
Terkini Lainnya
PDIP Janji Perjuangkan Revisi UU KPK
MAKI Anggap Lucu Komentar Alexander Tiba-tiba Dukung Revisi UU KPK
Alexander Marwata Sebut UU KPK Perlu Dirobak, IM57+: Ke Mana Saja?
Perkuat Integritas Pimpinan Dinilai Lebih Penting dari Revisi UU KPK
DPR Persilakan Dewas Dorong Revisi UU KPK
KPK Proses Pelaporan Khofifah
Takut Disadap? Ini 7 Langkah Mencegah HP Disadap
Wacana Kewenangan Penyadapan oleh Polri Bikin Publik Cemas
Prodi HI UKI Bersama DPR RI Diskusikan Aturan Intelijen di Indonesia
DPR Bakal Awasi Mekanismenya Aturan Penyadapan Dalam UU Polri
Jurus Menghadapi Ancaman Penggunaan Alat Sadap dan Keamanan Digital di Era Modern
Putra Mantan Presiden Brasil Carlos Bolsonaro Diselidiki Polisi Terkait Dugaan Penyadapan Ilegal
Umur di Tangan Tuhan, Bantuan Hidup Dasar Mesti Dilakukan
Sengkarut-marut Tata Kelola Pertanahan di IKN
Panggung Belakang Kebijakan Tapera
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap