visitaaponce.com

KPK Tidak Perlu Lagi Izin Dewas untuk Penyadapan dan Penggeledahan

KPK Tidak Perlu Lagi Izin Dewas untuk Penyadapan dan Penggeledahan
Pembacaan putusan uji materi UU KPK(ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

DEWAN Pengawas (Dewas) tidak lagi memiliki izin untuk penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pimpinan KPK hanya cukup memberitahukan pada Dewas.

Hal itu ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengujian materil sejumlah pasal dalam Undang-Undang No.19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) terhadap UUD 1945.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman selaku ketua majelis pada sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/4).

Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 3, Pasal 40 ayat 1, Pasal 40 ayat 2, Pasal 47 ayat 1, UU KPK inkonstitusional bersyarat, dan juga Pasal 12B dan Pasal 37B ayat 1 huruf b UU KPK. Pada pertimbangan Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Aswanto, menurut penyadapan dapat dibenarkan secara hukum ketika hal tersebut diamanatkan oleh UU dan dilakukan dalam rangka penegakan hukum.

Berdasarkan Pasal 12B ayat 1 UU KPK, penyadapan yang dilakukan KPK harus mendapatkan izin tertulis dari Dewas, berkenaan dengan ketetuan tersebut, menurut Mahkamah Dewas bagian intern dari KPK dan bertugas mengawasi pelaksaan tugas dan wewenang KPK, dengan demikian, keberadaannya tidak bersifat hierakis dengan pimpinan KPK sehingga dalam pemberantasan korupsi keduanya tidak saling membawahi, namun berkoordinasi.

Baca juga: Dissenting Opinion, Wahiduddins Adams: UU KPK Inkonstitusional

Mahkamah menilai, KPK dalam melaksanan tugas dan kewenangan yudisial bersifat independen dan bebas dari pengaruh manapun, termasuk ketika KPK melakukan penyadapan, adanya ketentuan yang mengharuskan KPK meminta izin pada Dewas sebelum melakukan penyadapan tidak dapat dikatakan sebagai pelaksanaan check and balance karena pada dasarnya Dewas bukan aparat penegak hukum sebagaimana kewenangan pimpinan KPK karenanya tidak memiliki kewenangan terkiat pro justitia.

"Untuk menghindari terjadinya penyimpangan, Dewas berwenang melakukan pengawasan terhadap KPK. Tetapi tidak dapat mencapuri kewenangan pro justitia. Oleh karena itu, terhadap Pasal 12B UU 19/2019 telah dinyatakan inkonstitusional, maka frasa " dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas" dalam Pasal 12C UU 19/2019 harus pula dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai menjadi "diberitahukan kepada Dewan Pengawas"," ucap Aswanto.

Hakim Konstitusi Aswanto lebih lanjut menjelaskan izin dari Dewas tidak diperlukan dan hanya berupa pemberitahuan, maka konsekuensinya sepanjang frasa " atas izin tertulis dari Dewas" dalam Pasal 47 ayat 1 UU KPK dimaknai menjadi "dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas" begitu pula dengan ketentuan norma Pasal 47 ayat 2 UU KPK meskipun tidak dimohojkan oleh pemohon maka harus dinyatakan inkonstitusional.

Lalu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, menambahkan bahwa

KPK hanya memberitahukan pada Dewas paling lambat 14 hari kerja sejak penyadapan dilakukan. Sedangkan terhadap penggeledahan, atau penyitaan diberitahukan pada Dewas paling lambat 14 hari kerja sejak selesai dilakukan penggeledahan atau penyitaan.

Berkaitan dengan penggeledahan, imbuh Hakim Konstitusi Enny, maka berlaku ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu diperlukan izin dari ketua pengadilan negeri setempat.

"Dalam keadaan mendesak dapat dilakukan penggeledahan lebih dahulu baru kemudian segera melaprkan untuk mendapatkan persetujuan ketua pengadilan negeri setempat," ujar dia.

Mahkamah juga menyatakan Pasal 40 ayat 1 UU 19/2019 mengenai tidak adanya kepastian penghitungan sejak kapan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dimaknai menjadi " tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun dihitung sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP).

Pemohon dalam pengujian UU KPK tersebut adalah Fathul Wahid yang merupakan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Abdul Jamil dan tiga pemohon lainnya.(OL-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat