visitaaponce.com

Setelah 23 Tahun Reformasi, Demokrasi di Tanah Air Dinilai Mundur

Setelah 23 Tahun Reformasi, Demokrasi di Tanah Air Dinilai Mundur 
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.( MI/ BARY FATHAHILAH)

SELAMA 23 tahun gerakan reformasi, demokrasi di Tanah Air dinilai mengalami kemunduran atau regresi. Kemunduran itu disebut datang dari dua arah sekaligus yakni di tingkat negara dan elite (atas) dan di level masyarakat (bawah).

"Sekarang kita ada di dalam dua dekade Reformasi. Dalam dua dekade ini tampaknya sulit disangkal kembali bahwa demokrasi Indonesia telah mengalami kemunduran," kata aktivis yang juga Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam diskusi daring Refleksi 23 Tahun Reformasi, Minggu (23/5).

Kemunduran demokrasi dari level atas, kata Usman, tercermin dari konsistensi kebijakan yang dinilai mengurangi kebebasan sipil (iliberal). Antara lain mobilisasi politik populisme, berkembangnya intoleransi, dan menguatnya sektarianisme.

Kemudian, lembaga-lembaga pemilihan dan perwakilan juga dinilai semakin lemah fungsinya. Di sisi lain, Usman juga menyoroti terjadinya kemerosotan kebebasan akibat lemahnya oposisi dan pembatasan kritik.

Sementara itu, gejala regresi demokrasi dari tingkat bawah atau masyarakat disebut terjadi dengan menguatnya gerakan main hakim sendiri atau vigilantisme berbasis agama.

"Ada juga kemunduran demokrasi dari bawah. Jadi ada fenomena iliberalisme juga di masyarakat termasuk vigilantisme agama dan juga bentuk-bentuk diskriminasi terhadap minoritas agama dan minoritas orientasi seksual. Ada juga pandangan dan perilaku sebagian masyarakat sipil yang menerapkan pluralisme represif untuk membenarkan pembubaran organisasi massa tanpa pengadilan," ucapnya.

Amnesty International Indonesia mencatat gejala kemunduran kebebasan sipil itu mulai terlihat akhir periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi atau sejak 2019 lalu. Menurut Usman, praktik-praktik pembatasan kritik dari masyarakat mulai banyak terjadi. Masyarakat juga kerap saling melaporkan ke polisi.

"Ini lah yang menyebabkan menyusutnya kebebasan sipil antara lain akibat UU ITE, UU Penodaan Agama, dan KUHP. UU-UU ini juga menyediakan celah bagi masyarakat untuk berkembangnya intoleransi dengan saling melaporkan ke polisi. Amnesty mencatat 132 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi lewat UU ITE dengan total korban 147 orang sepanjang 2020," katanya.

Mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menilai kemunduran demokrasi juga memiliki korelasi dengan persoalan korupsi. Indeks kualitas demokrasi Indonesia 2020 menurut Economist Intelligence Unit (EIU) turun dan dikategorikan belum sempurna (flawed democracies). Di tahun yang sama, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) juga turun.

"Ketika kualitas demokrasi menurun, indeks persepsi korupsinya juga turun. Apa itu diakibatkan oleh KPK sekarang saya tidak bisa katakan. Tetapi itu ada korelasinya. Kalau kita lihat mana saja yang paling bertanggung jawab masih tetap selalu korupsi yang berhubungan dengan politik," kata Laode.

Laode menilai partai politik bertanggung jawab besar atas menurunnya demokrasi dan persepsi korupsi. Selama ini, imbuhnya, parpol masih bermasalah dengan demokratisasi internal, transparansi keuangan, penegakan kode etik, dan rekrutmen. Dibutuhkan pembenahan di parpol agar kerawanan korupsi politik bisa menurun.

"Coba tunjukkan mana partai politik yang demokrasi internalnya bagus, kalau bukan ke anak, ke teman, atau ke kerabat. Keuangan partai politik mana ada yang mau laporkan. Penegakan kode etik hampir tidak ada. Rekrutmen yang maharnya gede itu yang didukung," ujarnya. (Dhk/OL-09)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat